Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa

Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa

Tia Agnes - detikHot
Kamis, 30 Nov 2017 18:40 WIB
Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Foto: Ari Saputra
Jakarta - Butet Kartaredjasa bukan sembarang seniman. Berkecimpung sebagai aktor teater sejak akhir dekade 1970, sampai sekarang namanya kian besar dan dikenal lewat program 'Sentilan Sentilun' maupun Teater Indonesia Kita yang berdiri sejak 2011 silam.

Akhir 2017 pula menjadi momentum akbar bagi karier Butet. Kembali ke ranah seni rupa, pria kelahiran 21 November 1967 itu menggelar pameran tunggal perdana yang berjudul 'Goro-goro Bhinneka Keramik' di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta Pusat.

Alih-alih sebagai terapi otak ketika otaknya yang kerap nge-hang, Butet kembali melukis di atas keramik. Seperti melakukan residensi di sebuah pabrik keramik kawasan Karawaci, Tangerang, sebanyak 138 karya dipamerkan di eksibisi tersebut. Beberapa karya ada yang dipadukan dengan kayu dan baja untuk membentuk sejumlah karya utuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT



Dari bagian depan galeri, ada rangkaian seri berjudul 'Celeng'. Hewan babi hutan kerap diasosiasikan dengan kemakmuran dan berlambang rakus. Dalam budaya Jawa, istilah celengan digunakan sebagai wadah atau brankas untuk menyimpan uang. Butet menciptakan 17 celeng yang diletakkan terpisah.

Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Foto: Ari Saputra


Di antara seri celeng, ada celeng berkaki emas. Kaki celeng itu dicelup Butet dengan emas cair 12 karat. "Di bagian bawah ini sengaja saya kasih emas," ujar Butet memulai tur.

Di ruangan yang lain, ada celeng yang dilukis berbulu zebra, berloreng hijau, ada celeng yang di bagian pantat terdapat lukisan pohon beringin. "Celeng yang saya buat berdasarkan gaya populer di zaman Majapahit," kata Butet.


Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Foto: Ari Saputra


Di ruangan lain, ada serangkaian seri berbentuk figur dari Jokowi dengan ciri khas tawanya, wajah Bung Karno yang terlihat karismatik, Gus Dur yang digambarkan sebagai orang suci, kepala Buddha berada di atas keramik, serta di bagian belakang galeri yang paling menarik dan lebih religius. Tema 'obral' dilihat Butet dari sudut pandang seni rupa, agama Kristen adalah agama yang mengutamakan bentuk.

Bagi Butet, Tuhan yang 'menubuh' pada diri manusia Yesus Kristus. "Artinya kehadiran yang Ilahiah dapat dilihat secara material dan dapat disentuh dengan ujung jari kemanusiaan secara langsung. Agama Kristen sangat dekat dengan bentuk-bentuk representasional dari segala yang material dan historis," tulis keterangan katalog.

Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Foto: Ari Saputra


Di bagian lain galeri ada serial 'Punakawan Unfriend'. Ketidaksengajaan lempengan keramik itu dibuat bermakna oleh Butet. Dia memajang lukisan yang 'pecah' dari Petruk, Gareng, Bagong, dan Semar. Visualiasi Punakawan yang setia dan menyatu diartikannya dengan konteks kekinian di atas pelat baja.

"Sama seperti cerita masa kini yang tidak luput dari perpecahan," kata dia.

Berbagai karya yang dipamerkan Butet, ditegaskan oleh kurator Adi Wicaksono bukan kritik yang kerap biasanya dilontarkan oleh Butet. "Ini personal apa yang menjadi interpretasi dari Butet. Banyak karya kolase yang sepanjang prosesnya tak sengaja pecah lalu dia buat pemaknaan ulang," tutur Adi.

Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Monolog Visual di Panggung Baru Butet Kartaredjasa Foto: Ari Saputra


Karya yang seakan penuh dengan ketidakpastiaan, chaos, rapuh, dan mudah pecah seperti sifat keramik sama seperti konteks masa kini. Di tengah-tengah pameran, Butet menambahkan, "Jangan kapok menjadi Indonesia." Pameran 'Goro-goro Bhinneka Keramik' dibuka pada 30 November dan berlangsung sampai 12 Desember 2017.

(tia/tia)

Hide Ads