Saat Intifada II berkecamuk di negara asalnya, Maya Abu Al-Hayyat kehilangan seseorang yang dicintainya. Momen terkelam dalam hidupnya itu dituangkan lewat puisi yang diterbitkan ke dalam buku The Blue Pool of Questions.
"Saya kehilangan orang yang terkasih dan merasa ingin 'mati saja' saat itu. Saya tidak bisa hidup lagi setelah peristiwa Intifada terjadi di Palestina," ungkapnya ketika berada di panggung Jakarta Content Week 2023.
Bahkan kehilangan orang terkasih maupun keluarga menjadi (seakan-akan) momen sehari-hari bagi warga Palestina. Setiap peristiwa, lanjut dia, ada saja keluarga yang meninggal atau kerabat terjauh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Gaung Palestina dari Jakarta |
"Saya berkata kepada saudara perempuanku, 'Sudah, sudah. Saya ingin mati saja. Atau biarkan tank Israel menabrakku, saya terasa tidak ada harapan hidup'. Tapi (mungkin) karena dia-lah saya masih hidup sampai sekarang, menulis, menerbitkan karya, dan terus bersuara serta mengenang orang-orang yang meninggal karena segala peristiwa yang terjadi di Palestina," katanya.
Dalam sejarah panjang Palestina vs Israel, gerakan Intifada yang dianggap sebagai pemberontakan terjadi dua kali, yang pertama antara Desember 1987 dan 1993. Serta Intifada kedua sejak 2000-an, dan serangan bertubi-tubi itu membuat Hamas melakukan serangan balik ke Israel sejak 7 Oktober.
Lebih dari 11 ribu warga sipil dan tak bersalah meninggal karena peperangan ini. Krisis kemanusiaan terjadi, anak-anak dan perempuan menjadi korban akibat serangan udara serta darat pasukan Israel.
Maya Abu Al-Hayyat menceritakan situasi terkini di Gaza dan kota-kota Palestina saat ini yang 'tegang'. Situasi bisa tak terkendali jika pasukan Israel mengetahui ada bendera Palestina di rumah setiap warga atau di kolong tempat tidur.
"Saya tinggal di Yerusalem, ada pembagian sebuah wilayah kecil seperti kampung bagi kami masyarakat Muslim. Yerusalem menjadi wilayah kota khusus yang belum ditetapkan. Apa yang terjadi saat ini sangat intens, benar-benar intens, dan mencekam," katanya ketika berbincang dengan detikcom.
Setiap gerak-gerik warga sipil menjadi serbasalah dan tak menentu. "Kami harus berhati-hati selalu dan selalu," ucap Maya.
"Hati saya selalu tertinggal di Gaza dan memikirkan semua peristiwa yang terjadi di sana. Keluarga dan semua kerabat," katanya.
Lewat puisi-puisi yang dituliskannya pula, Maya meyakini sastra lebih kuat dari senjata. Kata-katanya bisa menembus tank-tank dan rudal Israel serta menyuarakan apa yang terjadi di negaranya kepada dunia.
Maya Abu Al-Hayyat telah menulis 4 novel, 4 buku kumpulan puisi, dan buku anak-anak. Ia menjadi direktur Lokakarya Penulisan Palestina pada 2013 dan menulis sejumlah cerita anak-anak, termasuk buku pemenang penghargaan The Blue Pool of Questions .
Dia menerbitkan novel pertamanya The Sugar Beans pada tahun 2004, diikuti dengan kumpulan puisi pertamanya What She Said About It pada 2007. Maya memberikan kontribusinya pada bidang sastra anak-anak, menulis untuk beberapa program televisi untuk anak-anak, termasuk Sesame Street (versi Arab, Iftah ya simsim ), dan bersama mereka memproduksi serangkaian cerita termasuk Masouda, The Turtle, dan Kiki and Coco in the Clinic.
Dia membawakan program anak-anak seperti Farhan and Friends selama bertahun-tahun di Palestina TV . Beberapa cerita Maya diterbitkan dalam bahasa lain, termasuk The Bedtime Story ke dalam bahasa Swedia dan The Pool of Blue Questions dalam bahasa Inggris. Maya Abu Al-Hayyat sendiri juga telah menerjemahkan beberapa novel internasional ke dalam bahasa Arab.
(tia/wes)