In the twenty-six years I lived in Palestine
I never took part in a demonstration
Never threw a stone
Never joined a political bloc
Never took pleasure in explosions
Never called an anyone to support anyone and yet
I lost my lover to a bullet in the head
A phone call saved me from a bullet in the head
My bedroom shook
As I watch the bullets fly
From behind the closet door
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maya Abu Al-Hayyat membacakan lantang penggalan puisi berjudul Autobiography of Fear: All this events are true saat pembukaan Jakarta Content Week 2023 di kawasan TIM, Jakarta Pusat, pekan lalu. Suaranya keras dan menggema di sekeliling ruangan, tatapannya tajam.
Dalam setiap sesi berikutnya di JakTent, Maya membacakan lagi puisi-puisi yang ditulisnya. Masih soal Palestina, masih tentang ketakutan, kritik atas kekejaman pasukan Israel terhadap warga sipil, dan segala rupa yang terjadi di kampung halamannya.
Negara Palestina ramai digaungkan setelah 6 pekan serangan Israel terhadap warga sipil. Lebih dari 11 ribu orang tewas yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan, Indonesia pun lantang meneriakkan pembebasan terhadap Palestina. Presiden Jokowi mengupayakan diplomasi untuk Palestina.
Maya Abu Al-Hayyat, lahir di Beirut dan kini tinggal di Yerusalem timur. Ibunya adalah orang Lebanon, ayahnya seorang Palestina. Dia tumbuh dan dibesarkan oleh bibinya di Yordania. Selama belasan tahun, ia tidak bisa menjumpai orang tua-nya. "Ayah saya tidak bisa bertemu dengan ibu karena perang Lebanon yang berkecamuk, dia dilarang. Saya baru ketemu ayah ketika berusia 15 atau 16 tahun, dengan ibuku di usia 20 tahun," ungkap Maya di panggung Jakarta Content Week 2023.
Ketika remaja, Maya baru menginjakkan kaki di tanah kelahiran ayahnya. Ada rasa haru sekaligus mencekam ketika tiba di Palestina.
"Saya ingat sekali momen itu, Palestina yang banyak ada dalam pemberitaan media-media Barat disebut sebagai negara konflik selama ratusan tahun lamanya. Hari ini di-bom, hari berikutnya anak-anak bermain sebagaimana biasanya. Saya terkejut, ada apa ini? Ada apa dengan Palestina? Ada apa dengan anak-anak, mencoba hidup normal dalam situasi yang tidak normal," ucap Maya kepada detikcom.
![]() |
Maya yang juga dikenal sebagai pemimpin Asosiasi Penulisan Palestina berusaha untuk menggaet penulis-penulis muda. The Book of Ramallah pun menjadi proyek penyuntingannya, tentang cerita-cerita kota Ramallah dari berbagai perspektif. Sebagai editor The Book of Ramallah, buku cerita pendek yang diterbitkan oleh Comma Press dalam Reading the City Series, menggambarkannya sebagai sebuah 'kota namun juga gelembung'.
"Saya mencari penulis berbakat untuk menceritakan soal Ramallah. Kota unik yang tak banyak tahu," katanya.
Dia sukses menerbitkan empat novel, empat buku kumpulan puisi, dan puluhan puisi sampai cerpen. Maya bukan sembarang warga Palestina. Lewat kata-katanya, Maya menelusuri berbagai jejak negaranya dan bersuara bahwa kata Palestina harus terus digaungkan setiap hari termasuk di jagat maya.
![]() |
"Saya berpikir banyak, mengapa saya harus ke sini? Ke Jakarta (Jakarta Content Week). Harus ada banyak orang yang menyuarakan tentang Palestina dan apa yang terjadi di sana akhir-akhir ini atau sejarah ratusan tahun lamanya," katanya.
Maya pun yakin dengan kekuatan tulisannya, bisa menyuarakan apa yang terjadi di Palestina. "Ya, sastra punya kekuatan itu. Saya terus meyakini itu, meski hati saya sedih sekali ada banyak korban sejak 7 Oktober. Kami butuh lebih banyak orang yang bersuara dan menulis," pungkasnya.
Bagaimana cerita obrolan detikcom bersama Maya Abu Al-Hayyat? Simak artikel berikutnya ya.
(tia/wes)