Meleburnya Teatrikal-Sinematik dalam Serial Musikal Payung Fantasi

Spotlight

Meleburnya Teatrikal-Sinematik dalam Serial Musikal Payung Fantasi

Tia Agnes Astuti - detikHot
Selasa, 15 Nov 2022 16:20 WIB
Behind the Scene Serial Musikal Payung Fantasi persembahan Indonesia Kaya
Foto: Dok. Indonesia Kaya
Jakarta -

Serial musikal Payung Fantasi garapan produksi Indonesia Kaya sukses meleburkan antara konsep teater dan sinema atau film. Ide teatrikal-sinematik ini belum lumrah ada dalam seni pertunjukan Tanah Air.

Dimulai dari serial musikal Nurbaya yang sukses tayang di channel YouTube Indonesia Kaya tahun lalu, produksi kedua yang lebih besar dan megah ini menjadi pentas yang paling dinantikan tahun ini. Demi mewujudkan hal tersebut, tim di balik layar sudah memproduksinya sejak tahun lalu.

"Kami menyebutkan sebagai teatrikal-sinematik experience, pengalaman menonton teater tapi dalam bentuk film," ungkap sutradara film serial musikal Payung Fantasi, Naya Anindita, saat diwawancarai detikcom, belum lama ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai sutradara film, ia mencoba mengeluarkan nuansa vintage dari dekade tahun 1920 sampai 1930-an.

"Kalau kamu perhatian semua footage, kita kasih noise sedikit untuk mengeluarkan rasanya. Spound-nya ada rasa vintage masa lampau," tegasnya.

ADVERTISEMENT
Behind the Scene Serial Musikal Payung Fantasi persembahan Indonesia KayaBehind the Scene Serial Musikal Payung Fantasi persembahan Indonesia Kaya Foto: Dok. Indonesia Kaya

Lantaran konsepnya teater dan musikal, Pasha Prakasa dari sutradara teater mengatakan ada banyak kesulitan ketika menggabungkan dua unsur. "Karena ada kebutuhan teater dan kamera juga," ucapnya.

Tapi Naya menegaskan salah satu scene tersulit ketika berada di episode tentang Bandung Lautan Api. Demi mewujudkan adegan tersebut, pihaknya ingin senyata mungkin suasana seperti kamp pengungsian yang menghadirkan kesedihan mendalam.

"Kami mengumpulkannya ke dalam realitas penuh dengan batu, debu, dibakar api, dan semuanya dibuat ril di dalam studio. Karena sirkulasinya nggak baik dan kami terkukung di dalam studio, kami harus take berkali-kali. Itu nggak baik juga secara fisik dan mata ya," timpal Naya.

"Kami tetap harus berpegang dalam teatrikal-sinematik experience ini. Proses kreatif ini harus bekerja dalam dua studio saja, tantangannya akhirnya kami membuat satu wagen yang bisa berpindah-pindah lagi," tegas Pasha.

Melalui proses kolaborasi film dan teater, keduanya merasa produksi ini berhasil membuka peluang bagi tim dan para pemain lainnya untuk tidak terkotak-kotakan antara dua industri.

"Project seperti ini mulai dari Nurbaya lalu ke Ismail Marzuki, membuka peluang baru yang terlibat di dalamnya, berakting di depan kamera, dan ada beberapa dari Nurbaya mulai ada di webseries, di film. Aku merasa senang banget jadi pintu rezeki buat teman-teman lain yang terlibat selain semakin banyak yang nonton yah," pungkasnya.




(tia/dal)

Hide Ads