Morbius, musuh Spider-Man yang seperti Venom mendapatkan jatah untuk beraksi di film solonya, adalah sebuah film yang tidak basa-basi. Dalam 104 menit penonton diajak untuk berkenalan dengan karakter utamanya, kenapa dia mau melakukan eksperimen ilegal, kenapa dia akhirnya berantem dengan sahabatnya sendiri dan bagaimana dia akhirnya menjadi manusia penghisap darah. Semuanya dibungkus dalam sebuah film yang secara estetik sangat stylish. Dan dengan Jared Leto sebagai pemeran utamanya, Anda bisa menyangka bahwa ini adalah trailer untuk Met Gala.
Film dibuka di pedalaman hutan di Costa Rica dimana Dr. Michael Morbius (Jared Leto) yang menderita penyakit yang berhubungan dengan darah, mencari kelelawar penghisap darah yang menurutnya akan menjadi kunci untuk menyelamatkan semua orang yang mempunyai penyakit yang sama dengan dirinya. Setelah ini kita kemudian mundur untuk bertemu dengan Morbius masa kecil bersama sahabatnya Milo (nama aslinya Lucian) di Yunani. Ikatan mereka berlangsung cepat dan efektif sehingga keduanya akhirnya terus-terusan dekat bahkan ketika mereka sudah dewasa.
Kembali ke masa sekarang di New York, Morbius melanjutkan eksperimennya bersama Martine Bancroft (Adria Arjona), seorang ilmuwan dan juga dokter seperti Morbius. Dia tahu eksperimen rahasia Morbius bahkan tanpa dibeberkan sang rekan. Berkat bantuan Milo, mereka akhirnya pergi ke perairan internasional untuk melakukan eksperimen Morbius: menggabungkan DNA kelelawar dan manusia demi mengobati penyakit langkanya itu.
Bagi semua penonton film superhero (terutama Spider-Man) pasti tahu apa yang terjadi. Morbius tidak hanya sembuh dari penyakitnya tapi sekarang dia memiliki kemampuan seperti kelelawar. Dia bisa terbang. Dia memiliki pendengaran yang luar biasa. Dan lebih dari itu, Morbius yang tadinya sangat ringkih sekarang langsung mempunyai perut six-pack dan otot yang hanya bisa dimiliki orang yang rajin pergi ke gym. Semuanya kelihatannya baik dan sesuai rencana. Hanya saja eksperimen ini mempunyai satu minus: Morbius sekarang jadi haus darah.
Ditulis oleh Matt Shazama dan Burk Sharpless, banyak hal yang membuat Morbius tampak generik. Kisahnya sangat standar. Kalau Anda tidak tahu bahwa Morbius ini nantinya akan menjadi musuh Spider-Man, mungkin Anda akan bertanya-tanya kenapa film ini dibuat. Dialog-dialognya juga sangat generik. Ada plot tentang detektif yang menyelidiki soal Morbius juga terasa seperti tidak ada gunanya.
Meskipun begitu, saya sangat menikmati Morbius. Salah satu alasannya adalah karena sutradara Daniel Espinosa menyutradarai film ini dengan semangat yang membara. Dia tahu bagaimana cara mempersembahkan anti-hero yang satu ini ke masyarakat sehingga filmnya sangat asyik untuk dikunyah dari awal sampai akhir.
Tidak seperti film pertama Venom yang tidak jelas maunya apa, Morbius tahu dia film apa (meskipun kurang totalitas). Espinosa tahu bagaimana cara menjaga mood dan tone film ini dengan suasana gothic yang kuat sehingga dari awal film tayang, penonton tahu jenis film apa Morbius ini. Dipilihnya Jared Leto sebagai pemeran utamanya menurut saya juga bukan kebetulan mengingat dia adalah salah satu icon gothic dengan band 30 Seconds To Mars-nya.
Mood gothic ini tidak hanya terbatas di color scheme dan makeup karakter Dr. Michael Morbius (awal-awal ketika Morbius masih sakit-sakitan, rasanya seperti menonton video klip Jared Leto yang lama) tapi juga turun ke production design sampai pemilihan kostum Morbius. Espinosa juga cukup telaten untuk membuat suasana film ini menjadi serius sampai-sampai film ini terasa seperti parodi dalam pengertian paling baik. Karena suasananya yang tegang, humornya yang sangat kering menjadi sebuah hiburan tersendiri yang menyenangkan.
Yang juga saya sangat suka dari Morbius adalah keputusan visualnya yang sangat unik. Kamera Oliver Wood digabung dengan bantuan CGI yang ciamik membuat film ini terasa sangat fresh. Shot-shot yang ditampilkan pun unik. Saya bahkan tidak membahas adegan-adegan spektakuler seperti ketika Morbius dan Milo berantem dan menghebohkan masyarakat. Saya berbicara soal shot-shot ngobrol sederhana dan Oliver Wood bisa memberikan adegan-adegan yang menarik untuk dilihat.
![]() |
Jared Leto bermain dengan cukup lumayan dan mempunyai kharisma yang kuat untuk menjadi Morbius. Adria Arjona meskipun tidak mempunyai karakter yang tiga dimensional mempunyai cukup chemistry dengan Leto sehingga hubungan mereka gampang untuk didukung. Tapi memang Matt Smith sebagai Milo yang mencuri perhatian. Smith yang bentuknya sudah seperti vampir tanpa dandan tampil dengan sangat meyakinkan sebagai musuh Morbius. Dengan backstory yang meyakinkan, Smith dan Leto mempunyai daging yang lumayan tebal untuk membuat adegan mereka menjadi berisi.
Di tengah-tengah film, ketika Espinosa menunjukkan siapa penjahat sebenarnya yang membuat Morbius terasa seperti sebuah adaptasi novel gothic, saya merasa bahwa film ini mempunyai potensi untuk menjadi sebuah film yang sensasional. Semua rumusnya sudah ada di sana tapi terhalang oleh rating. Dalam sebuah sekuens yang menyeramkan di lorong rumah sakit, Morbius akan menjadi sebuah horor sempurna (sesuatu yang diidam-idamkan oleh pembuat The New Mutants) kalau ia berkomitmen dengan tone horor yang ia usung. Bukannya Espinosa tidak bisa melakukan itu, terutama jika Anda melihat filmnya yang berjudul Life. Saya yakin kalau film ini diberi rating dewasa, Morbius akan jauh lebih asyik. Tapi untuk sementara, Morbius sudah lebih dari cukup untuk membuat saya penasaran dengan apa yang akan ia lakukan di film-film berikutnya.
Morbius dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
---
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(aay/aay)