Mengenang Mohamad Sunjaya, Jurnalis dan Penghidup Teater Indonesia

Mengenang Mohamad Sunjaya, Jurnalis dan Penghidup Teater Indonesia

Yudha Maulana - detikHot
Sabtu, 15 Feb 2020 18:19 WIB
Pemakaman maestro teater Muhamad Sunjaya (Yudha Maulana/detikcom)
Foto: Pemakaman maestro teater Muhamad Sunjaya (Yudha Maulana/detikcom)
Bandung -

Mohamad Sunjaya, atau yang akrab disapa Kang Yoyon, merupakan seorang tokoh seni teater dan jurnalis radio yang jenius. Ia kerap mengkritik pemerintah dengan satir yang menggigit di udara.

Sayup-sayup suara Yoyon kembali terngiang di kepala Soeryono Adi Sapoetro. Ia ingat betul, ketika bosnya yang idealis itu merobek-robek naskah berita radio buatannya sambil mencak-mencak.

"Hmm bau rokok!" kata Soeryono sambil menirukan gaya bosnya itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Istilah 'bau rokok' sering dilontarkan Yoyon, tujuannya buat menyindir para wartawan yang menerima amplop atau istilahnya 'tukar kliping' ke narasumber.

"Dia seperti punya feeling kalau ada wartawan yang menerima uang. Sesibuk apapun dia pasti selalu mengoreksi naskah, kalau curiga, dia bilang 'bau rokok'," ucapnya sambil tersenyum simpul.

ADVERTISEMENT

"Tak sampai situ, pak Sunjaya juga langsung kroscek ke humas. Betul nggak wartawannya terima amplop," ujar Soeryono.

"Makanya ketika banyak wartawan antre buat amplop, saya dan Her Suganda dari Kompas nggak berani terima, nanti bakal diperiksa Pak Yoyon," tambah Soeryono.

Ia mengatakan, semua saluran radio swasta pada 1970-an, wajib me-relay siaran berita dari Radio Republik Indonesia (RRI) setiap jam. Namun, Yoyon berhasil menembus batas-batas itu dengan caranya sendiri.

Hal itu terjadi saat Yoyon didaulat menjadi pemimpin redaksi pusat pemberitaan PRRSNI Jabar. Ia yang hobi mendengar siaran berita asing, berani mengutip pemberitaan stasiun radio BBC mengenai tragedi Mina.

"Dia berani menyiarkan tragedi Mina, pusat pemberitaan dapat respon yang baik. Dulu radio swasta itu selalu dipandang sebelah mata, apalagi urusan current affairs," katanya.

Memang tak bisa dipungkiri, keberadaan sang kakak, Yogie Suardi Memet yang berpangkat Pangdam IV/Siliwangi (kemudian jadi Kemendagri) bisa sedikit membendung tekanan yang datang dari luar.

"Saat itu dianggapnya, masa Yoyon yang adiknya Pangdam itu akan berbuat macam-macam?" kata Soeryono yang kemudian menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif PRRSNI 2011 itu.

Akurasi menjadi hal yang paling penting bagi Yoyon, bahkan salah tulis ejaan nama dalam naskah radio pun tak luput dari koreksinya. Selain di PRRSNI, Yoyon juga aktif mengudara bersama Radio MARA.

"Sebelum dibacakan di radio, ia baca ulang, akurasi, jangan sampai salah tulis jabatan, bahkan ejaan nama orang antara 'oe' dan 'u'. Buat dia penting. Buat dia akurasi harga mati, dimulai dari hal yang remeh seperti itu, padahal kan ini radio," kata Nur Syawal eks jurnalis MARA tahun 90'an.

Ada kebiasaan unik yang dimiliki oleh bosnya tersebut, Yoyon sengaja mendatangkan scanner khusus untuk menguping saluran radio, baik dari pemerintahan maupun militer.

"Dia ajarin saya alat sadap yang aneh-aneh, dia kasih tahu wartawan punya hak untuk mengumpulkan banyak informasi dengan segala cara, frekuensi dari pesanan taksi hingga militer bisa didengar," kata Nur.

"Sipil itu dilarang menggunakan alat seperti ini. Tapi dia selalu punya prinsip, wartawan harus lebih tahu lebih dulu daripada orang lain, kalau tahunya besok, apa bedanya dengan pembaca? Kita harus lebih dulu tahu," ucapnya.

Kendati demikian, ujar Nur, informasi yang didapatkan melalui scanner tersebut adalah ilegal. Informasi itu hanya berfungsi sebagai latar belakang saja dan tak sembarangan bisa dipublikasi.

"Kita harus konfirmasi supaya legal, misal narasumber menolak atau mengiyakan, itu baru legal. Jadi dia tuh mengajarkan etika by doing, bisa dikatakan lebih jurnalis daripada jurnalis, meski tak punya latar publisistik," kenangnya.

Bahkan sebelum Bill Kovach populer dengan 9 elemen jurnalistiknya, Yoyon telah mengumandangkan hal ini sebelumnya. Menurutnya, jurnalis harus menyuarakan suara orang-orang yang tak bisa bersuara.

"Makanya lingkar pertemanannya lucu-lucu, ada WS Rendra, Petisi 50, dia itu desiden, tapi tak bisa diciduk. Saking pandainya memilih kata-kata, tapi kita tahu siapa yang disindir," katanya.

Redaksi MARA yang dinakhkodai Yoyon, pun kerap memilih lagu-lagu yang disesuaikan dengan keadaan ketika itu. Seperti lagu Ode to Joy, Beethoven yang menggambarkan suasana hati yang kelam.

"Pokoknya high context komunikasinya, gayanya satir. Seperti surat-surat nyasar, dia itu orang berani," ucapnya.

Gairah Yoyon untuk menyuarakan lidah rakyat, terhenti pada tahun 1998. Tepatnya pascaera Reformasi. "Ada sesuatu masalah, sehingga ia berhenti dari radio dan memilih untuk lebih aktif di teater," katanya.

Kini jurnalis dan penghidup teater itu telah erpulang pada usia 82 tahun di kediamannya pada Kamis (13/2/2020) lalu. Ia pergi dengan ke haribaan-Nya di rumahnya yang terletak di Jalan Terusan Sukamulya, Sukajadi, Kota Bandung dan dimakamkan di TPU Sirnaraga.



Simak Video "Menengok Klinik Khusus Lansia Inggit Garnasih"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads