Pria yang menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta pada 1976-1979 menceritakan kisahnya. "Ini menjadi salah satu cerita menarik saat proses pengerjaan selama lima bulan itu," katanya ditemui di sela-sela pembukaan di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Selasa (1/3/2016).
Baca Juga: Lewat Pintu Belakang, Menelusuri Akar Jawa di Pameran Tunggal Hanafi
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada perempuan dan anak kecil tengah menangis dan suara-suara berisik yang tak dikenal dari mana asalnya. "Katanya ada banyak suara berisik. Orang kampung jadi bingung, padahal di dalam nggak terjadi apa-apa. Mungkin ini sedikit horor," tutur Hanafi.
Karya seni instalasi tersebut menggambarkan pandangannya tentang sejarah penjajahan Indonesia. Serta perspektif melihat peristiwa Tragedi 1965. Selama 3 tahun, korban yang jatuh jumlahnya enam kali lipat menjadi momok sejarah yang mengerikan bagi Indonesia.
Simak: Perupa Hanafi Gelar Pameran 'Pintu Belakang | Derau Jawa'
"Apakah sejarah tiba-tiba menjelma menjadi seorang 'fiksi' ketika mencoba membangun perspektifnya dalam melihat sejarah. Generasi masa depan jangan sampai menjadi generasi yang autis terhadap sejarahnya sendiri," tulis Hanafi di penjelasan karya.
Pameran tunggal 'Pintu Belakang | Derau Jawa' berlangsung sampai 15 Maret mendatang dan disertai dengan berbagai program pendamping lainnya. Di antaranya lokakarya dan diskusi bersama Riyadhus Shalihin (Bandung), Stanislaus Yangni (Yogyakarta) dan Agung Hujatnikajennong (fasilitator) di Ruang Serba Guna, Galeri Nasional Indonesia, 2 Maret 2016 pukul 15.00-18.00 WIB.
(tia/mmu)











































