Amanda (Sandra Oh) dan putri semata wayangnya, Chrissy (Fivel Stewart) tinggal di sebuah peternakan. Mereka sehari-harinya mengurusi ayam-ayam dan juga lebah-lebah mereka. Mereka tinggal hanya berdua saja dan kelihatannya mereka cukup akrab. Mereka mengurusi peternakan bersama, berbagi hari bersama, bahkan kadang membaca buku pun bareng-bareng.
Tidak butuh detektif untuk tahu bahwa ada misteri di balik semua ini. Selain rumah Amanda jauh sekali dari tetangga, dia tidak mengizinkan ada listrik di rumahnya. Semua tamu harus mematikan mobil di garis yang sudah ditentukan. Tidak boleh ada ponsel masuk ke dalam rumah. Pokoknya tidak boleh ada listrik.
Kemudian suatu hari, paman Amanda (Tom Yi) datang dan membawa abu ibunya yang sudah meninggal. Amanda terkejut. Dia tidak tahu kenapa pamannya membawa abu ibunya ke rumah tersebut. Kemudian pamannya memberi tahu Amanda bahwa di malam ibunya meninggal, ibunya memanggil-manggil namanya. Dan ini adalah awal dari sebuah mimpi buruk yang meneror Amanda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menggunakan genre horor untuk membingkai kisah tentang generational trauma memang adalah sebuah langkah yang efektif. Lihat saja Hereditary karya Ari Aster. Ia tidak hanya berhasil meneror penonton tapi menjadikan film tersebut sebagai salah satu horor modern terbaik.
Hubungan antara ibu dan anak perempuan dalam budaya Asia adalah sebuah hubungan kuat yang sudah banyak dieksploitasi ke dalam bentuk sini. Bahkan baru kemarin kita menyaksikan kisah yang membahas ini dalam film animasi Turning Red (yang kebetulan ibunya juga dimainkan oleh Sandra Oh). Tidak mengherankan jika sutradara dan penulis Iris K. Shim membungkus cerita ini dalam bingkai film horor. Di atas kertas memang ini ide yang baik, tapi apakah hasilnya sesuai dengan ekspektasi penggemar horor?
Secara plot, Umma cukup asyik untuk diikuti meskipun Shim bermain sangat aman. Tidak ada kejutan sensasional yang akan membuat penonton terkejut (seperti nenek yang ternyata penyembah setan dalam Hereditary). Hubungan antara Amanda dan Chrissy juga digambarkan dengan begitu baik-baik. Saking baik-baiknya, konfliknya agak kurang berasa.
Keputusan pembuat film ini untuk menjadikan kisahnya sangat aman juga akhirnya membuat Umma menjadi sangat tenang. Rahasia-rahasia baru muncul mendekati ending, saat saya sebagai penonton sudah terlalu bosan menunggu kejutan. Ditambah lagi rahasia-rahasia itu terlalu lembut untuk hitungan film horor.
Umma bisa saja menjadi sebuah horor yang mendobrak kalau ia memiliki sensibilitas horor yang paten seperti film-film Asia jempolan. Seperti misalnya The Grudge, adaptasi dari Ju-On yang sangat menyeramkan (yang seperti film ini, juga diproduseri oleh Sam Raimi). Salah satu aspek yang membuat saya tertarik untuk menonton Umma adalah unsur horor Asia-nya dan ternyata hal tersebut tidak saya temukan di film ini.
Umma bermain-main di ranah yang sangat aman, film ini sepertinya bisa ditonton anak kecil karena dia sangat minim teror. Jumpscare-nya bahkan tidak membuat saya kaget. Ditambah lagi dengan tone-nya yang jauh dari kata angker, film ini sangat tidak menyeramkan.
Meskipun begitu, jika ditonton sebagai film drama, Umma adalah sebuah potret hubungan orang tua-anak (terutama yang toxic) yang lumayan menarik dengan ending yang memuaskan. Agak kurang biasa memang film horor diakhiri dengan suasana yang heartwarming tapi itulah Umma. Sandra Oh seperti biasa, bermain dengan sangat baik.
Umma dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
---
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.