Jakarta -
Sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lewat Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2013, setiap tanggal 9 Maret, kita sebagai rakyat Indonesia memiliki sebuah hari untuk dirayakan, yakni Hari Musik Nasional.
Bagi banyak orang yang berkecimpung di dalamnya, maupun yang menikmati musik, Hari Musik Nasional lebih dari sekadar peringatan. Hari tersebut menyimbolkan apresiasi pada para pekerja musik, bagaimana eksistensi mereka selama ini diakui oleh negara.
Hari Musik Nasional jatuh pada 9 Maret karena dianggap sebagai tanggal lahir Wage Rudolf Supratman, seorang pahlawan dan pencipta lagu 'Indonesia Raya'.
Nyatanya, ada berbagai versi sejarah yang menyebutkan bahwa W.R. Supratman belum tentu lahir pada tanggal tersebut.
Terlepas dari itu semua, Hari Musik Nasional adalah hari yang patut dirayakan. Bagaiman tidak? Musik telah menjadi salah satu aspek yang selalu mengiringi hidup kita. Di berbagai tempat, musik diputar, dan dirayakan.
Meski musik telah menjadi bagian dari hidup banyak orang, masih ada segelintir persoalan dan permasalahan yang yang harus dibenahi di ranah tersebut.
Tahun lalu, kericuhan terjadi di beberapa acara musik berskala besar. Misalnya saja, Lalala Fest yang mengusung konsep festival musik hutan.
Acara yang bertempat di Lembang, Jawa Barat itu mendatangkan Honne, The Internet, Crush, Years & Years dan lain-lain dan terselenggara pada 23 Februari. Sayangnya, protes dan kritik keras datang menggunung setelah acara berlangsung, mulai dari akses ke venue yang sulit, venue acara yang becek karena musim hujan hingga minimnya tempat sampah di acara itu.
Ada lagi festival musik Lokatara Fest yang digelar di Kuningan, Jakarta Selatan pada 21 November 2019. Sejatinya, acara ini dimeriahkan oleh The Drums, Gus Dapperton, Sales, dan lain-lain.
Nyatanya, sejumlah pengisi acara internasiona memilih membatalkan penampilannya. Hal itu disebabkan oleh persoalan visa dan perizinan tampil yang tidak tuntas dalam penyelenggaraan acara itu.
Masih di bulan yang sama, festival Musikologi yang digelar pada 30 November 2019 di Senayan, Jakarta Pusat berakhir ricuh. Bahkan massa sempat bertindak anarkis dan beberapa penampil harus mundur dan batal tampil.
Namun tidak semua festival musik berakhir nestapa. Di 2019, ada sejumlah acara musik yang terbilang berhasil dan terselenggara dengan baik. Misalnya We The Fest yang berlangsung pada Juli 2019. Acara itu berhasil menampilkan Warpaint, Cigarettes After Sex, Joji, Rae Sremmurd, Troye Sivan, Daniel Caesar hingga Travis.
Synchronize Fest 2019 bahkan memberikan kejutan pada penontonnya dengan tiba-tiba menampilkan musikus legendaris Iwan Fals yang tidak ada di daftar line up sebelumnya. Menariknya, Synchronize Fest tahun lalu mencoba menjadi festival ramah lingkungan dengan mencoba menggunakan energi terbarukan dan menimalisir sampah.
Permasalahan lain yang tidak pernah ada habisnya untuk dibahas adalah persolan royalti dan pembajakan. Dalam diskusi yang berlangsung di Soreang, Jawa Barat pada November 2019 lalu, Sari Koeswoyo mengeluhkan sulitnya menertibkan pembajakan meski musik sudah terdigitalisasi.
"Bisa dilihat berapa banyak lagu Koes Bersaudara yang ada di YouTube, ada yang bentuk satu album, ada yang diketeng satu-satu dan semua dimonetasi dan kami tidak menerima apapun," ungkapnya.
Meski demikian, Sari melihat adanya harapan dengan adanya lembaga manajemen kolektif yang mengurusi urusan royalti dan hak cipta. Namun tetap saja, ia melihat banyak musisi tua yang masih belum mengetahui dan mendapatkan perihal haknya.
"Ketidaktahuan musisi tua benar-benar membuat mereka tidak sejahtera. Konteks hari ini lebih jauh baiknya, karena ada laporannya," ucapnya.
Persoalan perempuan juga menjadi hal yang krusial dalam kancah permusikan saat ini. Meski poin mengenai kesetaraan gender telah tertulis dalam deklarasi konferensi musik dua tahun berturut-turut, pada 2018 dan 2019, nyatanya, masih banyak perempuan menjadi rentan ketika memasuki area musik.
"Aku sering mendengar cerita langsung dari teman-teman perempuan mengenai apa yang terjadi di backstage, ini antar musisi, musisi dengan crew atau musisi dengan penonton," kata musikus Rara Sekar dalam sebuah diskusi yang digelar di Thamrin, Jakarta Pusat pada Desember 2019.
Dalam diskusi itu, Rara Sekar mengatakan bahwa pelecehan seksual di lingkup musik adalah perpanjangan dari pelecehan seksual yang terjadi di ruang lain dan merupakan hal yang terjadi secara struktural.
Akan tetapi, kabar baiknya, persoalan perempuan di ranah musik mulai menjadi perbincangan. Tahun lalu, beberapa musisi sempat membuat inisiasi simbol SOS untuk menanggulangi pelecehan seksual di konser.
Diskusi mengenai persoalan pelecehan seksual di konser dan dia area musik lainnya pun digelar. Isu peremouan di musik menjadi perbincangan yang cukup ramai dalam jangka satu tahun belakangan.
Dalam setiap permasalahan di industri musik, selalu ada harapan. Kita semua tidak bise menutup mata bahwa segelitir persoalan masih ada di industri musik dan perlu untuk dibenahi. Akan tetapi selama masih banyak pihak yang merasa bahwa membenahi industri musik adalah kerja kolektif yang harus dilakukan bersama-sama, harapan masih selalu ada.
Selamat Hari Musik Nasional karena musik bagi sebagian orang bukan hanya bagian dari hidup, namun juga sumber dari penghidupan.
Simak Video "Video Apresiasi Keluarga WR Supratman Atas Perilisan Vinyl Indonesia Raya"
[Gambas:Video 20detik]