Yogya Selatan, Episentrum Pesta dan Pergaulan

Yogya Selatan, Episentrum Pesta dan Pergaulan

M. Iqbal Fazarullah Harahap - detikHot
Kamis, 12 Mei 2022 07:04 WIB
Jakarta -

Geliat pergaulan anak muda dengan segala keseruan di dalamnya bukan hanya milik Jakarta semata, pun tidak juga Jakarta Selatan saja. Di kota lain seperti Yogyakarta, tumbuh subur episentrum pergaulan yang sama asyiknya.

Tanpa banyak glorifikasi, Area selatan Yogyakarta memiliki daya tarik tersendiri. Penuh dengan dinamika artistik nan nyeni, orang-orang keren, tempat nongkrong, pesta-pesta, yang kemudian dirangkum dalam satu kata 'edgy', yang multitafsir. Pemerintah daerah setempat bahkan menyebut Yogya selatan dengan sebutan titik eksotis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dua daerah yang paling populer yaitu Prawirotaman dan Tirtodipuran. Ramai digemari orang asing layaknya Seminyak dan Canggu di Bali. Namun ternyata wisatawan domestik dan anak muda setempat juga mendominasi. Termasuk detikHOT yang memutuskan untuk terbang ke area itu dengan membawa premis, apakah benar, Yogya selatan kini bertransformasi layaknya Jakarta Selatan dan Bali Selatan yang riuh dengan tren dan hal keren lainnya?

ADVERTISEMENT
Tim detikHot tengah berbincang dengan Laire yang merupakan pemilik Restoran JIWAJAWI di Yogyakarta.Tim detikHot tengah berbincang dengan Laire yang merupakan pemilik Restoran JIWAJAWI di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom

Tujuh narasumber, selama empat hari, menjadi sasaran untuk mendapatkan jawaban. Mereka dipercaya mampu menggambarkan, atau setidaknya mewakili. Laire, pemilik Restoran JIWAJAWI dan penggagas kelompok kolektif penggelar pesta, After Office Hour. Tengku Fadli, pemilik hair studio THXFSLT yang dianggap rujukan gaya rambut se-Yogyakarta. Kuru/Budha Belly, tukang masak daging di warung makan steak kecil nan mewah, Big Belly Steak yang juga seorang DJ. Fransis Magastowo, pemilik Fransis Pizza, salah satu warung makan pizza rumahan paling tersohor dengan daftar tunggu tamu lebih dari seminggu.

Lebih muda dari yang lain, ada Saga, pemain bass dari band Krans yang juga menyibukkan diri bersama kelompok kolektif Jogja Home Coming. Kidung Paramadita, pemilik lini busana Ageman, kebanyakan anak Yogya mengamini bahwa Kidung adalah salah satu perempuan paling populer di Yogya selatan. Terakhir, Siena Caroline, dulu dikenal dengan nama panggung DJ Pink Cobra dengan kelompoknya, Principal of South.

Tulisan ini tentu tidak sempurna, masih banyak narasumber lain yang bisa melengkapi. Namun setidaknya, dapat menjadi 'welcome drink' untuk menjelajah keseruan lebih dalam. Seperti Laire yang membuka cerita bahwa terbentuknya kemeriahan di Yogya bagian selatan terjadi begitu saja, tanpa ada maksud untuk membentuk dikotomi antara utara dan selatan.

KAMPUNG WISATA PRAWIROTAMANKampung Wisata Prawirotaman Foto: Pius Erlangga/detikcom

"Aku melihat Yogya selatan ini justru makin jadi destinasi nggak cuma wisatawan dari luar kota, tapi juga dari Yogya-nya. Karena mulai ada banyak tempat-tempat baru yang orang nggak bisa ditemukan di area lain. Akhirnya banyak dari teman-teman yang bikin aplikasi-aplikasi acara yang arah ke selatan, dari mulai pameran di daerah Nitiprayan, seniman-seniman juga tinggalnya di situ. Kemudian daerah Bangunjiwo, lebih ke mungkin Ubud-nya Yogya. Daera utara atas kan udah nggak boleh pembangunan apa-apa."

"Terus ya karena gejolaknya lebih ke arah kesenian, lebih ada value-nya daripada sekedar nongkrong. Kalau di selatan lo bisa ketemu seniman siapa, musisi siapa, ada kesan yang mereka bawa."

Aktif sebagai pengusaha F&B, Laire juga kerap menggelar pesta-pesta di beberapa bar atas nama kolektif After Office Hour. Slide Bar di Artotel, Arcadaz di Grand Ambarrukmo, What The Deck! Di Porta Hotel menjadi arena bermainnya. Ayas, Kenya, Wahid menurut Laire adalah para DJ yang kini sedang memuncak.

"Kalau budaya nongkrong di bar sebenarnya udah dari dulu ya, dari zamannya Abah, makanya kenapa Abah bikin Energy Room (kelompok kolektif) karena berpikir udah mulai ada budaya itu," jelas Laire lagi menyebutkan satu nama yang kemudian dianggap 'bapak' oleh ke-7 narasumber. Sayang detikHOT tidak berhasil melakukan wawancara dengannya.

Tengku Fadli punya pendapat yang serupa walaupun tidak sama. Dia melihat Kawasan Yogya selatan diminati karena suasananya yang masih hangat dan terasa sangat Yogya.

Tim detikHot tengah berbincang dengan Tengku Fadli yang merupakan pemilik THXFSLT (Hair Studio) di kawasan Yogyakarta.Tim detikHot tengah berbincang dengan Tengku Fadli yang merupakan pemilik THXFSLT (Hair Studio) di kawasan Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom

"Di Yogya utara itu ramainya orang bisnis. Dan misalnya kayak Jefri Nichol cerita kalau ke Yogya itu mereka nggak main ke kawasan utara karena menurut dia kayak Jakarta. Kalau di selatan itu tempatnya unik-unik, kulturnya terasa banget. Kalau di utara memang ladang bisnis banget, itu yang aku lihat."

"Tapi yang belum bisa dibilang kayak Jaksel banget gitu. Memang kebanyakan orang-orang yang dibilang keren itu larinya ke sana."

Akan tetapi, jika bicara gemerlap pesta, kapster yang menjadi rujukan anak muda pria se-Yogyakarta itu sudah tidak lagi mengikuti sejak dirinya berkeluarga. "Sudah nggak ngikutin. Tapi kemungkinan besar kelompok pertemanannya bagus-bagus," jawabnya lagi.

Bagi seorang Kuru atau juga dikenal dengan nama Budha Belly, kawasan Selatan memang sudah sejak dulu berisik dengan bar dan musik. Ditambah, para seniman kebanyakan bermukim di situ.

Tim detikHot tengah berbincang dengan Kuru/DJ Budha Belly yang merupakan pemilik Big Belly Steak di Yogyakarta.Tim detikHot tengah berbincang dengan Kuru/DJ Budha Belly yang merupakan pemilik Big Belly Steak di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom

"Walah, nggak segitunya! Aku nggak pernah tahu gimana Senopati, tapi di selatan yang dari dulu banyak bar, musik kencang-kencang selalu mutar, rock n roll tetap jalan, always happy pokoknya. Tapi bahwa orang keren Cuma ada di selatan tok? Nggak gitu. Ya temen-temen aja gitu loh. Keren atau nggaknya siapa yang menilai? Kalau ngumpul di selatan berarti keren ya? Semua orang keren kok. sebenernya keren nggak keren tuh bukan itu, tapi menurut aku pribadi di selatan itu lebih homey."

"Ini mungkin ya, mungkin, aku nggak tahu pasti. Tapi menurutku itu sejak Sosrowijayan sudah mulai redup. Itu pusatnya bule, bule-bule di sana tuh, kayak Legian, Canggu (Bali). Nah sejak geliatnya mulai redup, mereka pada ke selatan ke Prawirotaman. Jadi sebenarnya kalau dulu Prawirotaman tuh emang tempat banyak restoran fine dining, sekarang banyak bar juga."

Pertumbuhan tempat nongkrong yang pesat di kawasan tersebut juga dirasakan oleh pemilik warung makan steak, Big Belly Steak ini. Asmara Cafe dan Warung Heru menjadi dua yang jadi favoritnya.

"Sepanjang jalan tuh bar semua. Aku biasanya ke Asmara Cafe, itu kayak bar dan live music, terus ada Warung Heru, dia kayak warung rawon cuman warung nasi, asik aja, jual bir juga, jadi sering nongkrong di sana dengan teman-teman."

"Aku nge-DJ, bikin party itu dari sekitar 2011, banyak regenerasi, banyak anak-anak muda. Karena mungkin juga di Yogya banyak anak-anak kuliahan yang silih berganti ya pesta akan selalu tetap ada. Tapi ya aku tuh sebenernya lebih ke bikin acara yang isinya anak-anak aja, biar teman-teman dari satu komunitas dengan komunitas lain bisa berdekatan. Bisa ngobrol sesama seniman, orang-orang radio atau media. Bukan yang bikin di kelab malam besar gitu."

Kolaborasi juga menjadi bagian yang penting dan selalu diutarakan DJ yang sering bermain di warna tekno itu. Tidak hanya bagi mereka sesama penggiat pesta, tapi juga lintas bidang. "Misalnya, bikin party ya pasti banyak sekali yang bikin instalasi dari teman-teman seniman, atau teman-teman visual juga ikutan. Anak-anak fashion nanti ngapain. Jadi selalu kayak, apa nih yang kita bisa bareng-bareng kerjain, kita kerjain."

Dapat dikatakan, kemudian kawasan Yogya selatan terbentuk menjadi episentrum pergaulan dan gemerlap pesta. Pusat budaya pop di tengah Pulau Jawa. Tidak melulu soal pesta di bawah gemerlap lampu disko, tapi ajang berkumpul dan bercengkrama. Diiringi musik dan berbagai sentuhan kesenian lainnya.

Fransis Magastowo, melengkapi premis detikHOT dengan menyebutkan bahwa salah satu hal yang kemudian mendorong terjadinya hal tersebut adalah hadirnya Institut Seni Indonesia (ISI).

"Memang dari dulu kayak acara seni semua juga di Yogya selatan, dari aku kecil, ayahku kan antropolog dan dia banyak kerja dengan seniman. kalau aku diajak ke pameran seni ya di Yogya selatan. Dan, Sekolah ISI kan juga di selatan, ya jadi anak seni ya memang senangnya bersenang-senang. Wajar kalau daerah situ jadi epicenter yang nyeni. Orang-orang seni kan pasti 'edgy', selalu berbeda dari orang-orang lain gitu."

"Apa yang juga menyenangkan di sini adalah orang-orang menonjolkan jati dirinya sendiri. Tanpa membuat Disneyland, tapi semuanya seperti Disneyland. Tapi di dalam arena itu adalah jati diri pemilik-pemiliknya. Itu yang membuatku terkesima kayak nggak nyangka dulu kita skate, dulu kita gambar di tembok, sekarang kamu pemilik ini dan itu. Lebih tanggung jawab memikirkan hal yang lain, tapi tidak meninggalkan hobi masa mudanya.

Tim detikHot tengah berbincang dengan Fransis Magastowo yang merupakan pemilik Fransis Pizza di Yogyakarta.Tim detikHot tengah berbincang dengan Fransis Magastowo yang merupakan pemilik Fransis Pizza di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom

Berbeda dengan narasumber lainnya, Magas, lebih aktif di kancah pergaulan skateboard dan musik hardcore punk. Sedikit bernostalgia, pria yang sempat bersekolah di Philadelphia, Amerika Serikat itu bercerita bagaimana dulu setiap minggu selalu ada acara.

"Ketika 2003-2004 setiap weekend tuh pasti ada acara hardcore punk di Yogya, tidak pernah tidak. Dulu ada kafe namanya Bunker, terus Jogja National Museum (JNM) itu dulu. Kadang dulu malah di sekolah-sekolah, misalkan aku SMA di mana, di situ kalau weekend bikin acara punk gitu Pernah ada masanya anak-anak ini kolaborasi sama Energy Room, mereka kan anak disko. Terus bikin acara Hang The DJ, kita muterin lagu-lagu alternatif, Joy Division, Depeche Mode."

"Dulu di Titik Nol itu ada monumen, nah di situ kita biasa main skate. Malam jam 7 gitu kita bayar parkir Rp5.000, lompat pagar, terus main sampai pagi. Udahan, kita lawan arus ke atas Malioboro, belok kiri, ada bar yang biasa kita datangin, minum bir. Main lagi. Aku tuh weirdo gitu lah, alien," katanya lagi sambil tertawa.


Empat narasumber sudah berbagai ceritanya tentang bagaimana Yogya selatan menjadi episentrum pergaulan. Tiga narasumber lainnya, Saga, Siane Caroline dan Kidung Paramadita menyusul dengan menyebut kawasan tersebut sebagai laboratorium kesenian. Apa maksudnya? Ikuti selanjutnya hanya di detikHOT.


Hide Ads