Di masa pandemi, isu kesehatan mental santer digaungkan baik di jagat maya maupun dalam sehari-hari. Hampir dua tahun lamanya berada hanya di dalam rumah saja, juga bisa membuat seseorang mengalami stres akut.
Dalam buku Butterfly Hug yang ditulis oleh Tenni Purwanti, ia tak sekadar menuliskan isu tabu tersebut. Di balik itu semua, penulis kumcer Sambal dan Ranjang itu menguak fakta pengalaman pribadi seorang penyintas.
Tenni menceritakan asal muasal saat dirinya mengalami gangguan kecemasan yang membuatnya mengalami mental breakdown. Sayangnya berbagai akses dan fasilitas terhadap pasien yang mengalami stres atau masalah kejiwaan belum memadai.
Hal tersebut diungkapkan oleh Tenni Purwanti kepada detikcom, belum lama ini.
"Memberikan kemudahan akses ke psikolog dan psikiater serta memasukkan masalah kesehatan jiwa ke BPJS," saran Tenni kepada pemerintah agar memuat regulasi yang jelas tentang isu kesehatan mental.
Menurut Tenni, di kota-kota besar isu tersebut sepertinya tidak terlihat seperti sebuah masalah. Tapi berbeda halnya ketika terjadi di kota kecil.
Ia menceritakan pernah mendapatkan pesan dari pembacanya di daerah terpencil yang akses ke psikolog dan psikiater cukup sulit. Kalaupun ada, harganya pun sangat mahal terutama obat-obatannya.
"Sehingga orang lebih memilih berobat ke ahli agama atau bahkan paranormal. Agama dan kegiatan keagamaan memang membantu kita lebih tenang tapi pengobatan kesehatan jiwa harus holistik, tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, gaya hidup sehat seperti tidur cukup, olahraga, makan makanan bergizi tapi juga perlu obat dan konseling yang teratur dan terukur," terang Tenni.
Bagi mereka yang merasakan turut mengalami permasalahan tersebut, Tenni menyarankan agar lebih peka terhadap diri sendiri.
"Cari bantuan sebelum kondisinya memburuk. Mencari informasi di internet boleh tapi jangan self diagnose karena itu berbahaya," tukasnya.
Simak Video "d'Greatisan: Tiket Gratis Musikal Petualangan Sherina"
(tia/dal)