Dunia Penata Busana yang Istimewa dan Menantang

Dunia Penata Busana yang Istimewa dan Menantang

Devy Octaviany - detikHot
Minggu, 12 Jul 2020 11:20 WIB
Retno Damayanti
Foto: Retno Damayanti (dok. ist)
Jakarta -

Film yang terlihat menarik disaksikan tak hanya bersandar pada cerita. Dari konsep skenario, cerita diwujudkan lewat akting yang diperkaya dengan set, latar hingga kostum pemainnya.

Tahun 2020 ini misalnya, Oscar menempatkan jumlah film yang tak sedikit disaingkan dalam nominasi kostum terbaik. Penghargaan akhirnya jatuh kepada penata busana asal Inggris, Jacqueline Durran yang menangani kostum film Little Women yang kisahnya berlatar tahun 1832.

"Kostum itu memang menjadi penanda waktu yang sangat penting. Film-film modern pun bisa memakai set dan properti kuno tapi kalau kostum benar-benar menandakan waktunya. Karena fesyen kan selalu berubah, selalu progresif selalu dinamis," ungkap Retno Damayanti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Indonesia, penata kostum dipandang Retno belum menerima banyak sorotan. Ia pernah menyampaikan kegelisahan soal ini ketika dirinya menerima piala Citra pertamanya.

"Di kita lambat, bahkan di kalangan orang film sendiri, kostum dianggap bukan yang utama. Tapi bagaimana, mencoba menggambarkan karakter, tokoh. Cuma dengan akting? Dengan kostum, kita bisa menilai seseorang bagaimanapun dari covernya. Cover itu menjadi sangat penting bagi seorang tokoh," tutur Retno.

ADVERTISEMENT

Menata kostum lewat riset

Butuh tahu lebih banyak sejarah bagi seorang penata busana di film. Terlebih ketika terlibat dalam proyek film-film periodik.

Retno Damayanti berulang kali terlibat dalam pembuatan film bertema periodik itu dari biografi hingga sejarah. Riset menjadi hal utama yang dilakukannya ketika menerima tawaran terlibat dalam film-film seperti ini.

Yang disayangkan Retno adalah minimnya data tentang sejarah masa lalu di Tanah Air. Satu-satunya yang lengkap memiliki data tentang sejarah Indonesia di masa lampau diungkapkan Retno ada di Belanda.

"Minimnya data-data yang kita punya itu susah sekali. Seperti data-data visual, itu susah. Kita mencoba ke perpustakaan, dan sebagainya kita memang tidak punya ya. Kalau mau kita harus ke Belanda, dia punya museum dan museumnya sangat lengkap untuk koleksi Asia, terutama Indonesia," ungkap Retno.

Selain itu, seorang penata busana juga mendalami naskah dari film di mana ia terlibat. Hal ini membantu mengembangkan karakter kostum yang akan diberikan pada aktor yang memerankan tokoh tersebut di depan kamera.

"Makanya saya juga suka nanya, tokoh ini rumahnya seperti apa. Mobil yang dia pakai gimana. Karena bagaimanapun, kostum yang dikenakan seseorang kan mencerminkan kelas, kasta yang ditampilkan," imbuh Retno.

Menata kostum di film menantang waktu

Selain riset yang juga kerap terbentur dengan data, menata kostum di produksi film Indonesia seringkali berlomba dengan waktu.

Retno Damayanti mengatakan, hal ini juga menjadi perhatiannya.

"Seringkali persoalan kostum itu dianggap sebagai hal yang sangat mudah. Padahal tidak, saya butuh riset, saya butuh mendesainnya, menjahitnya, kemudian kalau film sejarah saya harus membuat kostum itu terlihat lama, bukan baru," ungkapnya.

Retno bercermin dari produksi film luar di mana dirinya sempat terlibat berjudul The East.

"Itu lumayan produksi besar, ada 3 negara, Belanda, Belgia dan Indonesia. Partner kerja saya dengan Belgia. Saya melihat perbedaan yang cukup tajam dari apa yang mereka lakukan di sini. Mereka melakukan riset 2 tahun, persiapan betul-betul lebih dari enam bulan dipersiapkan. Artinya dipersiapkan dengan matang," ungkap Retno Damayanti.

Retno juga memperhatikan bagaimana fitting busana sebelum syuting juga diterapkan bahkan untuk para extrasnya.

"Bagi orang luar, hal seperti ini diperhatikan. Seringkali saya dapat pertanyaan, kenapa extras-extras di Hollywood bajunya pas seperti memang itu jadi milik mereka, saya jawab karena mereka melakukan fitting. Jawaban tersebut ternyata sesuai dengan produksi luar The East di mana saya terlibat," imbuhnya.

The East diproduksi XYZ Films bersama produser asal Belanda, New Amsterdam. XYZ Films yang sebelumnya berada di belakang The Raid, Headshot juga The Night Comes for Us. Sementara The East menjadi film produksi pertama New Amsterdam di Indonesia. Film ini berlatar tahun 1947 di momen perang masa lalu antara Belanda dan Indonesia.


Hide Ads