Menyoal Pembuat Mural Mirip Jokowi di Bandung Diburu

Menyoal Pembuat Mural Mirip Jokowi di Bandung Diburu

Tia Agnes - detikHot
Kamis, 26 Agu 2021 17:53 WIB
Petugas dari Kecamatan Bandung Wetan masih membersihkan gambar mirip Jokowi dengan mata tertutup masker di Jalan Prabu Dimuntur, Kota Bandung, Kamis (26/8/2021). Terlihat sejumlah petugas masih mengerik kertas sisa gambar tersebut, kemudian memberikan cat putih.
Mural mirip Jokowi dihapus aparat Foto: Yudha Maulana
Jakarta -

Fenomena penghapusan mural bernada kritikan di sejumlah kota-kota besar Indonesia membuat geram masyarakat. Kini heboh ada mural sosok pria mirip Jokowi yang matanya ditutup masker dan juga mengalami nasib yang naas.

Mural yang berada di flyover Pasupati Bandung, Jalan Prabu Dimuntur itu sudah dihapus dan berganti gambar yang baru.

Kasat Reskrim Polrestabes Bandung AKBP Rudi Trihandoyo mengatakan pembuat mural mirip Jokowi di Bandung sedang dicari.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita tanya dulu, kalau ketangkep orangnya, kita interview, apa maksud dan tujuannya. Apakah itu kritik sosial atau bagaimana. Nanti kita imbau dan peringatkan," ujarnya kepada wartawan, Kamis (26/8/2021).

Rudi mengatakan saat ini pihaknya tengah melakukan penyelidikan melibatkan Polsek Bandung Wetan. Polisi ingin mencari tahu maksud dari mural tersebut.

ADVERTISEMENT

Rudi menambahkan pidana belum akan ditetapkan. Polisi masih akan menunggu keterangan pembuat mural dan mengumpulkan alat-alat bukti.

"Kita lihat nanti. Kalau ternyata tidak ada dasar hukumnya, kita tidak akan proses," kata Rudi menambahkan.

Kemunculan mural bernada kritikan yang dihapus aparat bukan pertama kalinya terjadi belakangan ini. Sejak akhir Juli, mural bertuliskan Tuhan Aku Lapar yang berada di Tigaraksa, Tangerang, Banten, itu memicu penghapusan mural serupa lainnya.


Di saat yang sama, mural bertuliskan 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di Pasuruan, Jawa Timur juga dihapus. Mural 'Wabah Sebenarnya Adalah Kelaparan' di Banjarmasin mengalami nasib yang sama. Ditambah dengan 'Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan' di Tangerang.

Akhir pekan lalu, mural 'Dibungkam' di Jembatan Kewek, Yogyakarta yang dibuat oleh seniman Yogya Street Art dihapus aparat. Yang teranyar adalah mural sosok mirip Jokowi dengan mata dituliskan kata '404: Not Found' yang sudah ada sejak Januari 2021 namun juga dipermasalahkan sampai senimannya diburu polisi.

Sejumlah petugas tengah membersihkan sisa mural pria mirip Jokowi di Bandung.Sejumlah petugas tengah membersihkan sisa mural pria mirip Jokowi di Bandung. Foto: Yudha Maulana

Ini Aturan Pasal soal Kebebasan Berekspresi

Dua hari sebelum peristiwa penghapusan mural mirip Jokowi di Bandung, LBH Jakarta menggelar diskusi publik bertajuk 'Mural dan Intimidasi'.

Dalam bincang virtual pada Selasa (24/8/2021), Oky Wiratama selaku pengacara publik LBH Jakarta menjelaskan mengenai aturan dasar kebebasan berekspresi dan pasal yang dipermasalahkan.

Menurut penuturan Oky, kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 pasal 28 F dan 28E ayat 3 yang menyatakan, 'Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat'. Aturan itu juga termuat dalam UU HAM No 39/ 1999 pasal 23 ayat 2 dan UU 5/2007 tentang Pemajuan Kebudayaan termasuk salah satunya adalah seni.

"Dasar hukumnya sudah ada di internasional dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, konvenan hak sipil dan politik, dan ICESCR. Di hukum nasional juga sudah ada aturannya," ungkap Oky.

Namun seringkali, lanjut dia, kebebasan berekspresi dikenakan pasal pidana yang menjerat dari warisan kolonial.

"Warisan kolonial ini ada di KUHP yang dipakai untuk membungkam, tapi sebenarnya pasca putusan MK di tahun 2006 sudah dihapuskan," sambungnya.

Pasal yang sering digunakan untuk mempidanakan kritik terhadap pemerintah ada dalam pasal 207 KUHP, pasal 134 KUHP, pasal 136 KUHP, dan pasal 137 KUHP.

"Jadi saya justru balik tanya kalau ada yang mau mempidanakan, update tidak tentang putusan MK di tahun 2006 itu," pungkasnya.

Dalam putusan MK No 013/022/PUU/IV/2006, pasal 134, 136, 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden sudah dibatalkan. Pernyataan hakim saat itu yakni: "Dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi dipergunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah) maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)."




(tia/nu2)

Hide Ads