Gagasan PP Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif masih menjadi pembahasan yang tak berakhir. Aturan itu memang membawa angin segar bagi industri kreatif Indonesia dan membuka peluang bagi pekerja seni untuk mendaftarkan kekayaan Intelektual (KI).
Nantinya dari Kekayaan Intelektual yang dapat sertifikasi itu disebutkan bisa dijadikan jaminan utang ke bank. Tapi bagaimana dengan karya seni?
Hal itulah yang coba dibahas oleh Koalisi Seni dalam sesi Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia di ajang Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) di grandKemang Hotel, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Perupa senior FX Harsono mempertanyakan mengenai aturan tersebut karena harga lukisan bisa saja berbeda di balai lelang dan penjualan ke kolektor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sampai sekarang belum ada kriteria untuk merumuskan karya seni rupa sebagai obyek kekayaan intelektual. Misalnya saja seperti teknik pembuatan, warna, dan tolak ukur untuk menilai obyek seni itu punya kesulitan yang berbeda," kata FX Harsono.
Skema yang belum jelas itu membuat seniman sulit mendaftarkan karyanya sebagai hak cipta. "Karena pasti seniman akan tanya, KI yang mana? Apa pentingnya mendaftarkan sebuah ciptaan sebagai KI? Karena jika karya seni rupa sudah dibeli orang, itu sudah bukan urusannya si seniman lagi," ujar FX Harsono.
Dia melanjutkan aturan itu memang terbilang bgus karena melindungi Kekayaan Intelektual dari kreator. "Ini bagus, positif, cuma sekarang yang dipakai acuan untuk menentukan harga yang gimana. Kita harus menentukan apakah ini self funding atau ada yang membiayai," sambungnya.
Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia, Maya Sujatmiko, sepakat aturan ini menguntungkan para pelaku seni tapi karya seni rupa sangat sulit divaluasi atau ditentukan harganya. Tak heran bila pengukuran nilai sebuah karya seni rupa untuk fidusia belum pernah dilakukan di Indonesia sampai saat ini.
"PP Ekraf memang dibikin untuk mendukung pekerja seni. Namun untuk mengimplementasikannya di lapangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata dia dalam diskusi yang sama.
Menurut penuturan Maya, harus ada skema yang jelas dari pemerintah mengenai kejelasan aturan tersebut. Serta ada pihak ketiga dari bank atau lembaga penjamin utang yang juga mendukung PP Nomor 24 Tahun 2022.
PP No. 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif menyatakan pelaku ekonomi kreatif bisa menjadikan produk KI sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank. Aturan itu memberi angin segar bagi pelaku seni.
Tapi memang, implementasinya masih terusik sejumlah masalah struktural. Misalnya, dalam hal tata kelola hak cipta, serta akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan KI sebagai jaminan utang.
(tia/pus)