Reality Club habis-habisan melakukan eksplorasi musiknya. Tak sebatas demi memuaskan penggemar, utamanya memberikan kepuasan pada ambisi diri sendiri.
Jika pada Is It the Answer yang dirilis sebagai salah satu debut 2017 silam memuat harmoni yang santai dengan sedikit undangan untuk berjoget. Maka kemudian, pada Telenovia (2019), Reality Club dianggap sebagai jelmaan Arctic Monkeys dan The Strokes. Kini, pada 2022-2013, Dancing in the Breeze Alone dan Desire terdengar bak musik latar kehidupan koboi di gurun tandus.
Dancing in the Breeze Alone dan Desire adalah dua lagu terbaru yang dirilis Reality Club pada 2023. Menghadirkan nuansa wild west ala film-film koboi Hollywood yang dipadukan dengan orkestrasi string, sampai dengan derap langkah kuda lewat genre trap.
"Kita lagi ngerjain dua lagu itu untuk masuk ke album ketiga kita, Reality Club Present. Setelah album kedua rasanya kita sudah mencoba eksplor semua genre yang kita suka. Terus, gue pribadi sangat tertarik sama bikin lagu koboi aja gitu dan anak-anak juga, jadinya gas," buka Faiz, saat menjadi tamu Main Stage di kantor detikcom, Tendean, Jakarta Selatan.
"Salah satu inspirasinya itu composer Ennio Morricone (composer asal Italia). Jadi dia kalau bikin lagu, karena dia bikin scoring film, megah. Kita mau bikin yang megah dan kemegahannya itu lewat orkestra. Kita pakai Budapest Symphony Orchestra, sekitar 60 instrumen. Waktu itu pengerjaannya 2021, secara online, lagi bulan puasa. Rekamannya di pas-pasin di jam buka puasa dan jam kerja di Budapest," jelas Faiz lagi.
"Sama gara-gara main video games Red Dead Redemption," timpal Fathia tertawa.
Hal yang menjadi menarik kemudian, kedua video klip dari lagu tersebut diproduksi dengan gaya film pendek yang saling berhubungan. Menggambarkan kepedihan atas cinta yang hilang. Dikemas persis dengan suasana lagunya, di mana para anggota Reality Club bergaya dan berkuda layaknya koboi. Sampai membuat mereka diganjar piala Best Music Video: Asia Pacific oleh Munich Music Video Awards 2023.
"It's very big concept. Ada les berkuda beberapa minggu. Cari tempatnya juga lumayan susah, akhirnya kita pilih Nevada, tapi susah. Habis itu di Sumba atau Gianyar. Tapi habis itu balik ke Nevada. Tapi Nevada yang lewat jalan bypass Ngurah Rai," kelakar Fathia bercanda.
Pantai Saba di Bali kemudian diputuskan menjadi lokasi syuting. Satu kali syuting, untuk dua video klip yang bersambung.
"It was really hot, pulang-pulang kulitnya pada terbakar. Tapi seru, treatment-nya bener. Kayak, gue Pevita Pearce, dia (Faiz) Reza Rahadian," kata Fathia llagi.
Tak disangka, dua video klip itu menuai komentar yang ramai teori konspirasi. Tentang bagaimana keduanya saling berhubungan, tentang apakah salah satu karakternya benar-benar mati, atau itu hanya pembalasan dendam dalam khayalan.
"Jujur pengennya dibalikin ke penonton aja sih sebenarnya. Kita memberikan kebebasan para penonton untuk menarik kesimpulan sendiri. Kalian punya pikiran sendiri dan itu seru, keep do it. Kadang-kadang fans theory ini out of the box banget yang sampai kita nggak mikir ke sana. Tapi oke, that's great," ujar Fathia yang juga akrab dipanggil Cia.
"Makanya kita bikin open ending, karena we know our fans suka bikin teori sendiri," kata Faiz lagi.
(mif/pig)