The Changcuters menarik perhatian sejak awal kemunculannya 19 tahun lalu. Musiknya rock n roll yang tegas, tapi liriknya jenaka. Koreografi, busana yang khas serta perawakan lima personelnya. Identitas lima sekawan asal Bandung ini langsung diingat oleh pasar.
Hijrah ke London, Racun Dunia, I Love U Bibeh, meledak menjadi megahits sejak awal kemunculan. Label musik raksasa Sony Music Entertainment Indonesia menggandeng Tria Cs untuk menguatkan variasi artis-artis di bawah naungan mereka.
Singkat cerita, The Changcuters dengan mudah gila-gilaan dari satu panggung ke panggung lainnya. Tahun demi tahun berjalan hingga hampir 20 tahun, pandemi sempat membuat mereka tertahan, tapi nyatanya, begitu dinyatakan bahwa keramaian diperbolehkan, The Changcuters langsung gas berjalan.
detikcom menghubungi The Changcuters sejak Oktober 2022 tapi karena jadwal, pada Juni 2023 baru wawancara eksklusif di program Main Stage ini bisa digelar. Dalam berbagai percakapan dengan manajer sekaligus pemain bass The Changcuters, Dipa, jadwal yang tersedia memang terlalu sedikit karena harus dibagi dengan panggungan yang bisa dua minggu penuh sebelum istirahat beberapa hari demi keluarga dan kesehatan.
"Aduh maaf lho. Tapi, di sekitar Mei (2022), seinget saya itu sudah full sampai Desember, itu weekend-nya sudah habis aja. Jadi ketika Anda tanya untuk satu bulan ke depan, ya percuma, soalnya 2-3 bulan ke depan sudah full," celoteh vokalis Tria kepada detikcom disambut tawa personel lainnya.
Menjadi tamu Main Stage detikcom, pembahasan dimulai dari karya terakhir mereka. Album penuh berjudul Loyalis. Kata yang tepat sekali disematkan untuk The Changcuters atas tenaga dan konsistensinya. Musik dan lirik sudah pasti, tapi juga gaya, busana bahkan berat badan.
"Kalau menurut gue, konsistensi sudah menjadi resiko buat kami, yang selama ini sudah berjalan 19 tahun jadi sebetulnya lebih bukan konsistensi, lebih ke profesionalisme. Kami sudah menawarkan seperti itu kepada orang-orang, tugas kita memang mempertahankan itu sampai semaksimal mungkin. Makanya gue suka bilang, salah kita dulu memilih jalur yang seperti ini, nanti kalau sudah umur 60-70 tahun, orang nggak mau juga lihat kita lemas, letoy gitu," ungkap Tria sembari tertawa.
"Mungkin ngebahasnya lebih ke konsistensi kebersamaannya, jadi dari awal kita membangun, sepakat ada komitmen untuk bersama dari pembagian divisi pada setiap personel. Qibil di Fashion Research & Development, Dipa sekarang jadi manager dulunya di PR. Tria di kreatif desain visualnya, Eric jadi penengah sekaligus mengerjakan side bisnisnya The Changcuters, ada transportasi, merchandise dan lain-lain. Saya di finance. Jadi masing-masing ada tanggung jawab mengelola. Komitmen itu bikin kita jadi konsisten dari dulu, akhirnya punya ikatan kebersamaan yang kuat," jelas Alda.
Soal rasa jenuh pun tak enak hati, penyelesaiannya malah kumpul bersama. Termasuk rasa capek secara fisik dengan rutinitas bandara-pesawat-hotel, tetap saja jika di atas panggung, semua itu sontak luntur.
"Biasanya nggak mood itu datangnya dari urusan di luar band, justru obatnya adalah kita kumpul berlima. Pas nyampe ketemu sama mereka itu mungkin masih bete, cuma lama-kelamaan justru mereka itu kaya pemersatu bangsa, kayak es yang baru keluar dari kulkas, lama-lama cair," kata Tria.
Main Stage menjadi saksinya, The Changcuters yang saat itu langsung menuju Kantor detikcom usai penampilan di Lokananta Festival, Solo, sebagai narasumber, atraksi mereka tak ada bedanya dengan tampil di panggung-panggung besar dan festival, maksimal dan liar. Dan, memang sejak awal, Dipa sudah meminta bahwa walaupun untuk kebutuhan media, tidak berkenan untuk akustik.
"Kalau akustikan, diam, malah bosan. Apalagi lihat penontonnya juga diam. Energinya jadi kebawa, makanya mendingan total aja. Kita juga menganggap, tiap manggung itu adalah wahana, dan tiap wahana itu berbeda. Yaudah, kita tetap seru-seruan aja," sambung Qibil.
"Justru yang kita jual itu dinamisnya The Changcuters, kalau ada yang pengen nonton band live itu sama dengan kaset jangan nonton The Changcuters. Karena kami tidak akan pernah sama. Bahkan kami tidak akan pernah sama dari satu panggung ke panggung yang lain. Itu garansi dari kami," tegas Dipa.
Menyangkut soal album Loyalis yang juga mencerminkan karakter The Changcuters, detikcom bertanya apakah album ini juga bagian dari pernyataan mereka pada Sony Music Indonesia yang sudah menaungi selama kurang lebih 12 tahun lamanya. Mengorbitkan The Changcuters, menjadi salah satu band paling populer di Indonesia.
"Ya anggap saja kayak kuliah, sekolah, kan ada batas lulusnya, mencari sekolah yang lainnya," ujar Qibil santai.
"Pelajarannya banyak, maksudnya kita kecemplung ke industri musik itu ya dari Sony. Sama seperti band lainnya, kami berlima ini sebetulnya berawal dari hobi, kita nggak berpikir sejauh ini. The Changcuters adalah band segmented yang harus berhadapan dengan distribusi pasar nasional. Tapi bagus, kita jadi tahu pahit dan manisnya industri. Jadi, ketika sudah lulus, kita sudah kayak orang dewasa yang siap bertanggung jawab dan menghadapi dunia," ucap Tria.
Dan, ternyata rock and roll The Changcuters ini bisa menghidupi sampai 11 tahun? "Alhamdulillah," jawab kelimanya serempak.
Setahun lagi, The Changcuters akan berumur 20 tahun, jika dikali dua, maka menjadi usia rata-rata personelnya. Bagaimana mereka berlima merangkum dan memaknai perjalanan panjang ini? Kabarnya juga, The Changcuters siap meluncurkan karya terbaru di luar musik. Selengkapnya hanya di detikHOT.
(mif/dar)