Henry Manampiring menerbitkan karya terbaru. Sukses dengan buku Filosofi Teras yang dicetak ulang sampai ke-54 kali di penghujung 2023, pria yang awalnya dikenal dengan nama akun @newsplatter di laman bercentang biru, siap menelusup ke relung hatimu dengan buku bertajuk The Compass.
The Compass bukan sembarang buku bergenre self-development atau pengembangan diri biasa. Buku setebal 369 halaman yang diterbitkan oleh Gagasmedia menghadirkan karya relevan di masa kini namun berasal dari filosofi Yunani kuno yang berusia lebih dari 2.000 tahun dikenal dengan konsep Arete.
Layaknya arah mata angin, The Compass yang pada masa pra-pesan sudah laku 10 ribu eksemplar dan mencapai cetakan kedua, sang penulis menceritakan mengenai proses kreatif dan seluk-beluk di balik The Compass ketika menyambangi kantor detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"The Compass ini sebenarnya adalah buku filsafat pengembangan keputusan. Saya tertarik menulis buku ini sebenarnya karena bagaimana filsafat bisa membantu kita mengambil keputusan sehari-hari, terkadang hidup dihadapkan pada pilihan, dan pilihan-pilihan dilematis ini sulit, dan saya menemukan dalam konsep filsafat Yunani, bisa membantu kita dalam mempertimbangkan alternatif keputusan itu," katanya kepada detikcom pada Kamis (14/12/2023).
Dalam buku The Compass, Henry Manampiring menampilkan empat sosok yang digambarkannya ke dalam empat perempuan dengan tampilan lokal dan Barat.
![]() |
"Arete seringkali digambarkan ke dalam 4, kebijaksanaan atau wisdom, keberanian atau courage, moderation atau self-temperance atau keugaharian, dan keadilan atau justice," kata Henry.
Menurut keterangan penulis yang telah melanglang buana dalam bidang marketing dan branding selama 20 tahun, konsep tua itu memang selalu digambarkan sebagai perempuan.
"Saya meneruskannya saja, dengan fusion budaya lokal. Pertemuan antara tradisi Barat yang sudah di-Indonesia-kan," katanya sembari tertawa.
Henry menerangkan buku yang ditulisnya masih kontekstual di masa sekarang. "Konsep filsafat yang masih ada sejak 2.000 tahun yang lalu masih terpakai ke kita," katanya.
Buku ini pun, lanjut dia, seakan mengajak para pembaca untuk menelisik lagi dan berpikir ulang, mana versi terbaik yang ada di dalam dirimu. "Saya merasa banyak kebijaksanaan purba yang masih bisa membantu kita menjadi orang yang lebih baik lagi, sama halnya ketika saya menulis Stoikisme di Filosofi Teras, membantu kita mengelola emosi," tukasnya.
Bagaimana cerita Henry Manampiring selanjutnya dan prosesnya berkarya sebagai penulis? Simak artikel berikutnya ya.
(tia/dar)