Meski tidak terlibat secara langsung, detikHOT mencoba menanyakan pendapat Cok Wah atas polemik yang terjadi di Canggu. Di mana, masyarakat setempat melayangkan petisi atas berisiknya pesta-pesta yang dinilai tak tahu waktu.
"Soal Canggu kalau sekarang banyak protes orang itu, desa adatnya perlu kasih aturan yang kuat. Umpamanya di Ubud, live music itu jam 12 selesai. Tapi kalau kita melarang, menurut saya jangan. Kita komplain soal live music, terus apa bedanya dengan musik-musik tari. Sama-sama pertunjukkan yang melibatkan musik, kan? Perlu untuk diatur dengan kuat saja."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Coba kalau ditutup, semua sepi, apa kita tidak menyesali? Kemarin pandemi 2,5 tahun di Ubud sudah melarat. Semua orang jual bakpao dan nasi jinggo. Semua hotel besar, hotel mewah berubah nama, jadi satu nama semua, 'closed (tutup)'. Outlet-outlet di Ubud nggak ada yang jualan, semuanya jual pisang, pisang 'sale'. Jangan ada penyesalan di kemudian hari."
![]() |
Bicara Bali hari ini, ada satu tradisi yang tiba-tiba menjelma menjadi tren secara nasional. Yaitu, melukat. Secara harfiah, melukat artinya upacara penyucian diri yang dilakukan oleh Umat Hindu di tempat pemandian Pura. Namun kini, melukat bertransformasi lebih dari itu, menjadi upacara trendi yang dilakukan banyak orang, sebagian melakukan karena alasan kebatinan, sebagian lainnya atas nama konten.
"Kalau boleh saya bilang sebelum kita melukat, harus paham betul maknanya. Bukan sekadar ikut-ikutan untuk konten, prosesnya harus benar. Saya sih jujur senang aja gitu ya, Cuma jadinya kok dibuat viral, latah jadinya. Saya sarankan dulu, walaupun saya belum tahu secara maksimal apa makna dari melukat, setidaknya mereka yang melakukan mencari tahu dulu, jangan hanya karena followers (media sosial)."
Baca juga: Di Balik Pintu The Royal Family Ubud |
![]() |
Lantas, apakah kemudian hal-hal seperti melukat itu jadi mengganggu masyarakat Bali sendiri? Jika detikers masih ingat, Umat Buddha juga sempat mengalami kejadian yang mirip-mirip ketika upacara pelepasan lampion dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur menjadi tren nasional yang diserbu turis.
"Mengganggu sih nggak, cuma harus lebih diberi pemahaman. Walaupun faktanya, melukat dahulu, terus lanjut dugem ke mana. Ya wajar saja, di Bali itu ada konsep namanya Rwa Bhineda, di mana setiap ada hitam, pasti ada putih. Ada plus, ada minus. Bagaimana kehidupan orang kalau plus terus? Bagaimana kalau listrik plus terus? Tidak bisa seperti itu. Sepanjang tahu batasan dan norma, oke-oke saja. Karena memang bersenang-senang juga bagian dari kebutuhan manusia."
(mif/nu2)