Menurut CEO Penerbit Republika, Arys Hilman, sudah sejak Juli lalu pihaknya mencapai kesepakatan untuk tidak menerbitkan lagi buku dari Tere.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kampanye 'no tax no knowledge' pun gagal dalam dunia perbukuan sama halnya dengan pers. "Anda sebagai pembaca pun kena PPN waktu beli buku. Bandingkan dengan pertunjukan sirkus, fashion show, karaoke, atau masuk diskotek, Anda dapat melenggang tanpa PPN," ujar Arys Hilman.
Lewat laman Facebook pribadi, Tere Liye mengeluhkan pajak yang tinggi terhadap profesi penulis. Dalam statusnya, penulis membayar pajak paling tinggi dibandingkan Pegawai Negeri Sipil sampai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Penulis buku membayar pajak 24 kali, dibanding pengusaha UMKM, dan 2 kali lebih dibanding profesi pekerjaan bebas. Dan jangan lupakan lagi, penulis itu pajaknya dipotong oleh penerbit, itu artinya, dia tidak bisa menutup-nutupi pajaknya. Artis, pengusaha, lawyer, wah, itu sih mudah sekali untuk menyembunyikan berapa penghasilan sebenarnya. Penulis tidak bisa, sekali dipotong oleh penerbit, maka bukti pajaknya akan masuk dalam sistem," tulis Tere Liye.
Dia pun mengaku sudah lelah menyurati banyak lembaga resmi pemerintah selama setahun belakangan ini.
"Bahkan surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progress yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu. 28 buku-buku saya tidak akan dicetak ulang lagi, dan dibiarkan habis secara alamiah di buku hingga Desember 2017," ujar Tere Liye.
(tia/nu2)