Dalam catatan detikcom, Reality Club pertama kali bertamu pada 2017 dengan cerita-cerita mencari jati diri atas suara-suara musik indie rock, alternatif, atau apapun yang dicap kepada mereka. Enam tahun kemudian, dalam kedatangan keduanya, band tersebut sudah kokoh dengan ambisinya.
Band beranggotakan Faiz Novascotia Saripudin (gitar, vokal), Fathia Izzati (vokal), Nugi Wicaksono (bass), Era Patigo (drum) dan baru ditinggalkan salah satu gitarisnya, Iqbal Anggakusumah, mewujudkan kenyataan viralitas di media sosial. Mengejar ambisinya, meski tanpa terlihat dengan jadwal panggung yang tak main-main.
Is It the Answer yang dirilis sebagai salah satu debut pada 2017, memuat harmoni yang santai dengan sedikit undangan untuk berjoget. Kemudian, pada Telenovia (2019), Reality Club dianggap sebagai jelmaan Arctic Monkeys dan The Strokes. Kini, pada 2022-2013, Dancing in the Breeze Alone dan Desire terdengar bak musik latar kehidupan koboi di gurun tandus.
Belum termasuk status band viral di TikTok usai Anything You Want rilis tahun lalu. Lagu tersebut populer dipasangkan dengan berbagai potongan video.
Menjadi narasumber Main Stage detikHOT, berulang kali kata 'ambisius' diucapkan Faiz untuk menjelaskan keluarga bermusiknya itu. Walaupun sempat mempertanyakan di mana letak ambisinya jika diukur pada ramainya publikasi di media nasional, maka wajar. Tapi, ketika dijelaskan lebih rinci, semua rencana sangat nyata terjadi.
"Di industri musik nasional, kita nggak punya kenalan, dan kita maju dengan apa yang kita punya aja. And i remember in the beginning kita udah ambisius. Kita kayak let's make an impact sampai orang nggak bisa nggak notice kita," kata Faiz mengenang perjalanannya.
"Kita nggak usah diundang festival sana-sini, yang penting kita gede sampai orang-orang nanya, 'kok Reality Club nggak main ya?' We wanna do our stuffs make it as good as possible," sambungnya lagi.
![]() |
Menjadikan prinsip untuk melakukan sesuatu dengan yang terbaik dan memuaskan diri sendiri dulu, berhasil. Viral sudah. Seringkali masuk nominasi ajang penghargaan dalam negeri, tapi tanpa diduga-duga malah membawa pulang piala terbaik dari luar negeri.
"Mungkin dalam kita nulis lagu kita selalu pakai hati, perasaan, jujur dalam berkarya jadi mungkin itu juga alasannya Reality Club nggak langsung naik. Karena we try to create music that we love. Kitanya harus suka dulu, kalau kita nggak suka buat apa, nggak bangga juga dengan karya kita," Fathia atau Cia menjelaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Produser kita, Tama, pernah bilang, jadi jatuhnya kita meng- educate and we create the market, which is difficult of course, karena lo starting from scratch. Tapi that's how we know how to do things we done. Patokannya itu kita sendiri suka atau nggak. Kalau udah suka, ya sudah that's how we make it," tambah Faiz lagi.
Munich Music Video Awards 2023 mengganjar video klip terbaru Reality Club, Dancing in the Breeze Alone dengan piala Best Music Video: Asia Pacific. Tidak terlalu mengejutkan sebab, video klip tersebut dikerjakan dengan perlakuan sebuah film pendek yang tersambung ke video klip lagu lainnya berjudul Desire.
Mengusung visual bergaya koboi, lengkap dengan kudanya. Bercerita tentang kepedihan sebagai sisi lain manisnya cerita cinta. Tonton di YouTube, maka akan mengerti bagaimana ambisinya band ini menggarap video tersebut.
"Tema lagunya itu akhir dari sebuah hubungan. Makanya judul lagunya Dancing in the Breeze Alone karena kayak dia udah nggak sama orang ini lagi. Kemudian muncul rasa kepedihan yang nggak harus dia alami gitu. Makanya kayak kesakitannya udah mulai hilang tapi masih ada prosesnya," ungkap Faiz.
"I think we are quite ambitious dan kita memang dari awal mementingkan kualitasnya. Makannya untuk video klipnya dari awal kita udah ambisius paling pol, ganti-ganti PH akhirnya jalan sama MIURA FILMS, belajar kuda. Bahkan ada talent coordinator khusus kudanya. Dan, akhirnya sukses," Nugi menimpali.
Obrolan bersama Reality Club masih akan panjang. Mengungkap realitas yang terjadi pada mereka lebih dalam lagi sampai menyentuh benang merah filosofi bermusiknya. Membagi kisah bagaimana sampai akhirnya masing-masing dari personel memutuskan bermusik penuh waktu dan meninggalkan pekerjaan 'kantoran'. Serta hal-hal menarik mengenai ritual dan panggung paling berkesan tiap personelnya.
(mif/dar)