Podcast RAPOT yang terdiri dari Reza Chandika, Ankatama, Radhini dan Natasha Abigail menghadirkan drama dalam bentuk audio bertajuk Mau Gak Mau. Format tersebut mereka sebut sebagai cinematic audio series.
Tahun ini, Mau Gak Mau sudah menginjak musim keduanya. Dimulai sejak tahun lalu, para anggota podcast RAPOT sepakat bahwa di musim kedua ini mereka melakukan pengembangan dan perbaikan dari musim yang pertama.
"Tim belakang layarnya tetap sama dengan yang pertama. Jadi kami cenderung mengembangkan, belajar dari kesalahan yang pertama, kami coba lagi apa yang bisa diubah atau apa yang bisa ditambahkan," jelas Natasha Abigail dalam wawancara di kantor detikcom, baru-baru ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mau Gak Mau musim kedua tersebut digarap oleh empat sutradara, yakni Reza Chandika, Tumpal Tampubolon, Sigi Wimala, Naya Anindita dengan empat genre, yaitu nostalgia, silat kerajaan, thriller, dan musikal fantasi. Mereka juga bekerja sama dengan empat ilustrator yang terdiri dari Wastana Haikal, Wahyu Ramandha, Gurat Nadi, dan Tokok.
Selain itu, ada sejumlah artis yang turut berpartisipasi mengisi suara dalam Mau Gak Mau 2, mereka adalah Raisa, Yura Yunita, Sal Priadi, Najwa Sihab, Lukman Sardi, Abimana Aryasatya, Afgan, Kunto Aji, Sivia Azizah, Ardhito Pramono, Gamaliel, Teza Sumendra, Sheryl Sheinafia, hingga Dion Wiyoko dan lain-lain.
"Kalau tahun lalu kami punya 30 episode, sekarang kami bagi jadi 13 episode, pergenre itu ada empat episode, kecuali genre terakhir itu ada satu episode tapi sangat-sangat spesial," tutur Radhini.
Ide dibuatnya Mau Gak Mau pada awalnya tercetus dari ide Natasha Abigail yang ingin membuat sesuatu yang baru dan lain dari podcast yang mereka keluarkan secara reguler. Kebetulan, keempat anggota RAPOT memiliki pengalaman bekerja di radio. Pengalaman itu yang akhirnya mereka kembangkan.
Menurut mereka, sandiwara radio adalah salah satu hal yang kerap dinanti-nanti ketika bulan Ramadhan datang. Oleh karena itu, mereka ingin membuat semacam sandiwara dengan kualitas suara yang jauh lebih baik dan terasa utuh.
"Kami memang orang radio dulunya jadi lagi-lagi hal yang ditunggu saat bulan puasa ketika kami lagi ngabuburit adalah radio play. Konsepnya kan orang baru tahu ini sandiwara radio, cuman untuk teknisnya, ini jelas berbeda dan dibuat seserius itu, makanya kenapa kami nyebutnya cinematic audio series," ujar Reza Chandika.
"Karena kamu kerja di radio, kamu justru nggak mau bikin yang kayak drama radio, gimana caranya kami level up, pasti secara teknis," sambung Natasha Abigail.
Para anggota podcast RAPOT mengatakan mereka ingin menampil suara yang dapat dinikmati secara utuh dan rinci sehingga tanpa kehadiran gambar pun pendengar dapat menangkap apa yang ingin mereka sampaikan dan memahami emosi yang ingin disalurkan lewat cerita.
Natasha Abigail dan Pengalaman Dampingi Tunanetra
Natasha Abigail rupanya memiliki alasan menarik di balik keinginannya menampilkan audio secara utuh dan rinci. Niatan itu ternyata berangkat dari pengalamannya yang pernah mendampingi kaum tuna netra menonton film di bioskop sebagai teman bisik.
Tugas Natasha Abigial saat menjadi teman bisik adalah menjelaskan gambar yang ada dilayar yang tidak dapat tertangkap oleh suara dari film tersebut.
"Gue punya pengalaman jadi teman bisiknya teman-teman tunanetra, jadi gue pernah dalam satu bulan, gue nemenin teman tunanetra di bioskop. Karena mereka nggak bisa lihat, jadi gue akan mendampingi mereka dan begitu mereka butuh informasi gue akan kasih tau, ini visualnya seperti ini," cerita Abigail.
Bagi Abigail, film adalah tempat bercerita yang medium berceritanya menggunakan audio dan visual. Sehingga, jika ada salah satu aspek yang dihilangkan, akan ada pesan ataupun emosi yang terasa kurang tersampaikan.
Berangkat dari pengalaman itu, Abigail menyadari perlunya ada sebuah cerita yang secara utuh disampaikan lewat audio sehingga para teman-teman tunanetra pun dapat menikmatinya tanpa bantuan teman bisik lagi.
Oleh karena itu, Mau Gak Mau 2 didesain secara khusus untuk menyampaikan kisah hanya melalui audio.
"Nah itu memang karena tahu desainnya visual dan audio, tapi karena dari awal kami desainnya adalah audio, kebutuhan visualnya tuh seminim mungkin dibuat oleh penulisnya, jadi lebih detail di suara-suara, misalnya sedang takut, oke ada suara apa ketika sedang takut. Kalau ada gerakan nyenggol-nyenggol, misalnya, tanpa visual pun kita tahu kalau ini sedang nyenggol. Ini jadinya bisa didengarkan cukup lengkap tanpa perlu ada teman bisik," tutur Abigail.
Perangkat Mumpuni
Abigail bercerita, dalam proses rekaman hingga mixing dan mastering, mereka menggunakan teknologi yang dapat membuat suara yang ada dalam Mau Gak Mau 2 sebagai binauralis audio. Menurut Reza Chandika untuk dapat mendengarkan binauralis audio secara efektif, ada perangkat yang disarankan digunakan oleh pendengar.
"Makanya gue sangat rekomen banget untuk pake earphone atau headphone, karena kalau lo dengerin di mobil, itu fokus lo jadi hilang. Karena dengan teknis yang kami buat, ini akan tercapai kalau pake earphone atau headphone. Kalau lo ingn mencapai point yang teknis ini. Intinya Mau Gak Mau 2 ini, kami juga ingin ngajak elo bermain di theater of mind," ujar Reza Chandika.
Baca juga: Baca Berita detikcom bareng RAPOT, Yuk! |
Menurut Ankatama, yang seru dari menyimak cerita hanya melalui radio adalah munculnya imajinasi dan penafsiran visual yang mungkin berbeda dari satu pendengar ke pendengar lain.
"Serunya masing-masing ada theatre of mind-nya, seliar-liarnya, sejelas-jelasnya," kata Anktama.
"Theatre of mind kan ngebayanginnya beda-beda, jadi seru, balik lagi ke referensi diri masing-masing bagaimana kita bisa menanggapi karyanya," sambung Abigail.
(srs/doc)