Mblusuk jauh dari perkotaan menuju Banjarsari, Sleman, seakan mengaplikasikan betul pengertian 'hidden gem', terdapat Fransis Pizza. Di sebuah rumah, dengan garasi, terasa dan taman sebagai area makannya, sebuah pizza bergaya Italia yang dibakar dalam tungku keramik berkekuatan 400 derajat celcius.
Jangan asal datang, karena Fransis Pizza milik Fransiscus Magastowo tidak buka setiap hari. Hanya Jumat dan Sabtu, 17.00 WIB - 22.00 WIB, dengan maksimal 60 loyang per hari. Sama seperti sebelumnya, pizza ini hasil buah pikiran di era pandemi, di mana Fransis, yang saat itu aktif sebagai sutradara film dokumenter, putar otak menghadapinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada yang menjari Fransis selain YouTube. Setelah sekian kali percobaan, akhirnya Fransis Pizza dibuka dan disajikan. Di tempat yang sama ketika dia belajar, sekaligus tempat makan keluarganya.
![]() |
"Karena salah satu value orang yang duduk di sini kan bisa ketemu aku, jadi aku tidak mementingkan diriku, tapi untuk orang-orang merasakan experience bisa ngobrol dengan yang bikin pizza. Aku ingin mempertahankan pengalamanku yang seperti itu. Menurutku semuanya harus complete package. Makanannya itu buatku tersier, yang premier itu malah pelayanan, suasana, pengalaman."
"Aku merasa chef beneran kan kayak ya memang hidupnya bangun pagi di dapur sampai malam, tidur 3-2 jam, itu memang sudah hidup mereka. Aku bukan seorang chef yang berjualan makanan, tidak mau dipanggil chef juga sih. Bangun jam 3 pagi untuk bikin dough, kemudian servis jam 5 sore selesai 22.00, capek sekali.
Pizza Marinara, Margherita, Salami, Bresaola beberapa menu yang disajikan dengan harga paling mahal Rp125.000. Soal bahan, Fransis Pizza menggarapnya dengan serius. Seserius menjalin hubungan antar sesama manusia. Apa maksudnya?
"Keju mozzarella yang aku pakai mereknya Indrakila dari Boyolali, kami sudah rekanan satu setengah tahun ini. Kemudian ada juga fresh mozzarella yang aku pakai, itu yang bikin ayahku. Banyak bahan-bahan yang dipakai yang ada di sekitar rumah. Ada juga seperti parmigiano (keju) yang memang harus impor dari Italia langsung. Keberuntungan kami tinggal di desa, kayak kemarin tuh ada ojek online mengambil pesanan pizza, ternyata dia selain ojek, punya kebun di Kaliurang. Di situ dia tanam basil, arugula, macam-macam, yang aku butuh akhirnya kita Kerjasama. Ya memang begini, karena kamu dari Jakarta, buatmu ini terdengar seperti dongeng," jawabnya seraya tersenyum.
"Misi orang Eropa lewat pizza kan bisa memberikan makan orang banyak, tepung dikasih air. Jadi, coba diterapkan di sini juga, dengan aku membangun dengan sekitarku, ya itu sudah kayak mengilhami filosofi pizza di Napoli, bahwa pizza itu ya bisa murah dengan kualitas yang okay," sambungnya.
Fransis yang juga akrab disapa Magas itu bercerita dulu dan masih terjadi dirinya sibuk membungkuk meminta maaf kepada para tamu yang datang tanpa reservasi. Padahal dia sudah jelas-jelas menjadikan itu sebagai syarat utama agar dirinya dapat menyiapkan adonan sesuai dengan pesanan. Ketika detikHOT ada di sana, tidak sengaja juga bertemu dengan penikmat dari Jakarta yang langsung ke Fransis Pizza dari bandara, dan pulang keesokan harinya.
"Koor (inti) dari restoran itu kan kita menyatukan distribusi makanan. Ada distribusi dari luar, bertemu di dalam, kemudian diramu jadi makanan, jadi pizza. Kita terlalu memuja-muja chef tapi kan sebenarnya itu kita cuma peramu, nggak beda sama apoteker," ujar Fransis.
"Pizza bukan kemampuan memasak sebetulnya, dalam artian kayak Chinese food. Pizza ini skill meramu, keseimbangan dari tiap bahan. Bahan-bahan yang bagus, kita satukan terus jadi enak. Apalagi kalau ngomong pizza Napoli, bumbunya cuma garam dan minyak bisa enak. Itu kenapa aku melakukan ini, rasanya aku bisa," tandasnya menutup obrolan.
(mif/nu2)