Ayah telah memotong rambutku, begitu pendek, sehingga aku harus merasa malu ketika akan bertemu dengan teman-teman sekolahku.
Rambut panjang adalah sebuah harta yang paling indah yang dimiliki oleh seorang perempuan. Rambut perempuan adalah mahkota baginya. Mahkota adalah sebuah lambang kehormatan. Barang siapa yang merampas kehormatan seseorang, pantas diperlakukan serendah-rendahnya.
Aku baru saja pulang sekolah saat itu. Di depan pagar rumah, aku berpisah dengan Tama-chan dengan mengatakan sampai jumpa besok. Kami memiliki rencana untuk pergi ke lapangan bisbol untuk melihat murid-murid laki-laki di kelas kami bertanding dalam sebuah laga persahabatan sebelum turnamen dua minggu lagi. Tama-chan menyukai pitcher kami.
Aku berjalan dengan riang, menikmati sisa-sisa musim panas yang akan segera berakhir. Rumah pasti akan kosong karena ayah akan berada di pabrik cat dan ibu akan berada di pusat perbelanjaan untuk melayani setiap pembayaran pelanggan di sana. Aku, anak perempuan berusia 11 tahun, sudah terbiasa tinggal di rumah seorang diri.
Aku tidak pernah takut hantu karena ayah selalu berkata bahwa hantu telah lenyap ketika bola lampu ditemukan oleh seorang pria Inggris di masa lalu. Awalnya aku memang takut untuk berada di rumah sendiri, tetapi ayah selalu berkata, "Tekan tombol ini," tombol lampu di rumah kami dibuat serendah mungkin, "Begitu lampu menyala, hantu-hantu itu akan ketakutan. Mereka takut cahaya."
Aku membuka pintu, melepas sepatu di genkan dan meletakkannya di rak sesuai yang selalu diajarkan oleh mama. Aku juga menggantung topi kuningku ke cantolan yang terletak di samping rak sepatu. Aku berjalan melalui lorong untuk sampai ke kamarku. Rumah itu kecil dan sepi, hampir tidak ada suara apapun, kecuali langkah kaki kecilku; tapi aku juga harus benar-benar mendengarkan untuk dapat mendengarkan langkah kakiku sendiri.
Sampai di depan pintu, aku menggeser pintu itu dengan kedua tangan mungilku. Kamarku masih rapi sejak kutinggalkan pagi tadi. Aku meletakkan tasku di atas meja belajar dan berlari kecil untuk pergi ke dapur guna mengambil segelas air.
Ketika aku sampai di dapur, aku melihat ayahku sedang memperbaiki sesuatu.
Ayahku mengarahkan lingkaran hitam matanya ke sudut kiri atas untuk beberapa saat dan berkata, "Ayah sengaja pulang lebih awal. Ada suatu urusan."
Biasanya, ayah tidak akan pulang tengah hari seperti ini. Minimal, dia akan pulang sebelum makan malam dan lekas-lekas duduk di ruang makan bersama aku dan mama. Keluarga kami tidak memiliki cukup banyak uang untuk dihamburkan, tetapi kami dikaruniai dengan kebahagiaan yang melimpah, aku bahkan membayangkan bahwa kebahagiaan kami sehari-hari tidak akan pernah habis.
Ayah berjalan mendekatiku, menyentuh rambutku yang panjangnya sepunggung. Rambut itu selalu dirawat dengan baik oleh mama. Dia selalu membersihkannya dengan sampo dan menatanya sebaik mungkin sebelum aku berangkat sekolah. Ayah mendekatkan rambut itu ke hidungnya dan mulai mengendusnya.
"Bau rambutmu seperti bau rambut mamamu."
Aku hanya mengangguk. Dia mulai berdiri lagi, melepaskan rambut hitamku.
Ayahku menggeleng-nggelengkan kepalanya.
"Tidak. Tidak."
"Ada apa, Ayah?"
"Rambutmu tidak boleh terlalu panjang, Nak. Tidak. Tidak. Rambutmu harus dipotong pendek. Kau tahu, biaya perawatan rambut itu cukup mahal. Lagi pula, kau tetap bisa menjadi cantik dengan rambut pendek. Aku akan memotongnya. Tunggu di belakang rumah."
Ayah meraih sebuah pemangkas rambut listrik di atas lemari. Aku tidak pernah tahu dia memiliki hal semacam itu dan meletakkannya begitu saja di atas lemari.
Ketika dia mengurai kabelnya, aku berteriak, "Tidak! Rambutku harus tetap panjang. Putri Kaguya bahkan memiliki rambut yang panjang!"
"Hana-chan, apa kau mau berpisah dengan ayah seperti Putri Kaguya yang berambut panjang itu?"
"Tidak. Tapi aku juga tidak mau dipotong. Mama tidak melarangku. Mengapa ayah," sebuah pukulan keras mengenai batok kepalaku. Itu adalah tangan kanan ayahku yang selalu dia gunakan untuk mengoperasikan mesin pabrik.
Ceritanya, dia selalu menarik tuas yang begitu berat. Tangan itu sangat keras, seperti sebuah bola bisbol milik murid-murid laki-laki yang akan bertanding besok. Aku jatuh tersungkur. Hidungku yang menabrak tatami menjadi berdarah. Aku mulai menitikkan air mata.
Ayah menyeretku dan melemparkanku ke sudut rumah. Aku menahan sakit di wajah, kepala, dan punggungku sambil mengerang dan menangis. Kedua mataku sudah berkaca-kaca sepenuhnya.
Ayah menancapkan kabel alat pencukur itu dan mulai memegang kepalaku. Dengan begitu cepat, dia memangkas bagian kiri kepalaku. Rambut panjang yang selama ini menjadi tanda kecantikanku kini terbaring di tatami, kupingku sedikit tergores.
"Hentikan ayah!"
"Diam!"
Ayah menundukkan kepalaku, hampir menabrak tatami. Aku sedikit sulit bernapas karena ada cekikikan dari tangan kiri ayahku yang sama kuatnya dengan tangan kananku. Sebuah dengung mesin pencukur kembali berdengung di dekat telingaku dan menghantam habis rambut bagian belakang sampai atas. Selanjutnya, kepalaku ditelengkan ke kiri agar bagian kanan kepalaku terbuka. Dia masih saja kasar meskipun aku tidak melakukan perlawanan lagi. Setelah beres, dia mencabut kabel mesin biadab itu dan melilitkan kabelnya ke bagian utama mesin itu, kemudian meletakkannya di atas lemari lagi.
Andai aku mengetahui bahwa peristiwa ini akan terjadi, aku pasti akan melemparkan mesin itu ke truk sampah yang lewat di depan rumah kami setiap pagi untuk mengambil sampah-sampah kami.
Aku menjadi dendam kepada ayah. Laki-laki itu telah mengambil kehormatan seorang perempuan, mahkota seorang perempuan. Aku berlari ke kamar, kali ini ayah membiarkanku. Aku menatap cermin di lemari.
"Penampilan ini buruk sekali. Aku tidak bisa keluar dari rumah dengan penampilan seperti ini."
Aku mulai menutup wajahku, tidak tahan melihat penampilan mengerikan di cermin yang terpantul dari wujudku. Kini, teman-temanku, bahkan mungkin Tama-chan, akan memanggilku kappa atau olok-olok lainnya. Mungkin juga Bakemono atau apapun yang berkaitan dengan hal itu.
"Oh, Tuhan, aku harap ayahku mendapatkan hukuman yang setimpal," setelah memanjatkan kutuk itu, aku berlari dari rumah. Mengenakan sepatu dan topi kuningku secepat kilat dan pergi ke bekas konstruksi untuk bersembunyi di sana.
***
Sejak saat itu, ayah dijebloskan ke penjara oleh mama. Dia telah melakukan tindakan aniaya terhadap keluarganya sendiri, bahkan kepada anak di bawah umur. Selama dia dipenjara, kami tidak pernah mengunjunginya sama sekali. Kami berdua jijik, terlebih lagi bagiku yang harus mengalami perundungan dari teman-temanku selama sisa masa SD sampai di SMP.
Mama tetap bekerja di pusat perbelanjaan setelah itu dan mencari kerja sambilan lainnya. Aku juga melakukannya ketika SMP. Ketika aku kuliah, aku meyakinkan mama bahwa aku akan membiayai segala keperluanku sendiri, terlebih lagi jarak antara kampus dengan rumah kami cukup dekat.
Saat itulah, malam ketika aku baru saja pulang dari kerja sambilan di minimarket, seseorang mengetuk rumah kami. Aku dan mama saling berpandangan di dapur. Kami berdua berjalan bersama-sama menghampiri pintu dengan tetap waspada. Kami mendengar akhir-akhir ini terjadi perampokan di lingkungan kami.
Tidak ada lubang di pintu kami sehingga mustahil bagi kami untuk mengetahui siapa orang di luar sana.
Ketukan berikutnya membuat kami berdua terkejut di dalam sikap waspada.
"Hana-chan, Fusako-san, apa kalian di rumah."
Kami mengenal baik suara itu. Suara dari sepuluh tahun lalu yang begitu sulit kami lupakan karena perbuatannya. Suara yang tidak pernah ingin kami dengar lagi itu hadir kembali, memasuki lubang telinga kami tanpa bisa kami tolak. Aku ingin sekali membalas dendam atas perbuatannya, tapi kupikir, dengan segala hal kebijaksanaan yang kupelajari dari buku-buku di kampus, aku harus memberikannya kesempatan.
Setelah meminta izin kepada mama, aku membuka pintu.
Seorang laki-laki dengan wajah bulat dan cekung berdiri di depan kami. Tubuhnya kali ini kurus sekali, berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu dia tampak kekar.
"Hina-chan," katanya. Aku sudah bersiap untuk menghajarnya jika dia masih belum berubah. "Rambutmu sudah panjang lagi."
Kalimat itu sudah membuatku naik pitam. Dengan sekali tendang, aku berhasil mengenai kepalanya. Sejak SMP aku sudah belajar judo hanya untuk hari ini, hanya untuk hari ketika laki-laki biadab itu pulang ke rumah kami yang sederhana ini.
Malang, 18 September 2020
Mochamad Bayu Ari Sasmita lahir di Mojokerto, 17 Agustus 1998. Sedang menempuh kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang
Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, tema bebas, disesuaikan dengan karakter detikcom sebagai media massa umum yang dibaca semua kalangan. Panjang naskah sebaiknya tidak lebih dari 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media lain. Kirim ke email mumu@detik.com