Meilin Lee atau yang kerap dipanggil dengan Mei (disuarakan oleh Rosalie Chiang) adalah seorang gadis yang menjalani dua dunia. Di rumah dia adalah anak yang berbakti kepada orang tua, terutama ibunya Ming (disuarakan oleh Sandra Oh). Ia mengerjakan semua perintah ibu tanpa membantah, membantu ibu mengurus kelenteng tanpa mengeluh dan ia selalu memberikan "hadiah" orang tuanya nilai-nilai yang baik. Di atas kertas, Mei adalah anak yang selalu diidam-idamkan oleh orang tua.
Dunia yang satu lagi adalah dunia yang Mei sembunyikan dari ibunya. Mei bersama teman-temannya; Miriam (disuarakan oleh Ava Morse), Abby (disuarakan oleh Hyein Park) dan Priya (disuarakan oleh Maitreyi Ramakrishnan dari serial Never Have I Ever di Netflix); terobsesi dengan hal-hal seperti boyband gaul bernama 4*Town. Mei bersama teman-temannya juga lagi gandrung-gandrungnya dengan cowok cakep yang kerja paruh waktu di toko kelontong daerah mereka.
Mei berusaha keras untuk memisahkan dua dunia ini. Tapi kemudian sesuatu yang gawat terjadi. Mei tiba-tiba terbangun menjadi panda merah besar. Rupanya keluarganya yang merupakan turunan Dewi Sun Yee, sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama. Mei berubah menjadi panda merah besar setiap kali dia merasakan emosi yang besar: rasa gemas, rasa cinta, rasa takut, rasa cemas, dan lain-lain. Bagaimana caranya bisa mempertahankan emosi untuk tetap normal ketika hormon-hormon remajanya mulai mengusik?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Disutradarai oleh Domee Shi (pemenang piala Oscar lewat film pendeknya berjudul Bao), Turning Red adalah sebuah film yang sangat menyenangkan dari awal sampai akhir. Sebetulnya bukan kejutan kalau film ini berhasil menyampaikan pesannya dengan baik karena ini bukan pertama kalinya Pixar melakukan hal-hal yang ambisius dan sukses melewati semua halangan. Tapi dalam kasus Turning Red, film ini mungkin menjadi film pertama Pixar yang menyampaikan pesannya dengan tepat sasaran dan tanpa tedeng aling-aling.
Bisa jadi karena skripnya ditulis oleh perempuan (skripnya ditulis oleh Julia Cho dan Domee Shi) sehingga Turning Red bisa menjelaskan soal pubertas yang dialami banyak perempuan dengan lugas tapi tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Keberhasilan film ini tidak terbatas bagaimana ia menjelaskan sesuatu yang sangat spesifik tapi juga sangat universal pada saat yang bersamaan. Anda tidak perlu menjadi gadis muda berumur 13 tahun untuk mengerti bagaimana ribetnya melalui masa pubertas ketika semua perasaan ekstrem tiba-tiba datang menghantui. Kita semua pasti pernah merasakan perubahan mood dan emosi ketika kita beranjak dewasa.
Dibandingkan dengan Brave, film Pixar lain yang juga membahas detail soal hubungan anak perempuan dengan ibunya, Turning Red jauh lebih mengena karena detail yang diberikan Domee Shi dalam setiap adegan sangat spesifik. Ending-nya pun juga jauh lebih ngena, lengkap dengan parodi film-film kaiju raksasa yang melibatkan adegan konser.
Meskipun Turning Red tetap mengharu-biru seperti kebanyakan film Pixar lainnya, film ini ternyata jauh lebih liar daripada bayangan saya dan ini adalah sebuah eksperimen yang sangat menyenangkan. Mungkin karena Domee Shi membahas soal betapa "rusuhnya" masa puber sehingga banyak lelucon dan adegan yang ia tampilkan begitu "kacau". Persahabatan Mei dan teman-temannya digambarkan begitu erat dan meriah. Sementara adegan-adegan kocaknya berhamburan tidak karuan. Tunggu sampai kalian lihat bagaimana serunya Mei dan teman-temannya mengkapitalisasi si panda merah!
![]() |
Karena Turning Red berlatar di Toronto pada tahun 2002, tidak mengherankan kalau pembuat film ini menghadirkan boyband sebagai obsesi utama karakter utamanya. Hal ini adalah keputusan terbaik karena tidak hanya boyband adalah penanda jaman yang efektif untuk menggambarkan awal 2000-an tapi semua orang jaman sekarang pasti mengerti betapa besarnya boyband berkat populernya K-Pop. Finneas dan Billie Eilish yang mendapatkan pesanan untuk membuat musik-musik boyband fiksi yang ada di film ini berhasil menciptakan lagu-lagu yang luar biasa catchy, luar biasa mirip dengan irama-irama musik awal 2000-an, Anda akan langsung merasa nostalgia dengan lagu-lagu tersebut meskipun baru pertama kali mendengarkan 4*Town.
Tentu saja seperti biasa, presentasi teknis Pixar tidak bisa diragukan lagi. Meskipun Turning Red tidak menghadirkan lokasi yang luar biasa eksotis seperti Italia dalam Luca atau kedalaman samudra dalam Finding Nemo, film ini tetap menghadirkan Toronto dengan begitu menawan. Tapi bagian terbaik dari Turning Red memang kemunculan si panda merah. Begitu si panda merah muncul, lengkap dengan detail bulunya yang begitu menawan, Anda pasti akan berharap ini semua kenyataan bukan cuma sekadar animasi.
Bagian paling mengesalkan dari Turning Red adalah kenyataan bahwa dia dirilis di platform streaming alih-alih bioskop. Ceritanya yang sangat menyenangkan, humornya yang menggemaskan, dan pesannya yang begitu kuat akan terasa lebih menggelegar kalau kita mendapatkan kesempatan untuk menyaksikannya di layar besar. Tapi poin positif dari kehadiran Turning Red di Disney+ Hotstar adalah kita semua bisa menyaksikan film keren ini setiap saat kapan pun kita mau.
---
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(aay/aay)