Joko Pinurbo punya cerita tersendiri terhadap buku kumpulan puisi Sepotong Hati di Angkringan. Buku yang diterbitkan oleh DIVA Press itu resmi terbit bulan ini.
Sepotong Hati di Angkringan menjadi refleksi terhadap situasi pandemi yang dicoba ditulis sang penyair tentang Yogyakarta.
"Saya melihat Yogyakarta bukan sebagai tempat, saya tidak mengerjakan Yogyakarta secara fisik, geografis, tapi alam kebatinannya, dan karakter orang-orang di dalam suasananya," kata Joko Pinurbo saat peluncuran virtual dua buku kumpulan puisinya, akhir pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yogyakarta merupakan kota dengan daerah pendapatannya salah satu terendah di Indonesia. Salah satu hal yang istimewa adalah pariwisata dan budayanya.
Kota Yogyakarta yang menjadi tempat tinggal sang penyair juga diakuinya unik karena banyak dihuni anak perantauan dari berbagai daerah.
"Psikologi anak rantau yang merasa dalam tanda petik memiliki Yogyakarta yang coba saya angkat. Kekayaan budayanya juga bukan berupa bangunan atau warisan sejarah, tapi juga nilai hidup yang coba saya gali dalam Sepotong Hati di Angkringan," lanjut Jokpin.
Secara khusus, Jokpin membuat puisi tentang tukang becak, burung prenjak Jawa, sarung, KM 0 sampai angkringan yang menjadi tempat tongkrongan ngopi para anak muda.
Puisi-puisi tersebut diakui Jokpin sangat berlatar khas Yogyakarta. Bahkan ia sengaja membuat puisi yang mengikuti perkembangan situasi pandemi dari hari ke hari.
"Kadang muncul peristiwa di luar dugaan. Misalnya Pak Edi (editor DIVA Press) baru buka kafe baru. Saya mengamati perilaku anak rantau, lahirlah puisi berjudul Dolan," tukasnya.
Pria kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, kini tinggal di Yogyakarta dan sukses menerbitkan belasan buku puisi dan menerima berbagai penghargaan.
Buku puisi Celana, Tahilalait, Surat Kopi, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, Buku Latihan Tidur, dan Perjamuan Khong Guan. Puisi-puisi dalam buku Salah Piknik dan Sepotong Hati di Angkringan ditulis Jokpin selama masa pandemi COVID-19 pada 2020.
(tia/dar)