Jakarta -
Kota Yogyakarta belum pernah berhenti bereksperimen dalam rangka memproduksi musisi-musisi penuh potensi. Meramaikan terus menerus khazanah musik nasional dengan beragam bunyi-bunyian yang lepas dari genre tertentu.
Jika dilihat dari luar, sepertinya sejumlah studio musik di Yogyakarta saling terhubung dan bekerja sama untuk mendukung anak-anak muda baru ini. Namun, bila masuk ke dalam, ada sebuah sikap gotong royong yang dilakukan mereka, para penggiat musik Yogyakarta, untuk melestarikan bersama-sama kecintaannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada banyak yang terlibat, salah satunya, dan mungkin cukup dapat mewakili, bernama Jogja Home Coming (JHC). Sebuah kolektif, dengan tupoksi sebagai wadah, penyelenggara acara, sarana edukasi hingga pembangun jembatan antar generasi. Sebuah tugas yang tidak bisa terbilang mudah, tapi terdengar menyenangkan, setidaknya untuk Saga Satria.
 Tim detikHot tengah berbincang dengan Saga Satria, salah seorang musisi di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
Kelanjutan pembahasan tentang Yogya selatan dan episentrum pergaulannya turut membawa detikHOT bertemu dengan Saga. Banyak yang mengatakan dia adalah regenerasi dari Gufi, manajer Frau yang juga dikenal luas dan baik sebagai penggiat yang paling giat jika bicara ekosistem musik di Yogyakarta. Dirinya juga tergabung ke dalam sebuah band alternatif, Krans (2018), sebagai pemain bass.
"Dari awal kalo ngomongin tujuannya, kami di JHC itu nongkrong dari 2018, terus acara pertamanya di 2019. Sebenarnya awalnya itu dari mulai merasa ada gap di beberapa circle di Yogya waktu itu, terus kami ingin ada mewadahi semua itu biar kalau ada band-band baru yang tidak punya wadah untuk pertunjukan atau pentas gitu, ya kami bisa bantu. Jadi nggak perlu ada di satu kelompok tertentu, ya silakan aja bergabung. Kami juga berusaha menjalankan fungsi untuk mendokumentasikan mereka itu," papar Saga saat ditemui di Yogyakarta.
"Jadi JHC aktif lebih banyak ada di area pertunjukan musik, kemudian ada di edukasi juga. Edukasi dalam artian bagaimana memproduksi musik, produksi sebuah acara, dokumentasi," sambungnya.
 Tim detikHot tengah berbincang dengan Saga Satria, salah seorang musisi di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
"Seiring perjalanan, setelah bertambahnya wawasan dan kemudian pergaulan juga, kami akhirnya kayak mau nggak mau ada tanggung jawab lebih secara moril. Kayak dipercaya untuk mengerjakan acara besar waktu itu, seterusnya kamu harus ada terus. Ya dijalani dengan bahagia aja, karena memang teman-teman di sini suka mengerjakan itu jadi nggak begitu jadi masalah ketika harus jadi sesuatu yang regular. Hal yang selalu kami coba bangun adalah menjahit lagi jarak antar generasi yang hilang," ujarnya lagi.
Secara kolektif dan terbuka, JHC menerima kolaborasi dengan berbagai produk sebagai cara mereka memenuhi kebutuhan operasional. Tapi, memang dasar Yogya, semuanya bergotong royong dan guyub, hingga memudahkan segala pergerakan. Misalnya yang paling sering dijumpai adalah pemilik kafe dengan mudah memberikan izin dan bantuan untuk menyelenggarakan acara.
"Sekarang di Yogya tempat-tempat yang populer buat gigs itu ada yang namanya BAGE, ada Roku. Kemudian sekarang ada Balakosa, Lippo Plaza Jogja juga lagi sayang-sayangnya sama kita. Kemudian ada juga Asmara Cafe. Sementara itu sih yang lagi sering banget dipakai teman-teman buat acara."
Bicara soal jarak antar generasi, detikHOT kemudian penasaran, bagaimana hubungan Saga dan para musisi baru dengan nama-nama yang lebih dulu berkibar membawa predikat band dari Yogya?
 Tim detikHot tengah berbincang dengan Saga Satria, salah seorang musisi di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
"Ada seniman muda, panggilannya Rembol, kita ngobrol dan membahas sebenarnya teman-teman generasi lebih dulu ini juga membutuhkan regenerasi, aku pribadi pun merasakan itu. Jadi hubungannya tinggal bagaimana yang muda-muda ini mau untuk nyamperin, sowan, ini jadi salah satu hal yang nggak dihilangkan dan menurutku itu juga bukan hal yang buruk. Karena bagaimanapun kalau kita cari ilmu, harus mencari guru."
"Mereka yang sudah lebih dulu populer ini juga sangat terbuka sama teman-teman muda ini, terutama kalau JHC, kami sangat mudah untuk berdiskusi dengan mereka. Misalkan, kayak mas Eross, mas Adam (Sheila on 7), kemudian Shaggy Dog atau Endank Soekamti. Nama-nama besar itu bukan hal yang susah, sangat terbuka. JHC melakukan itu dan mereka terbuka atas apa yang kami keluh kesahkan."
The Kick, menjadi salah satu nama band yang kerap diucap Saga sepanjang wawancara. Di telinganya, The Kick memiliki potensi yang siap mumpuni untuk menjadi besar di kemudian hari.
"Saya dan Krans itu berkenalannya sih di salah satu album kompilasi, namanya Fresh Meat. Setelah sekitar 1 semester ini tiba-tiba mereka punya basis massa yang cukup luar biasa gitu. Menurutku kayak tiba-tiba aja gitu mereka muncul dan responsnya ramai banget. Mereka mungkin bisa digambarkan seperti Morfem-nya Yogya lah," puji Saga sembari menyebutkan grup yang dinahkodai Jimi Multazham itu.
 Tim detikHot tengah berbincang dengan Saga Satria, salah seorang musisi di Yogyakarta. Foto: Andhika Prasetia/detikcom |
"Dan, ternyata kalau di generasi sekarang tuh punya satu kesenangan sendiri dengan pop Jawa. Kalau dulu mungkin cumin hiphop, sekarang banyak yang musisi pop Jawa yang muncul. Ada Ndarboy Genk, Om Wawes. Akhirnya mereka tumbuh dan berani menggunakan lagu berbahasa Jawa."
Pandemi ternyata tidak selamanya buruk untuk para musisi di Yogya. Mesin produksi mereka justru terus bergerak menghasilkan sosok baru. Genre semakin melebur hingga sulit dijelaskan oleh kata-kata. Paling penonton, penonton masih terus antusias menikmati. Band lawas sekelas Captain Jack berhasil dibuat reuni oleh JHC pada 2019. Dedengkot lainnya seperti End of Julia dan Seek Six Sick menjadi target mereka selanjutnya. Bahkan sudah ada rencana di September mendatang untuk menggetarkan Yogyakarta bersama Melancholic Bitch.
"Kalau ngomongin genre aja Yogya punya Senyawa yang udah nggak tahu lagi warnanya sudah sangat eksperimental. Aku yakin Yogya akan selalu dinamis kalau bicara tren ke depannya, kita nggak tahu lagi kayak mana bentuknya. Tpi ya akan selalu punya hal-hal baru dan menyenangkan," tutup Saga.