Peristiwa penyerangan dan penikaman Salman Rushdie pada 12 Agustus menjadi pemberitaan dunia. Gara-gara novel The Satanic Verses atau Ayat-ayat Setan yang terbit pada 1988, Salman Rushdie terus dihantui ketakutan dan hidup bersembunyi.
Setelah dua pekan peristiwa mengenaskan tersebut, kondisi Salman Rushdie perlahan membaik.
Di tengah kesehatannya yang mulai pulih, tersiar kabar nama Salman Rushdie bakal dinominasikan untuk ajang Nobel Sastra. Benarkah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akademi Swedia sebagai penyelenggara Nobel Sastra punya kekuasan tersendiri untuk menentukan para nominator dan pemenangnya. Pada Oktober mendatang, Akademi Swedia bakal mengumumkan pemenang dari berbagai kategori Hadiah Nobel.
Di pertengahan dekade 1980-an, novel Salman Rushdie seperti Midnight's Children dan Shame sukses diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan dikagumi di Iran sebagai ekspresi anti-Imperialisme.
Tapi segalanya berubah pada 14 Februari 1989, ketika Ayatollah Khomeini mengecam novel The Satanic Verses dan dianggap sebagai hujatan. Novel yang disebut menghina umat Muslim karena ada penggambaran Nabi Muhammad di dalamnya.
Ayatollah Khomeini mengeluarkan fatwa untuk membunuhnya. Dekrit itu membuat Salman Rushdie hidup bersembunyi di London dan New York, AS. Saat itu, dunia sastra hampir tidak pernah mendengar suaranya lagi.
Sejumlah penulis seperti Roald Dahl, John Berger, dan John Le Carre adalah yang menegaskan Rushdie kurang peka dengan pendapat para ulama di Teheran. Akademi Swedia pun menolak memberikan pernyataan yang mendukung Rushdie.
Selama 27 tahun, Akademi Swedia tidak mengeluarkan pernyataan apapun sampai akhirnya kini suara Rushdie kembali didengar. Publik dan dunia sastra menyatakan sebagai pelanggaran serius terhadap kebebasan berbicara.
Dalam sebuah esai yang ditulis Salman Rushdie, ia berani bersuara dengan humor yang bagus.
"Meskipun saya tidak memilih pertempuran, setidaknya itu pertempuran yang tepat karena di dalamnya ada segara sesuatu yang saya cintai dan hargai (sastra, ketidaksopanan, kebebasan, tidak beragama) berkisar melawan semua yang saya benci seperti fanatisme dan kekerasan," tulis Salman Rushdie.
Selama beberapa tahun terakhir, Salman Rushdie yang juga menjadi Presiden PEN America terus berbicara tentang kebebasan berekspresi dan berkreasi. Sebagai seorang sastrawan, namanya layak masuk nominasi hingga mendapat anugerah Nobel Sastra.
(tia/wes)