Matt Reeves, sutradara dan co-writer film The Batman (filmnya ditulis bersama Peter Craig), sadar betul bahwa penonton sudah menyaksikan berbagai macam varian Batman lengkap dengan penjelasan tentang bagaimana si milyuner Bruce Wayne (Robert Pattinson) berubah menjadi pahlawan gelap bernama Batman. Itulah sebabnya ketika film dibuka Reeves tidak lagi menjelaskan tentang awal mula itu semua.
Tidak ada adegan kematian orang tua Bruce Wayne yang tragis yang sudah kita lihat dalam berbagai bentuk dan versi. Tidak ada momen Bruce Wayne galau mencari jati dirinya. Yang ada adalah seorang laki-laki yang begitu tersiksa dengan warisan keluarga dan juga beban untuk menjaga ketertiban kota yang dia cintai sampai dia melakukan sesuatu yang sangat ekstrim.
Film dibuka dengan adegan pembunuhan seorang walikota yang menggegerkan satu kota. Jim Gordon (Jeffrey Wright) membawa Batman ke lokasi untuk membantunya memecahkan misteri ini. Dari cara mereka berinteraksi sepertinya ini bukan pertama kalinya Jim Gordon membawa Batman ke TKP. Tapi dalam kasus ini ada sesuatu yang spesial. Si penjahat yang menamainya The Riddler (Paul Dano) memberikan teka-teki khusus untuk Batman.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pembunuhan si walikota ini ternyata hanya permulaan dari kekacauan yang akan menghantui Bruce Wayne karena tidak lama setelah kejadian itu, satu demi satu korban mulai berjatuhan. Batman pun terus mencoba untuk memecahkan misteri yang kompleks ini. Pencariannya akhirnya membawanya ke Selina Kyle (Zoe Kravitz), seorang pelayan klab malam yang memiliki rahasia yang sama gelapnya seperti dia. Investigasi Batman terus berlanjut dan semakin lama ia mencoba memecahkan teka-teki The Riddler, masa lalunya semakin menghantuinya dan menggenggamnya erat-erat.
Kalau Anda pikir Batman dalam trilogi Dark Knight karya Christopher Nolan sudah moody dan gelap, bersiaplah dengan film Batman yang satu ini. Film ini tidak hanya gelap tapi tone dan mood-nya sangat konsisten moody, atmospheric, depressing. Reeves merekam Gotham dengan visual yang megah meskipun isinya adalah keputusasaan. Ini bukan sekedar gimmick. Reeves benar-benar mengenalkan Batman versi barunya dengan visual yang matching dengan jiwa Batman yang ia bawa.
Baca juga: The Batman, Nirvana dan Pemberontakan |
Kalau Bruce Wayne versi Christopher Nolan masih sempat untuk menjaga image dengan bergandengan dengan perempuan-perempuan cantik sebagai aksesori, Bruce Wayne versi Matt Reeves adalah orang yang menutup diri dari dunia. Kulitnya pucat dan ketika ia berdiri di depan umum, Wayne seperti tidak tahu bagaimana caranya berbicara dengan orang lain selain Fred (Andy Serkis).
Dari responsnya ketika Selina mendekatinya, Anda bisa bertaruh bahwa Bruce Wayne yang satu ini sepertinya masih perjaka. Bruce Wayne terlalu terjebak dengan memori masa lalu sampai-sampai dia lumpuh dan menciptakanalter ego baru untuk coping.
Bruce Wayne versi ini akhirnya ternyata menjadi sebuah keputusan penting karena akhirnya penonton menjadi mengerti kenapa Batman lahir dan apa fungsinya bagi Gotham City. Bukan kebetulan kalau Reeves membuka film ini dari point of view penjahat yang kemudian diikuti dengan shot yang mirip hanya untuk di-reveal bahwa ini adalah point of view Batman.
Batman dan penjahat-penjahat yang ada di kota ini punya metode yang sama. Mereka sama-sama beraksi di tengah malam, mereka tidak ragu-ragu untuk melakukan aksinya dan mereka sangat baik dalam pekerjaan mereka. Yang membedakan hanyalah tujuan mereka.
Yang membuat saya sangat mencintai The Batman adalah bagaimana Reeves bisa membuat film noir dalam kostum film superhero. Tanpa kehadiran Batman, Riddler dan Catwoman, The Batman mungkin seperti film-film noir yang dirilis jaman dulu. Lengkap dengan hujan yang tiada henti dan penjahat-penjahat yang selalu selangkah lebih maju dari karakter utamanya.
![]() |
Anda mungkin bisa mengeluh bahwa durasi tiga jam adalah waktu yang terlalu lama untuk mengunyah sebuah hiburan. Tapi saya bisa yakinkan Anda bahwa tiga jam adalah waktu yang tepat untuk bisa "mengerti" Batman yang ini. Matt Reeves tidak hanya mengundang kita untuk menjadi pengunjung Gotham tapi juga mengajak kita untuk benar-benar paham bagaimana cara berfikir Batman. Dan itu adalah sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan.
Membuat film tentang sebuah tokoh superhero yang sudah sangat melegenda tentunya bukan pekerjaan gampang. Apalagi kalau film-film sebelumnya lumayan memberikan kesan (kecuali Batman versi Zack Snyder yang saya kurang begitu cocok dan versi George Clooney yang lebih seperti sebuah kekhilafan). Tapi dalam The Batman, Matt Reeves meyakinkan saya bahwa dia adalah salah satu sutradara Hollywood yang tahu benar apa yang dia buat.
Lebih dari sekali saya menganga menyaksikan film ini karena ia berhasil mempersembahkan momen-momen pertama yang spektakuler. Bersiaplah untuk merinding keseruan ketika Anda menyaksikan pertama kali Batman muncul dari kegelapan, pertama kali Batman mengenalkan Batmobile, pertama kali Batman terjun dari gedung, pertama kali Batman keluar dari api yang membara.
Baca juga: Ada Apa di After-Credit di The Batman? |
Saya masih ingat ketika pertama kali Robert Pattinson diumumkan menjadi Batman. Banyak sekali orang-orang yang ragu dengan kemampuannya karena dia memang tidak kelihatan paling Batman. Badannya tidak gempal/kekar dan dia terlalu "kalem" untuk menjadi si supehero. Tapi percayalah, ketika Anda menyaksikan film ini, Anda akan tahu kenapa Matt Reeves memilih Pattinson menjadi Batman. Pattinson tahu benar bagaimana menampilkan seorang laki-laki yang tersiksa dengan sangat efektif.
Dia menjual semua melankoli yang diciptakan oleh Reeves dengan sempurna. Tapi kejeniusan casting department The Batman tidak berhenti di Pattinson. Semua orang yang ada di film ini adalah pilihan-pilihan terbaik. Zoey Kravitz, Jeffrey Wright, Paul Dano, Colin Farrell (Anda akan kaget kalau Anda tahu dia jadi siapa), Jon Turturro dan Peter Sarsgaard menampilkan karakter mereka dengan sangat baik sesuai dengan porsi mereka.
![]() |
Disaksikan di layar IMAX, presentasi The Batman lebih dari mencengangkan. Gambar yang disajikan Greig Fraser sangat menghipnotis. Kota Gotham terlihat begitu megah dalam kehancurannya. Sudut- sudut gelap, gang-gang kotor, jalanan penuh sampah, klub malam yang busuk, mansion yang terbengkalai, semuanya direkam dengan begitu epik. Dan seakan itu belum cukup, Michael Giacchino muncul dan mengisi gambar-gambar indah ini dengan musik yang begitu kuat, Anda akan terbawa dengan aura keputusasaan yang diusung oleh Reeves.
Singkatnya, ini adalah salah satu blockbuster Hollywood terbaik yang saya tonton, salah satu adaptasi komik paling baik dan salah satu pengalaman sinematik paling hebat yang saya tonton tahun ini. Saksikan segera di layar terbesar yang bisa Anda temukan dan temui si pangeran kegelapan itu, Anda tidak akan menyesal.
The Batman dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(ass/ass)