Kata Ustaz: Metaverse Bisa Bahaya Bila Hal Ini Dilupakan

Kata Ustaz: Metaverse Bisa Bahaya Bila Hal Ini Dilupakan

Tim detikcom - detikHot
Kamis, 10 Feb 2022 06:40 WIB
Ustaz Adi Hidayat (UAH)
Ustaz Adi Hidayat tentang metaverse. Foto: YouTube Ustaz Adi Hidayat
Jakarta -

Belakangan heboh rencana Kerajaan Arab Saudi membuat ibadah haji dilakukan di metaverse. Hal ini menuai kontroversi.

Metaverse merupakan ruang virtual yang diciptakan sebagai versi digital dari berbagai aspek yang ada di dunia nyata, baik itu interaksi antar manusia maupun fungsi ekonomi. Lebih mudahnya, metaverse adalah dunia virtual yang menyerupaikehidupan nyata.

Saat peluncuran proyek VR Ka'bah Masjidil Haram bulan lalu, Imam Besar Masjidil Haram Syeikh Aburrahman Sudais mengatakan ada banyak peninggalan sejarah dan Islam di masjid-masjid Makkah yang harus diubah dalam digital untuk kepentingan semua orang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Banyak pihak yang menegaskan Ka'bah dalam metaverse bukan ibadah haji. Salah satunya adalah Lembaga Presidensi Urusan Keagamaan Turki (Diyanet) menyebut syarat ibadah adalah menyentuh lantai Makkah secara langsung.

Kata Ustaz kali ini mengutip pembicaraan Ustaz Adi Hidayat dalam channel YouTube pribadinya soal metaverse dalam timbangan Islam. Ustaz Adi Hidayat mengatakan metaverse bisa bahaya bila melupakan sisi peribadahan.

ADVERTISEMENT

Berikut penjelasan Ustaz Adi Hidayat:

Metaverse seperti apa dalam timbangannya Islam? Bergantung pada penggunaannya seperti apa. Kalau ternyata metaverse ruangnya hanya untuk mengeksplor kegiatan duniawi yang mengabaikan sisi ukhrawi, lupa kita dengan sisi keibadahan, lupa dengan salat, bahkan jangan-jangan nanti hajinya virtual? Itu yang bahaya. Nantinya salatnya virtual nanti. Begitu waktu salatnya tiba nggak pada ke masjid karena virtual semua. Itu timbangan pertama dari sisi spiritual.

Jangan sampai nanti terjadi aspek-aspek ritual itu yang harusnya dikerjakan di dunia nyata, seperti ngaji, yang sifatnya kita bisa meneruskan dibaca, yang kemudian dipraktikkan lewat salat dan sebagainya, nggak sah salatnya dibawa ke dunia virtual. Nggak ada ucapan yang berlangsung, nggak ada gerakan yang dilakukan. Semuanya hanya menggunakan kacamata dan sebagainya, lalu berfantasi ria di dunia virtual walaupun data-data yang dimasukkan itu nyata. Tempat transaksi, beli ini bisa dibayar pakai hal-hal tertentu, tetap apa yang terjadi kan itu ruang imajinasi di dalamnya.

Kalau ruangnya digunakan unuk aspek negatif yang menjauhkan dari kegiatan yang mendekatkan kita pada Allah, yang pertama adalah aspek ritual, maka ini menjadi ruang setan untuk dieksplor. Setan yang menghasilkan hal-hal negatif yang harus kita jauhi. Jangankan di dunia virtual, di dunia nyata saja hal negatif harus kita jauhi.

Kedua, sekarang muamalah. Muamalah itu interaksi sesama. Dalam muamalah itu kan yang dilarang dua, fahsya dan munkar. Salat berfungsi memnghindari kegiatan keji dan munkar. Fahsya ya kata-kata kotor, jorok, zina, pornografi, dan segalanya.

Metaverse terjadi bisa dikreasikan sendiri, bisa menghasilkan sensasi sendiri. Merasakan di situ jadi si fulan, si fulan, nanti bisa jadi zina virtual, nikahnya bisa virtual, selingkuhnya virtual, dengan virtual itu ada sensasi sendiri.

Dalam hadis, nabi ingatkan: Jika terjadi pasar bebas yang berdekatan yang sudah tidak ada norma lagi, tidak ada sekat lagi, maksiat bisa terjadi kapan saja, penipuan mudah dan sebagainya. Itu tanda-tanda yang mendekatkan kita pada akhir kehidupan.

Puncaknya, orang tidak ada beribadah lagi. Nanti wafat tuh yang beriman-beriman tuh. Jadi orang nanti memunculkan kaum rebahaners (kaum rebahan) ya, yang sambil rebahan bisa membayangkan macam-macam secara virtual. Hajinya virtual, salatnya virtual. Nah itu yang saya gambarkan sisi negatif yang ruangnya bisa dieksplorasi setan yang menjauhkan kita dari nilai-nilai ketaatan.

Kalau kita mau tarik ke dunia yang positif itu kan bergantung pada bagaimana kita mengkreasikan. Kita ambil metaverse untuk latihan manasik haji bisa, untuk bikin pesantren misalnya dalam bentuk metaverse mungkin diambil pesantren tertentu untuk kajian-kajian yang bisa dimasukkan. Namun, itu akan jadi kompleks. Di mana sisi kompleksitasnya? Apa hukumnya kita masuk ke dalam dunia itu, jadi avatar? Profil picture-nya beda, itu kajian fiqih tersendiri. Sisi lain kita bisa timbang, berlaku transaksi dan sebagainya.

Kita ini makhluk yang akan berpulang di dunia nyata, bukan alam metaverse. Meninggal ,maut, kubur, alam akhirat itu nyata, bukan metaverse. Kita tidak bisa menghindar dari situ. Bukan dunia khayalan, imajinasi. Ketika kita menyadari punya aktivitas yang real, tanggung jawab yang real, ibadah memakmurkan bumi. Akan lebih elok concern ke situ saja.

Orang menciptakan ruang tertentu bisa dikatakan kemajuan teknologi, kita hormati kemajuan itu. Tapi kalau saat bersamaan memalingkan dari misi utama kita, di situ maka kita terabaikan. Saat terabaikan itu ada yang tertawa. Siap ayang tertawa? Makhluk yang memang lebih awal sudah merendahkan kakek moyang kita Adam AS dan ingin membuktikan pada Allah bahwa dengan kesombongannya mampu menyesatkan anak cucu Adam yang diantaranya dengan instrumen menyesatkannya lewat imajinasi yang negatif.

Kalau kita mau simpulkan memandang metaverse, Islam akan memandang rangkaian, perilaku, atau konsep-konsep terkait metaverse yang dimaksudkan. Jika metaverse ini bisa men-support perangkat-perangkat kebaikan yang bisa digunakan secara Islam maka bisa positif untuk digunakan. Tapi, kalau dunia real yang baik-baik dibawa ke metaverse sehingga menjadi virtual dan tidak berfungsi sesuai fitrahnya, asalnya, itu mesti kita hindari jika suatu saat sudah hadir di hadapan kita.

Cerdas itu anugerah, bodoh itu pilihan.




(pus/wes)

Hide Ads