Komik Digital: Arena Aktivisme atau Monetisasi?

Komik Digital: Arena Aktivisme atau Monetisasi?

Devy Lubis - detikHot
Rabu, 21 Jun 2023 17:30 WIB
Ilustrasi Restorasi Komik Lawas
Ilustrasi komik digital Foto: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -

Media sosial menjadi ruang terbuka bagi para kreator komik strip untuk berekspresi melalui karya, baik dari segi visualiasi maupun konten. Mereka tidak perlu lagi berlomba-lomba menembus struktur redaksi media massa agar karyanya bisa dibaca banyak orang. Kreator dapat secara mandiri memproduksi, menyeleksi, dan mengunggah konten tanpa mengikuti pakem-pakem yang bersifat redaksional.

Dalam platform gratis yang praktis itu pula, mereka terhubung, berinteraksi, serta membangun relasi dengan pecinta komik strip dan kreator lain yang satu jurusan. Antar kreator pun bisa saling sharing dan support, termasuk berkolaborasi dan 'berbagi' pembaca secara daring berkat kekuatan algoritma.

David Gauntlett pada 2011 mengungkapkan, arsitektur dan user-base platform media sosial memudahkan orang-orang untuk saling menemukan, baik itu lewat fitur komentar, likes, maupun subscribing. Senada, cyberoptimist Manuel Castells (2010) menyatakan, media sosial menawarkan ruang publik gratis agar semua orang dapat saling terkoneksi dan berekspresi melalui aktivitas mereka.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, media sosial pada akhirnya tidak sebatas tempat untuk mengekspresikan diri. Ia menjadi ruang aktivisme gaya baru, di mana orang bebas menyuarakan pendapat atau melayangkan protes tanpa harus secara fisik turun ke jalan. Gelagat kebebasan ini telah dituliskan setengah abad silam oleh penyair Hans Magnus Enzenberger, bahwa 'media elektronik' dapat membuat orang 'bebas (bergerak) layaknya para penari' dan 'mengejutkan seperti para gerilyawan'.

Maka, tidak aneh bila akses ke media sosial turut memperluas ruang gerak dan relasi kuasa para kreator, termasuk dalam menyuarakan ide-ide, gagasan, kritik, dan saran melalui komik strip. Mereka bisa menyentuh atau dalam konteks ini 'menyentil' siapapun, tidak terkecuali orang-orang di lapisan teratas hierarki seperti tokoh, lembaga, aparat penegak hukum atau pemerintah.

Haryadhi, Komikus yang Sentil Isu Sosial-Politik di IndonesiaHaryadhi, Komikus yang Sentil Isu Sosial-Politik di Indonesia Foto: Kostumkomik/ Instagram

Haryadhi, misalnya. Kreator di balik akun @kostum.komik dengan 157 ribu followers ini terbilang reaktif dengan isu-isu terkini di Indonesia, baik di dunia nyata maupun media sosial. Ia mengedepankan kata-kata satire dalam komik dengan sampul panel yang konsisten. Haryadhi memajang karya di Instagram dan TikTok, juga memanfaatkan jaringan dalam platform digital karyakarsa.com untuk memonetisasi karya-karyanya.

ADVERTISEMENT

Hal serupa dilakukan kreator Dhimas Bagus Dwicahyanto yang sejak 2016 rutin mengunggah karya di akun Instagram miliknya @sampahisasi. Berbeda dari Haryadhi yang lebih politis, pemilik 514 ribu followers ini lebih banyak mengangkat isu kehidupan sehari-hari. Di Instagram, Dhimas menggambar komik strip dengan enam sampai sembilan panel ilustrasi berwarna. Ia menyebutnya 'komik sampah (harian)'. Ia juga memajang karya di platform berbeda yakni Fanpage Facebook, Twitter, YouTube, dan TikTok.

Komik GrontolSalah satu panel komik karya Komik Grontol Foto: @komik.grontol/ Istimewa

Pembaca komik strip mungkin familiar dengan @komikgrontol dengan di Instagram. Meski komik dapat diakses bebas, kreator menuliskan peringatan usia pembaca 18 tahun ke atas.

Selain Instagram yang memang menyediakan panel visual untuk mengunggah komik secara gratis, kreator Komik Grontol juga menjelajah pasar Webtoon untuk monetisasi. Ia 'berkarier' di Kanvas, fitur self-publishing untuk para komikus pemula ataupun profesional di layanan penerbit daring komik digital Korea Selatan.

Haryadhi, Dhimas, dan kreator Komik Grontol melontarkan kritik lewat gaya, humor, dan kekhasan masing-masing. Melalui komik strip dan animasi, mereka membangun atau seringkali mempertegas wacana yang terbentuk di ruang publik lainnya seperti Twitter atau TikTok. Di ruang digital ini, mereka juga menciptakan wacana tandingan.

Tidak ada kontrol penguasa seperti perusahaan, media, atau pemerintah yang biasanya mengatur konten yang layak unggah atau tidak. Sepanjang tidak ada pihak yang keberatan dengan isi komik, misalnya dengan me-report akun atau unggahan tertentu, para kreator ini tetap bisa leluasa berkarya. Bicara tentang power yang dimiliki oleh para kreator tanpa korporasi ini, Castells (2015) menyebutnya love-hate relationships.

Tulisan opini sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Devy Lubis, mahasiswi Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia.




(tia/tia)

Hide Ads