Sudahkah Indonesia Merdeka dalam Berkarya? Ini Jawaban Para Sineas

Sudahkah Indonesia Merdeka dalam Berkarya? Ini Jawaban Para Sineas

Asep Syaifullah - detikHot
Rabu, 17 Agu 2022 11:29 WIB
Joko Anwar saat ditemui di kawasan Epicentrum.
Foto: Noel/detikFoto
Jakarta -

Merdeka menjadi satu kata yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Kata tersebut juga yang kerap dimaknai lebih dalam di momentum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.

Berkaca pada sejumlah kejadian sebelumnya, ternyata masih banyak kasus yang membelenggu kreativitas para sineas di Tanah Air. Lantas apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka dalam berkarya? Berikut jawaban mereka:

Joko Anwar

Sutradara Pengabdi Setan 2: Communion ini mengungkapkan ada beberapa tindakan represif dari pejabat publik dan masyarakat yang membuat para sineas mengurungkan ide-idenya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persekusi publik jadi satu alasan mereka lebih menimbang-nimbang kembali ide hingga adegan yang akan ditampilkan sebagai konsumsi publik.

"Berkarya di film belum sepenuhnya merdeka. Masih banyak tema atau cerita yang kami hindari dalam membuat film. Karena kalau dibuat, mungkin akan dapat represi, bukan cuma dari pihak-pihak tertentu yang punya kekuasaan, tapi dari masyarakat," ungkap Joko Anwar.

ADVERTISEMENT

Meski begitu Joko Anwar bersyukur dengan lahirnya banyak wadah baru salah satunya adalah layanan OTT yang bisa mengakomodir ide tersebut.

Mereka dinilai lebih demokratis dan mungkin jadi sarana baru para sineas untuk menampilkan karyanya tak hanya di dalam negeri tapi juga di luar.

BW Purba Negara

Sutradara asal Yogyakarta, BW Purba Negara menyebutkan saat ini iklim industri perfilman di Indonesia sedang menggembirakan.

Pikiran pesismis melihat geliat OTT yang begitu tumbuh subur di sini, ternyata tetap membuat para penikmati bioskop memilih menyaksikan film-film di layar lebar.

"Dulu saya pikir perfilman Indonesia pasca pandemi hanya akan didominasi oleh film yang tayang di platform OTT, tetapi ternyata melihat banyaknya film Indonesia yang menembus jutaan penonton di bioskop, itu membuat saya sadar bahwa ternyata perkiraan saya dulu adalah keliru."

"Perkembangan ini tentu sangat menggembirakan. Apresiator film Indonesia ternyata meningkat besar sekali. Kepercayaan publik terhadap kualitas film Indonesia tentu membuat pala filmmaker semakin percaya diri untuk terus berkarya semakin baik lagi," paparnya.

Berbicara soal merdeka, sutradara Romantik Problematik itu pun menyebutkan jika hal itu adalah pilihan. Ia pun menganalogikan jika pembuat film memiliki pilihan untuk mengikuti pasar atau idealis, namun dua hal tersebut ternyata bisa dikawinkan.

"Salah satu contoh film yang akhir-akhir ini mendapatkan respon penonton yang baik, sebut saja misalnya 'Pengabdi setan' adalah jenis film yang memiliki capaian kualitas estetik yang baik, dan bukan jenis film yang sekedar mengekor selera pasar. Artinya dengan pilihan estetik yang kuat dan strategi yang tepat, pasar itu bisa diciptakan. Dan pembuat filmnya tetap memiliki kemerdekaan dalam proses penciptaan," ujarnya.

Tak hanya itu saja, adapula film idealis yang ternyata mendapatkan apresiasi besar di kancah internasional.

"Sebut saja misalnya film Before now and Then, Dancing Colors, Autobiography, dan lain sebagainya. Film-film tersebut adalah contoh bukti kemerdekaan berkarya dari para kreatornya," tuturnya.

Ia pun memiliki pesan tersendiri untuk para pembuat aturan agar lebih memperketat dan melindungi hak cipta para pembuat film. Meski sudah jadi penyakit lama, nyatanya pembajakan masih saja marak dan menjamur hingga saat ini.

"Keseriusan pemerintah untuk memberantas pembajakan film masih sangat kurang. Banyaknya pembajakan film Indonesia di berbagai situs ilegal jelas sangat merugikan industri film kita," pintanya.

Di halaman selanjutnya, ada pendapat Manoj Punjabi.


Manoj Punjabi

Bos MD Entertainment, Manoj Punjabi turut bergembira dengan pasar Tanah Air yang menaruh minat lebih tinggi pada karya-karya lokal.

Ia pun memiliki visi industri film akan tumbuh jauh lebih besar lagi dan mungkin saja menyaingi Hollywood, setidaknya di dalam negeri.

AsihManoj Punjabi Foto: Febriyantino/detikhot

"Menurut saya industri perfilman di Indonesia saat ini potensi nya menjadi lebih besar dan sukses di masa pandemi ini, bahkan lebih tinggi dari film Holywood. Film KKN di Desa Penari bisa menjadi film terlaris di sepanjang masa melebihi Dr. Strange pada saat itu. Orang Indonesia sekarang menjadi lebih yakin dengan kualitas tertentu. Hal tersebut tentunya menjadi salah satu challenge yang cukup besar dalam industri perfilman Indonesia saat ini," jelasnya.

Senada dengan Joko Anwar, Manoj menyebutkan jika saat ini Indonesia belum merdeka dalam berkarya. Perfilman lokal masih punya begitu banyak penghalang dan kurang mendapatkan dukungan.

"Bagi saya, belum murni merdeka. Karena menurut saya merdeka adalah sebuah kata yang memiliki makna bebas. Perfilman Indonesia masih banyak yang menghalangi dan belum murni mendapat dukungan. Semua masih memiliki kepentingan yang belum tentu membela film Indonesia. Bahkan film asing masih mendapatkan lebih banyak perhatian dibandingkan dengan film Indonesia. Tetapi menurut saya, sekarang sudah waktunya karya Indonesia merdeka," harap Manoj.

Prioritas dan dukungan bagi karya-karya lokal masih jadi topik hangat yang diutarakan oleh pria berusia 49 tahun itu. Manoj pun mengambil contoh bagaimana pesatnya industri kreatif di Korea Selatan, khususnya di bidang film.

"Kita harus belajar dari sejarah Korea yang dimana pada tahun 90-an film Korea sempat terpuruk, tetapi sekarang film Korea sudah mendunia dan bukan lagi di domestik. Perfilman Indonesia masih sangat butuh support atau dukungan lebih dari setiap badan untuk memperkuat ekosistem kreatif di Indonesia," pungkasnya.


Hide Ads