Jakarta -
Ramai turis menjadikan Bali sebagai alasan untuk rehat sejenak dari berbagai rutinitas perkotaan. Pantai, kehidupan yang santai semua terangkum atas nama liburan dan healing. Sesungguhnya, bukan hanya turis yang 'menyembuhkan' diri, tapi Bali sendiri pun juga.
Diterpa pandemi dua tahun terakhir, Bali menjadi kota yang hampir mati. Jalanannya tak berpenghuni, restoran dan tempat hiburan sepi, hanya anjing jalanan yang sibuk lalu-lalang meramaikan Canggu yang sendu. Itu mengapa, hari ini, dengan semua kemacetannya yang dinilai mendekati Jakarta, sebetulnya Bali sedang 'healing'. Setidaknya itu yang dipercaya oleh Cok Wah.
"Kita bisa lihat dari lalu lintasnya, macet kan? Tapi sekarang tidak banyak orang komplain masalah macet, karena mereka tahu, daripada garis petanya hijau, mending merah. Bila perlu hitam-hitam sedikit," kata anggota The Royal Family Ubud, Tjokorda Ngurah Suyadnya, saat detikHOT bertamu ke kediamannya yang megah nan cantik, Puri Langon, Ubud, Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tjokorda Ngurah Suyadnya dari The Royal Family Ubud. Foto: Rachman_punyaFOTO |
Jika ditarik lebih jauh, ada hal lain saat berbicara soal Bali dan segala keindahan dan kemeriahannya, yaitu benang merah antara tradisi dan modernisasi. Dinamika keduanya menghadirkan polemik yang eksotik. Tidak berlebihan kalau rasanya seperti seluruh elemen masyarakat di Bali bergotong-royong merawat tradisi sekaligus menyambut modernisasi yang hadir untuk terus menjadikan pulau kesayangan mereka tidak kehilangan jati dirinya.
"Kami ada pakem-pakem yang diwariskan oleh leluhur, kami tidak memaksakan apa yang ada dan terus menyesuaikan diri. Para penua (sosok yang dituakan, dihormati) juga paham, bagaimana turis dan masyarakat. Karena sampai sekarang Puri masih dijadikan rujukan. Kami fleksibel juga, kami sadar betul bahwa kedatangan modernisasi dan turisnya membawa nilai positif bagi kami, misalnya pendapatan."
Tjokorda Ngurah Suyadnya dari The Royal Family Ubud. Foto: Rachman_punyaFOTO |
"Lagipula, turis-turis itu kan tahu, dia datang ke Bali mencari apa, pasti ada tradisi yang mereka cari. Sebetulnya, trash tourist itu pasti ada, oknum. Tapi, apapun itu, kembali ke desa adatnya sendiri. Desa adat itu harus menguatkan karena desa adat itu bamper pertama dari segala kehidupan sosial di Bali."
Selanjutnya tentang pesta hingga larut malam
Meski tidak terlibat secara langsung, detikHOT mencoba menanyakan pendapat Cok Wah atas polemik yang terjadi di Canggu. Di mana, masyarakat setempat melayangkan petisi atas berisiknya pesta-pesta yang dinilai tak tahu waktu.
"Soal Canggu kalau sekarang banyak protes orang itu, desa adatnya perlu kasih aturan yang kuat. Umpamanya di Ubud, live music itu jam 12 selesai. Tapi kalau kita melarang, menurut saya jangan. Kita komplain soal live music, terus apa bedanya dengan musik-musik tari. Sama-sama pertunjukkan yang melibatkan musik, kan? Perlu untuk diatur dengan kuat saja."
"Coba kalau ditutup, semua sepi, apa kita tidak menyesali? Kemarin pandemi 2,5 tahun di Ubud sudah melarat. Semua orang jual bakpao dan nasi jinggo. Semua hotel besar, hotel mewah berubah nama, jadi satu nama semua, 'closed (tutup)'. Outlet-outlet di Ubud nggak ada yang jualan, semuanya jual pisang, pisang 'sale'. Jangan ada penyesalan di kemudian hari."
Tjokorda Ngurah Suyadnya dari The Royal Family Ubud. Foto: Rachman_punyaFOTO |
Bicara Bali hari ini, ada satu tradisi yang tiba-tiba menjelma menjadi tren secara nasional. Yaitu, melukat. Secara harfiah, melukat artinya upacara penyucian diri yang dilakukan oleh Umat Hindu di tempat pemandian Pura. Namun kini, melukat bertransformasi lebih dari itu, menjadi upacara trendi yang dilakukan banyak orang, sebagian melakukan karena alasan kebatinan, sebagian lainnya atas nama konten.
"Kalau boleh saya bilang sebelum kita melukat, harus paham betul maknanya. Bukan sekadar ikut-ikutan untuk konten, prosesnya harus benar. Saya sih jujur senang aja gitu ya, Cuma jadinya kok dibuat viral, latah jadinya. Saya sarankan dulu, walaupun saya belum tahu secara maksimal apa makna dari melukat, setidaknya mereka yang melakukan mencari tahu dulu, jangan hanya karena followers (media sosial)."
Rumah Tjokorda Ngurah Suyadnya dari The Royal Family Ubud. Foto: Rachman_punyaFOTO |
Lantas, apakah kemudian hal-hal seperti melukat itu jadi mengganggu masyarakat Bali sendiri? Jika detikers masih ingat, Umat Buddha juga sempat mengalami kejadian yang mirip-mirip ketika upacara pelepasan lampion dalam perayaan Waisak di Candi Borobudur menjadi tren nasional yang diserbu turis.
"Mengganggu sih nggak, cuma harus lebih diberi pemahaman. Walaupun faktanya, melukat dahulu, terus lanjut dugem ke mana. Ya wajar saja, di Bali itu ada konsep namanya Rwa Bhineda, di mana setiap ada hitam, pasti ada putih. Ada plus, ada minus. Bagaimana kehidupan orang kalau plus terus? Bagaimana kalau listrik plus terus? Tidak bisa seperti itu. Sepanjang tahu batasan dan norma, oke-oke saja. Karena memang bersenang-senang juga bagian dari kebutuhan manusia."