Seri Monolog Di Tepi Sejarah, Melihat Sudut Pandang Baru di Sejarah Indonesia

Seri Monolog Di Tepi Sejarah, Melihat Sudut Pandang Baru di Sejarah Indonesia

Tia Agnes - detikHot
Senin, 20 Sep 2021 17:04 WIB
Seri Monolog Di Tepi Sejarah
Seri monolog Di Tepi Sejarah ditayangkan di kanal Indonesiana Foto: Titimangsa Foundation
Jakarta -

Sejarah tak hanya ada dalam buku pelajaran yang dihapal oleh masyarakat umum. Banyak sisi lain yang baru terungkap jika ditelisik lebih lanjut. Hal itulah yang coba diungkap oleh Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media lewat program seri monolog Di Tepi Sejarah.

Seri monolog Di Tepi Sejarah mengulang kesuksesan dari Sandiwara Sastra yang menceritakan tokoh-tokoh yang berada di tepian sejarah. Mereka yang mungkin tak pernah disebutkan namanya dalam buku sejarah bangsa Indonesia.

Produser Titimangsa Foundation, Happy Salma menuturkan ide mengenai seri monolog ini bermula ketika penggalaran Hari HAM. Saat itu, Happy Salma mementaskan monolog tentang istri Munir, Suciwati.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ternyata pertunjukan itu menimbulkan ruang-ruang diskusi. Orang-orang di pusaran sejarah yang diceritakan dari tepian. Gimana kisah orang-orang dari perspektif orang terdekat sampai menimbulkan ikatan personal untuk penonton," kata Happy Salma saat jumpa pers virtual, Senin (20/9/2021).

Seri monolog Di Tepi Sejarah pun menyesuaikan dengan segala hal yang ada termasuk budget. Mengambil filosofi Putu Wijaya yakni Bertolak dari yang Ada, maka Titimangsa Foundation mengedepankan kekuataan dari para aktor dan aktris.

ADVERTISEMENT

"Akhirnya kolaborasi antara sutradara teater dan visual dari film dikawinkan," katanya.

Seri monolog Di Tepi Sejarah mengangkat empat judul. Di antaranya Nusa yang Hilang, Radio Ibu, Sepinya Sepi, dan Amir, Akhir Sebuah Syair.

Pertunjukan ini juga bekerja sama dengan para empat aktor, empat sutradara teater, empat sutradara visual, dan penulis naskah yang berbeda untuk setiap judul.

Happy Salma pun menegaskan Di Tepi Sejarah juga ingin mendekatkan literasi kepada generasi muda.

"Demi menghindari berita bohong atau hoaks, penyampaian Di Tepi Sejarah ini punya kekuataan narasi besar. Seri ini bukan hanya ruang kolaborasi yang luar biasa tapi upaya kami untuk mendekatkan literasi," tukasnya.

Seri monolog ini juga melibatkan seniman yang berdedikasi pada profesinya. Di antaranya yaitu Iskandar Loedin (Penata Artistik dan Cahaya), Deden Jalaludin Bulqini (Penata Artistik dan Multimedia), Mamed Slasov (Penata Cahaya), Retno Ratih Damayanti (Penata Kostum), Eba Sheba (Penata Rias), Ricky Lionardi (Penata Musik), Achi Hardjakusumah (Penata Musik), Freza Anhar (Penata Musik), Imam Maulana (Penata Musik dan Suara) dan Batara Goempar (Penata Sinematografi Nusa yang Hilang).

Baca halaman berikutnya soal seri monolog Di Tepi Sejarah!

Empat Monolog, Empat Sosok Sejarah

Seri monolog Di Tepi Sejarah menghadirkan empat cerita dari empat tokoh sejarah yang tak diketahui publik. Monolog Nusa yang Hilang menceritakan tentang perempuan Skotlandia yang tumbuh besar di Amerika Serikat, Muriel Stuart Walker (Chelsea Islan), pergi ke Bali dan jatuh cinta dengan Indonesia.

Ketika tinggal di Pulau Dewata, ia tinggal bersama keluarga dan berganti nama menjadi Ketut Tantri. Bukan tentang keindahan Bali, tapi Ketut Tantri terlibat jaringan gerakan bawah tanah, ditangkap, dan dijebloskan ke penjara.

Seri Monolog Di Tepi SejarahSeri Monolog Di Tepi Sejarah Foto: Titimangsa Foundation

Setelah Jepang menyerah, Ketut Tantri bergabung dengan para pejuang di Surabaya. Ia menjadi penyiar radio gerilya Barisan Pemberontak dengan siaran-siaran propaganda berbahasa Inggris.

Monolog Radio Ibu tentang Riwu Ga (diperankan Arswendy Bening Swara), pria tua yang berasal dari Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Riwu Ga bertemu dengan keluarga Bung Karno semasa presiden pertama Indonesia diasingkan di Ende.

Ia menjadi pelayan, pengawal, sahabat dekat sampai anak angkat dari Bung Karno dan Bu Inggit. Masa tuanya dihabiskan dengan mendengarkan radio peninggalan Bu Inggit.

Monolog Sepinya Sepi mengangkat cerita tentang perempuan tua Tionghoa bernama The Sin Nio (diperankan Laura Basuki) yang terjun ke medan perang menjadi prajurit. Ia mengganti identitasnya sebagai laki-laki dan memakai nama Moechamad Moechsin.

Monolog terakhir Amir, Akhir Sebuah Syair tentang Amir Hamzah (Chicco Jerikho) yang hidup di masa revolusi sosial di Indonesia. Di akhir hidupnya, ia dipancung oleh seorang algojo bernama Ijang Widjaja, yang merupakan guru silat Amir di masa kanak-kanak.

Ijang dipenjara akibat keterlibatannya sebagai algojo. Tapi ia dibebaskan setelah menjalani beberapa tahun hukuman dan menjadi gila lantaran tak mampu menanggung rasa bersalah yang terus menghantuinya. Pementasan ini bisa diakses melalui Kanal Indonesiana.



Simak Video "Pentas Teater 'Ariyah dari Jembatan Ancol' Sukses Pukau Penonton"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads