Film ini berhasil terpilih sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2014. 'Cahaya dari Timur: Beta Maluku' yang disutradarai Angga Sasongko juga memborong 7 Piala Maya, diantaranya film panjang/bioskop terpilih, penyutradaraan terpilih, skenario asli terpilih, dan aktor pemeran utama terpilih. Sebagai pemenang Film Terbaik FFI 2014, film ini juga mendapatkan kesempatan tayang lagi di bioskop.Β Film ini beredar di bioskop pada 17 Juni lalu, dan mendapatkan kesempatan tayang lagi di bioskop setelah ajang FFI.
'Jalanan' bercerita tentang Jakarta dan potret Indonesia melalui mata 3 pengamen muda yang humoris dan gigih menjalani hidup; Titi, Boni, dan Ho. Film ini mengikuti ketiganya secara intim dan mengangkat keseharian mereka yang terpinggirkan dari hiruk-pikuk Ibukota, tanpa rekayasa.
Film ini menggunakan lagu-lagu orisinil berkarakter kuat karya Titi, Boni, dan Ho sebagai kemudi ceritanya. Lewat gaya dokumenter, 'Jalanan' ini menelusuri kesepian, duka, asmara, kisruh perceraian, meriah perkawinan, hingga dorongan seksual mereka di tengah riuh-rendah Jakarta yang dikendalikan oleh globalisasi dan korupsi.
Film yang disutradarai Daniel Ziv ini berhasil memenangkan penghargaan pilihan penonton (People's Choice Awards) dalam Festival Film Internasional Melbourne (MIFF) tahun 2014. 'Jalanan' mengalahkan sejumlah film dokumenter lain, antara lain 'Keep on Keepin' on' dari Amerika Serikat, 'German Concentration Camps Factual Survey' dari Inggris Raya, dan 'Dior and I' dari Perancis. Film ini juga menang di Busan International Film Festival di Korea Selatan.
Gareth Evans membuktikan ucapannya untuk membuat cerita dengan skala yang lebih besar dari pertama. Banyak karakter baru yang muncul dibangun dengan latar belakang kuat dan dirajut dengan manis ke dalam cerita.
Ada Hammer Girl (Julie Estelle) dan Baseball Batman (Very Tri Yulisman), dua bersaudara yang bekerja pada Bejo sebagai pembunuh. Menyaksikan aksi mereka, mungkin Anda dan sebagian besar penonton lain akan takjub dengan totalitas Julie Estelle dalam tiap adegan pertarungan.
Dengan koreografi yang tepat dari Iko dan Yayan Ruhiyan, serta pemilihan angle kamera yang baik dari Matt Flannery dan Dimas Imam Subhono, Julie benar-benar terlihat seperti seniman bela diri pemegang sabuk hitam. Simak juga adegan kejar-kejaran mobil Oka Antara, dan betapa menariknya melihat Matt dan Dimas dalam menggunakan teknik perpindahan kamera di satu adegan panjang yang menggunakan tiga operator di posisi berbeda sambil mobil berjalan.
Suguhan adegan pertarungan paling dahsyat akan ditunjukkan Iko Uwais bersama Cecep A. Rahman yang berperan sebagai pembunuh andalan Bejo dengan latar di dapur. Raut wajahnya dingin, sorot matanya tajam. Karakter Cecep tidak pernah berbicara, selain sedikit tersenyum sebelum melibas sasarannya.
Jika Prakoso (Yayan Ruhiyan) bisa bertahan dan melawan 20 orang sekaligus, maka karakter Cecep bisa menghabisi orang seperti Prakoso hanya dalam waktu satu menit. Musik yang digarap Fajar Yuskemal, Aria Prayogi dan Joseph Trapanese semakin membuat adrenaline penonton berpacu menyaksikan pertumpahan darah yang indah.
Arifin Putra yang mendapat peran antagonis juga tampil sangat baik. Ia mampu membawakan karakter anak bos yang penuh ambisi besar sebagai pembuktian bahwa dirinya mampu menjadi pemimpin. Arifin mampu bersinar tanpa harus berkelahi dengan jurus-jurus silat.
Tak sedikit filmmaker yang terjebak dalam upayanya untuk membuat penonton terharu. Alih-alih membangun struktur cerita yang baik, beberapa dari mereka lebih mengandalkan gesekan biola dan tangis yang berlebihan dari karakternya. Padahal, menyentuh hati seseorang bisa dilakukan secara sederhana.
Ari Sihasale lewat film terbaru yang disutradarainya, 'Seputih Cinta Melati' berhasil menyampaikan filmnya dengan cara yang tak bertele-tele. Kedekatan emosional yang dibangun antar karakter utamanya, cepat meraih simpati penonton.
'Seputih Cinta Melatiβ berkisah tentang dua tokoh kecil bernama Rian (Fatih Unru) dan juga Melati (Naomi Ivo) yang masih lugu dan polos. Keduanya tak sengaja menolong dua buronan polisi, Erik (Asrul Dahlan) dan Ivan (Chicco Jerikho) yang kabur dari penjara.
Walaupun sudah terjalin hubungan di antara mereka, namun Erik tetap mencari cara untuk kabur dari daerah tersebut, sedangkan Ivan tidak mau pergi karena sudah merasa mempunyai ikatan batin dengan Melati dan Rian. Pertengkaran antara Ivan dan Erik pun terjadi.
Persahabatan mereka juga tak berlangsung lama karena orang tua Rian dan Melati mengetahui identitas kedua sahabat anak mereka tersebut. Hingga konflik mulai bermunculan satu per satu.
'Seputih Cinta Melati' memiliki latar cerita yang aktual, saat bulan Ramadan dan masa pemilu. Banyak kritik sosial yang sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, Erik dan Ivan yang dipanggil warga kampung Pak Haji hanya karena atribut gamis curian yang mereka kenakan. Padahal, warga juga tak kenal dengan mereka.
Film seringkali menjadi media bagi kultur dan budaya. Hampir sebagian dialog dalam film 'Seputih Cinta Melati' menggunakan bahasa Sunda, menyesuaikan latar cerita yang mengambil tempat di perkampungan dataran tinggi di Jawa Barat.
Nyanyian-nyanyian tradisional bernuansa riang yang dibawakan Rian dan Melati, mungkin saja bisa membangkitkan ingatan masa kecil penonton di kampung. Mancing ikan, dan kegiatan seru dan asyik lainnya ketika bermain di luar ruangan, hal yang sulit ditemukan pada anak-anak kota saat ini yang semakin tenggelam dalam teknologi.
'Seputih Cinta Melati' juga mampu membangkitkan kerinduan akan suasana Ramadan dan Lebaran di kampung yang hangat dan meriah. Film yang juga dibintangi Sabai Morscheck, Argo 'AA Jimmy', Yayu Unru, Arswendi Nasution dan Nia Zulkarnaen itu mengisi momen Lebaran pada 24 Juli lalu.
Dengan judul yang catchy dan menjual, film 'Haji Backpacker' berhasil mengundang massa di hari pertama pemutarannya di bioskop, Kamis (2/10/2014). Tersirat dari judulnya, film ini memadukan dua tren besar yang tengah bergulir di masyarakat, yakni traveling dan drama religi. Namun jangan keburu mengira bahwa ini film yang memberi petunjuk bagaimana naik haji ke Mekkah dengan cara "ngebolang".
'Haji Backpacker' adalah sebuah drama yang tentang cinta yang gagal, dan kekecewaan lain yang mewarnai hubungan anak dan ayah. Dikemas dalam road movie yang dinamis, film ini mengikuti perjalanan sang tokoh utama Mada (Abimana Aryasatya) yang ajaib. Film dimulai dari tengah, dibuka di sebuah gubuk di tengah gurun kering di Iran. Dikira mata-mata Israel, Mada dihajar dan ditodong senjata, dipaksa mengaku.
Tapi, tunggu dulu. Jangan terlalu serius. Ini bukan thriller spionase ala James Bond atau pun Jason Bourne. Ada kalanya memang, Mada tak tahu mengapa ia bisa terdampar sampai ke Lijiang, China. Tapi, ia sama sekali bukan mata-mata yang telah dihilangkan identitasnya. Dengan alur yang bergerak maju-mundur, keluar masuk antara masa kini dengan masa lalu, film ini menyingkap selapis demi selapis siapa Mada, dan mengapa ia ada di tempat-tempat itu: Thailand, Vietnam, India, Tibet hingga berakhir di Saudi Arabia.
Apakah ia semacam Walter Mitty? Tidak juga. Mada hanya ingin pergi jauh-jauh dari ayahnya, yang telah membuatnya kecewa pada kehidupan. Sang ayah yang mengajarinya berdoa dan beribadah, dan meyakinkannya bahwa hidupnya akan baik selama mengikuti aturan-Nya, ternyata tak terbukti bagi Mada. Maka, tak hanya marah pada sang ayah, ia sekaligus juga marah pada Tuhan. Sampai di sini mungkin jadi terdengar seperti sebuah klise yang sok romantis. Marah pada Tuhan? Film religi dengan premis seperti ini akan mudah tergelincir ke dalam teriakan-teriakan yang herois ala sinetron hidayah tentang orang yang bertobat.
Untungnya, Jujur Prananto sebagai penulis skrip bisa menahan diri untuk tidak terlalu mengikuti selera umum pada formula yang disebut sebagai "film religi". Memang, tak bisa dipungkiri, simbol-simbol Islam bertebaran dan bahkan menjadi napas film ini. Dan, bohong kalau sebagai film religi, film ini dibilang tidak berkotbah. Tapi, apapun yang dibayangkan orang tentang "film religi", 'Haji Backpacker' menampilkan dan mengemasnya dengan halus dan dalam takaran yang serba pas. Dialog yang biasanya menjadi beban yang menyiksa dalam film-film jenis ini, di film ini terasa wajar dan mengalir tenang.
Menonton film '3 Nafas Likas' ibarat menjalani sebuah kencan buta. Begitu minim informasi dan promosi dari film ini, sehingga penonton memasuki gedung bioskop nyaris tanpa bekal apapun. Ini film tentang apa, ceritanya apa? Belum lagi soal judul yang terus terang saja aneh (apa perlu disebutkan juga bahwa posternya pun buruk?). Ketika layar dibuka dan muncul seorang ibu yang sudah hampir sepuh, anggun dan berwibawa, penonton baru tahu, Likas itu nama orang. Ya, nama si ibu itu, yang akan menuturkan kisahnya kepada seorang wartawan yang akan menuliskan buku biografinya.
Kisah dimulai pada masa kecil di Sibolangit, Sumatera Utara pada 1937. Likas Tarigan (Tissa Biani Azzahra) adalah gadis cilik yang tumbuh di antara kenakalan anak-anak lelaki sebayanya di sebuah kampung ladang tepi gunung. Sebagai murid yang pintar, ia kemudian berencana menempuh pendidikan sekolah guru di kota. Keberatan dari sang ibu (Jajang C Noer) yang tak ingin ditinggalkan anak-anaknya, membuat Likas jadi maju-mundur. Namun sang ayah (Arswendi Nasution) berpikiran maju dan justru mendorong anak gadisnya itu untuk memantapkan niatnya melanjutkan sekolah.
Alur kemudian bergulir manis dan lancar mengikuti perjalanan hidup Likas. Setelah lulus, Likas (dewasa diperankan Atiqah Hasiholan) ditempatkan di Pangkalan Berandan namun kedatangan tentara Jepang kemudian mengacaukan semuanya. Mengikuti arus kehidupan yang tak menentu, nasib mempertemukan Likas dengan tentara PETA bernama Djamin Gintings (Vino G Bastian). Setelah Indonesia merdeka, mereka pun menikah. Tapi, kedatangan kembali tentara Belanda yang membonceng sekutu memporak-porandakan impian mereka akan rumah tangga yang tenang dan damai.
Panggilan tugas pun memisahkan mereka. Djamin ditempatkan di Aceh, dan Likas ikut bersama mertua. Atas saran sang ibu mertua pula, akhirnya Likas menyusul suaminya ke Aceh. Di sana ia membuka sekolah darurat di tepi sungai, di tengah perang. Adegan demi adegan terpapar dengan runtut, dan enak diikuti. Tapi, sampai di sini, penonton barangkali mulai bertanya-tanya, siapa sih sebenarnya orang-orang ini? Likas, Jamin Ginting, siapa mereka?
Sebagai sebuah film biopik, '3 Nafas Likas' tampil begitu bersahaja, namun penuh wibawa. Penulis skenario Titin Watimena menggunakan teknik kilas balik untuk membingkai cerita. Hasilnya memberikan efek kejut yang lebih maksimal pada setiap perkembangan episode perjalanan hidup tokoh-tokoh utamanya. Rako Prijanto yang sebelumnya mengerjakan film jenis serupa, 'Sang Kiai' yang mengantarkannya meraih Piala Citra sebagai sutradara terbaik, kali ini berhasil mengemas film ini lebih fokus, solid dan utuh.
Cerita utama dalam film berkisar tentang Nomura, seorang eksekutif muda Jepang yang sukses namun ternyata memiliki sisi gelap yaitu pembunuh yang menyebarkan video pembunuhannya melalui jejaring sosial. Di belahan dunia lain, Bayu (Oka Antara), seorang jurnalis ambisius yang kariernya sedang di ambang kehancuran secara tidak sengaja melihat video Nomura dan mulai menemukan sisi lain dari dirinya.
Kemudian mereka pun terhubung melalui internet dan ikatan antara mereka semakin rumit. Sejak saat itu, Nomura memutuskan untuk menemui Bayu.
Sebagai film thriller, 'Killers' menampilkan beberapa adegan yang mungkin akan dinilai terlalu sadis. Menyikapi hal itu, pihak sutradara dan produser pun sudah mempunyai trik untuk mengantisipasinya dengan menyiapkan versi Indonesia dan internasional
Para bintang lain yang terlibat dalam film tersebut adalah Luna Maya, Ray Sahetapi dan dua bintang film Jepang Kazuki Kitamura dan Rin Takanashi. Proses syuting dilakukan di Jakarta dan Jepang.
'Killers' akan melakukan penayangan perdana di Sundance Film Festival pada yang digelar di Park City, Salt Lake City, Ogden dan Sundance, Utah pada 16 hingga 26 Januari lalu. Setelah itu, film garapan The Mo Brothers ini akan menyambangi bioskop Indonesia pada 6 Februari lalu.
'Selamat Pagi, Malam' (In The Absence Of The Sun) terpilih menjadi satu-satunya film Indonesia yang berkompetisi di bagian Asian Future menghadapi 9 film terbaik dari sutradara muda Asia lainnya di Tokyo International Film Festival. Acara tersebut dihelat di Tokyo, Jepang pada 23-31 Oktober lalu.
Film yang dibintangi Adinia Wirasti ini menceritakan tentang pahit dan manisnya sebuah malam di Jakarta dari mata tiga perempuan yang merasa tidak lagi memiliki tempat di Jakarta. Film ini disutradarai dan ditulis oleh Lucky Kuswandi (Madame X) dan diproduseri oleh Sammaria Simanjuntak (cin(T)a, Demi Ucok) yang dikenal selalu memproduksi film-film personal yang berbeda tetapi tetap menghibur.
Ide awal film ini datang ketika Lucky Kuswandi baru saja kembali dari sekolah film di Amerika Serikat dan menemukan banyak keunikan di Jakarta. Jakarta menghadirkan rindu dan benci bersamaan yang membuat ingin pergi tapi akhirnya tetap kembali. Sebelum akhirnya diproduksi, skenario film ini sudah berkelana ke banyak festival dunia seperti Produire au Sud, Festival des 3 Continents, Festival mondial du film de Bangkok, dan Jakarta International Film Festival.
Dalam film ini, Adinia Wirasti berperan sebagai Gia, seorang filmmaker dari New York yang kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan Naomi (diperankan Marissa Anita) dan menjadi awal dari sebuah malam yang mengubah hidupnya.
Film ini merupakan film pertama Marissa Anita yang sebelumnya lebih dikenal sebagai anchor televisi. Film ini juga menghadirkan akting yang wajar dan memikat dari para pendatang baru seperti Ina Panggabean, Dayu Wijanto, Trisa Triandesa, dan juga Dira Sugandi.
Dira Sugandi yang lebih dikenal sebagai seorang penyanyi memerankan seorang penyanyi malam di sebuah bar kelas bawah Jakarta yang menyanyikan 'Pergi Untuk Kembali' karya Minggus Tahitoe dengan begitu menyentuh.
Selain 'Pergi Untuk Kembali', lagu lain dalam film ini seperti 'Selamat Pagi, Malam' oleh Agustin Oendari dan juga 'To New York' oleh Aimee Saras menambah keunikan film 'Selamat Pagi, Malam'.
"Makin aneh saja dunia ini. Rumah makan Padang juru masaknya orang Papua," kata karakter yang diperankan Yayu Unru dalam film baru 'Tabula Rasa'. Mungkin baru kali ini ada film Indonesia yang mengangkat khusus soal makanan.
Tapi, 'Tabula Rasa' bukan film demo memasak. Lebih dalam dari itu, banyak filosofi yang terkandung dalam sebuah masakan dan prosesnya diungkap film ini. Misalnya, dalam pembuatan rendang khas Minang, butuh waktu berjam-jam untuk prosesnya sebelum mendarat dengan nikmat di lidah. Sama seperti hidup yang butuh keuletan, kesabaran dan kerja keras untuk meraih kesuksesan.
Nilai-nilai itu pula yang membentuk cerita film ini. Hans (Jimmy Kobogau) adalah pemuda asal Serui, Papua, yang bercita-cita untuk menjadi pesepakbola profesional. Namun nasib berkata lain ketika kakinya patah dan ia dibuang begitu saja dari klubnya di Jakarta.
Hans menjadi gelandangan dan kerja serabutan. Di pasar, ia menjadi pengumpul sisa-sisa beras yang jika dijual hanya memiliki nilai Rp 4 ribu. Pada saat Hans hampir kehilangan semangat hidupnya, ia bertemu dengan Mak uwo, seorang pemilik rumah makan Minang sederhana (lapau). Mimpi dan semangat hidup Hans pun terbentuk kembali lewat makanan dan masakan.
Film ini menandai debut film panjang perdana bagi sutradara Adriyanto Dewo. Sebelumnya ia dikenal lewat film pendek omnibus 'Sanubari Jakarta' di segmen 'Menunggu Lama' dan omnibus 'Hi5teria' dalam segmen 'Pasar Setan.'
Menonton 'Tabula Rasa' sangat menggugah selera makan. Gulai kepala kakap, rendang, ayam pop, dendeng balado dan masakan khas Minang lainnya ditampilkan dengan menggoda.
Kapan Anda terakhir kali melihat film bertema pendekar di bioskop? Bagi generasi 90-an, mungkin akrab dengan serial 'Wiro Sableng' dan 'Si Buta dari Gua Hantu' yang sempat merajai televisi. Tapi setelah itu drama sinetron menggeser kejayaan mereka, diikuti dominasi film drama dan horor di layar lebar. Apakah penggemar film bertema silat dan pendekar masih ada?
Mungkin pertanyaan itu yang muncul pertama kali di benak produser Mira Lesmana ketika berencana membuat film 'Pendekar Tongkat Emas.' Tetapi semangat Mira untuk menghadirkan kembali kisah yang terinspirasi komik silat dan bercerita tentang dunia pendekar sudah tak terbendung lagi. Ini adalah proyek impiannya selama 8 tahun.
Film yang disutradarai Ifa Isfansyah ('Sang Penari', '9 Summer 10 Autumns') itu bercerita tentang Cempaka (Christine Hakim), pendekar yang sangat disegani dan dihormati dalam dunia persilatan, dan pemegang senjata Tongkat Emas dan jurus tak tertandingi. Cempaka yang mulai menua akan mewariskan senjata dan jurus Tongkat Emas kepada muridnya.
Cempaka memiliki empat murid yang sebagian besar adalah anak-anak dari pendekar yang ia bunuh. Ada Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia) dan Angin (Aria Kusumah). Pembunuhan dan pengkhianatan terjadi sebelum dunia persilatan mengetahui ahli warisnya. Tongkat Emas kemudian jatuh ke tangan yang salah hingga menyebabkan kekacauan.
Satu-satunya orang yang dapat membantu mengambil alih Tongkat Emas adalah Pendekar Naga Putih, bekas pasangan Cempaka yang lama menghilang. Dua orang murid Cempaka yang tersisihkan dan dikhianati harus menemukan Pendekar Naga Putih sebelum terlambat.
Menyaksikan 'Pendekar Tongkat Emas' seperti mendapatkan angin sejuk di tengah ketatnya persaingan industri film Indonesia yang didominasi cerita drama dan horor. Mira Lesmana memberikan pilihan baru bagi penonton. Ceritanya ringan dan memiliki komposisi yang khas dalam cerita pendekar yakni dendam, pengkhianatan dan keserakahan.