Sumedag -
Tidak dapat dipungkiri Pandemi COVID-19 sempat memporak-porandakan hampir seluruh sektor kehidupan. Tidak terkecuali dunia kesenian dalam hal ini turut terdampaknya para seniman di tanah air.
Pandemi COVID-19 sempat membuat vakum seni pertunjukan hingga membuat banyak seniman yang kelimpungan dibuatnya. Berangkat dari situ, sejumlah seniman asal Kabupaten Sumedang mencoba bangkit dengan membentuk sebuah grup musik yang mengusung musik tradisional karawitan Sunda.
Grup musik tersebut, yakni Jayadwara Percussion (JDP) yang terbentuk di tengah pandemi melanda Indonesia atau tahun 2020. Grup musik yang beberapa pemainnya pernah tampil di beberapa negara seperti Malaysia, China, Turki dan Perancis ini, menargetkan dapat merambah pasar Eropa di tahun 2022.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengambilan gambar komunitas musik tradisional yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat, Jayadwara Percussion pada acara International Ethnic Music Festival 2021 di Teater Kecil, 15/09/2021. Acara akan disiarkan melalui kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta pada festival yang berlangsung dari 24-26 September.(Foto : Eva Tobing) Foto: Photo by Eva Tobing/Eva Tobing |
Penjajakan pun sudah mulai dilakukan dengan melibatkan beberapa kurator maupun produser musik. Bahkan sejumlah pentas musik mulai dijajakinya, sebut saja salah satunya tampil pada event International Ethnic Music Festival di Dewan Kesenian Jakarta 2021.
Bahkan karya JDP juga terpilih pada event Bahana Benua Raja, Indonesian World Music Series di Kutai Kartanegara 2021. Belum lagi pada event-event lainnya baik secara off air ataupun virtual.
Jajang Badru Solihin, selaku Manajer JDP mengungkapkan Jayadwara Percussion memiliki fokus dalam upaya pelestarian serta pengembangan musik karawitan Sunda agar mampu diterima secara lebih universal.
"Diupayakan melalui pengemasan serta inovasi seluruh unsur pertunjukan baik yang bersifat auditif maupun visual disesuaikan dengan target pasar Internasional," ungkapnya kepada detikcom.
Ia mengatakan JDP sendiri terlahir dari keresahan para seniman Sumedang yang tergabung di JDP saat pandemi Covid-19 memporak porandakan dunia seni berserta para senimannya.
"JDP lahir dari keresahan-keresahan para seniman yang tergabung di JDP saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia," terangnya.
JDP, kata dia, awalnya didirikan oleh dua orang seniman akademis yang juga berprofesi sebagai pendidik di bidang seni Karawitan Sunda.
"Kemudian JDP turut melibatkan generasi muda sebagai regenerasi dalam upaya memberdayakan Sumber Daya Manusia (SDM) kebudayaan yang memiliki peluang lebih untuk berkembang," ujarnya.
JDP memiliki 12 personil, diantaranya Wendi Kardiana (Kendang 1), Taufik Candiansyah (Rebab), Fuzi Angelia Gamaludin (Vokal), Nikola Natadipraja (Percussi), Salim Kahamad Alkaufi
(Kendang 2), Alamsyah Aditria (Kacapi), Bima Muhammad Wicaksana (Kacapi Bass), Bhisma Raka Nalendra (Bonang), Sendy Dian Permana (Suling), Wildan Waliyudin (Gambang), Syahrul Ansori (Goong) dan M. Faishal Hidayatulloh (Saxophone).
(Baca halaman berikutnya).
Adapun karya-karya yang telah diciptakannya, di antaranya Neugtreug, Bramara, Sekar Adipati, Nilu, Nusantara Digjaya dan Sikoe Siwoeloe Woeloe Galagah Kancana.
"Sikoe Siwoeloe Woeloe Galagah Kancana merupakan wujud tafsir kami terhadap ketakutan dan kekhawatiran Pangeran Mekah sebagai pemimpin Sumedang terhadap kekuatan bangsa asing saat itu," terang Jajang.
Gaya musikal JDP berfokus pada eksprimen sistem titi laras serta memodifikasi idiom karawitan Sunda sebagai alternatif dalam menyuguhkan sebuah pertunjukan seni tradisional. Pertunjukan itu dieksekusi melalui reinterpretasi media karawitan Sunda secara lebih terbuka dan liar jika ditinjau secara komposisi.
Pengambilan gambar komunitas musik tradisional yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat, Jayadwara Percussion pada acara International Ethnic Music Festival 2021 di Teater Kecil, 15/09/2021. Acara akan disiarkan melalui kanal Youtube Dewan Kesenian Jakarta pada festival yang berlangsung dari 24-26 September.(Foto : Eva Tobing) Foto: Photo by Eva Tobing/Eva Tobing |
"Namun kita tetap menyuguhkannya sebagaimana koridor sistem teori karawitan Sunda berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan yang disepakati bersama," terang Jajang.
Dengan kata lain, lanjut Jajang, audien akan memiliki pengalaman baru saat mendengar karya dan kemasan seni pertunjukan yang disuguhkan oleh JDP.
"Hal ini merupakan bentuk edukasi yang mempertegas bahwa musik tradisional Indonesia memiliki potensi inovasi yang tak terhingga, bahkan jika dikelola dengan proporsi yang tepat akan menjadikan musik tradisi kita sebagai kekuatan baru dalam menghalau ekspansi budaya asing," paparnya.
"Jayadwara Percussion adalah wujud ekspresi artistik, sebagai visualisasi imajinatif dari keresahan kami dalam menafsir dan memperlakukan bunyi" tambahnya.
Kendati demikian, kata Jajang, tantangan terbesar saat ini bagaimana caranya agar musik eksperimental seni karawitan Sunda yang disuguhkan JDP dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Pasalnya, gempuran globalisasi telah menyeret masyarakat lebih suka kepada budaya luar tinimbang budaya Indonesia sendiri.
Jayadwara Percussion (JDP) saat mempersiapkan untuk pentas pada event Bahana Benua Raja, Indonesian World Music Series di Kutai Kartanegara 2021. Foto: Istimewa |
"Disadari atau tidak fenomena tersebut semakin mempersempit ruang gerak bagi karya musik 'eksperimental atau dengan kata lain yang berpotensi mendobrak sistem distribusi musik-musik populer," terangnya.
Ia berharap seni musik yang diusung dan disuguhkan oleh JDP dapat diterima masyarakat luas.
"Sehingga sajian baru yang dibawa oleh JDP dapat menjadi kebanggan masyarakat Sumedang bahkan besar harapan dapat diapresiasi oleh masyarakat yang lebih luas hingga seluruh dunia," pungkasnya.
Simak Video "Menengok Klinik Khusus Lansia Inggit Garnasih"
[Gambas:Video 20detik]