Industri Film RI: Siapa Berani Rugi?

Industri Film RI: Siapa Berani Rugi?

Devy Octaviany - detikHot
Rabu, 01 Jul 2020 22:10 WIB
SYDNEY, AUSTRALIA - MAY 28: A group watch the movie Dirty Dancing from inside their car at Movin Car Outdoor Car Cinema on May 28, 2020 in Sydney, Australia. Originally an outdoor cinema where patrons would watch the screen from beds, the cinema has been turned into a drive in theatre to allow Sydneysiders the chance to go to the movies safely and in line with current COVID-19 restrictions.  (Photo by Mark Metcalfe/Getty Images)
Ilustrasi drive in cinema Foto: Getty Images/Mark Metcalfe
Jakarta -

Pandemi Corona membawa dampak krisis di banyak sektor salah satunya perfilman. Di Tanah Air, terhitung sudah memasuki empat bulan sektor perfilman vakum dari sisi produksi juga eksibisi.

Mengikuti anjuran pemerintah sejak akhir Maret 2020, bioskop menghentikan operasionalnya. Berhentinya penayangan film di bioskop menjadi beban tersendiri bagi para produser juga sineas Tanah Air.

Meski ada alternatif seperti layanan media streaming juga gagasan menggelar Drive in Cinema muncul, bioskop diyakini masih belum tergantikan.

Belakangan layanan streaming Over-the-top media service (OTT) menjadi alternatif yang digandrungi sejak pandemi membuat operasional bioskop berhenti. Tapi, sensasi menonton film tak bisa dipukul rata sama seperti sensasi yang diperoleh saat menonton di bioskop.


"Walaupun OTT bikin film original yang langsung tayang di tempat mereka tetapi, kita tahu sendiri, film yang biasanya menjadi pembicaraan, yang dibahas secara lebih banyak itu adalah film yang rilis di bioskop," ungkap produser Chand Parwez Servia, saat dihubungi detikcom.

Bisa dibilang, tak semua film layak tayang secara streaming. Di AS sendiri, para produser hingga filmmaker membuat pilihan-pilihan terkait film mana yang semestinya tayang di bioskop dan film mana yang bisa dihadirkan lewat streaming.

Kabar teranyar salah satunya datang dari Disney yang mengeluarkan keputusan live-action Mulan dua kali diundur jadwal rilisnya di bioskop. Disney menekankan alasan di balik penundaan film tersebut berkaitan dengan pengalaman menonton yang dijanjikan lebih terasa hidup bila disaksikan langsung di bioskop.

"Sutradara Niki Caro dan para pemain serta kru kami telah menciptakan film yang indah, epik, dan mengharukan, yang merupakan panggung pengalaman sinematik seperti yang seharusnya. Di situlah kami percaya film ini harus ditayangkan di layar lebar untuk dinikmati oleh pemirsa di seluruh dunia," ungkap Alan Horn Direktur kreatif Disney dalam pernyataan resmi.

Chand Parwez mengungkapkan setiap film punya pasarnya masing-masing. Tidak tayangnya film di bioskop membuat perilisan film-film pun terhenti.

"Film bioskop itu pasar utamanya bioskop, nah jadi yang lain itu additional bukan yang utama. Kan praktiknya begini, film rilis dulu di bioskop, nanti kan ada window setelah 4 bulan masuk ke OTT, nah kemudian sekian bulan lagi masuk ke TV dan seterusnya. Sekarang kalau bioskopnya mandek, akan ada banyak film yang mandek," urai produser dari rumah produksi Starvision Plus ini.

Hadirnya Drive in Cinema

Selain OTT (Over-the-top media service) atau layanan streaming, menonton lewat Drive in Cinema menjadi alternatif lain saat bioskop sedang berhenti beroperasional.

Di Jerman juga Korea Selatan, alternatif menonton seperti ini sudah berlangsung di situasi pandemi seperti sekarang yang wajib menjaga jarak satu sama lain. Menonton film dari mobil memungkinkan minimnya kontak fisik dari satu orang ke orang lain.

Di Jakarta, gagasan Drive in Cinema dihadirkan oleh sebuah perusahaan event organizer, Ergo&Co. Drive in Cinema dijanjikan membawa pengalaman menonton yang berbeda.

"Kalau secara teknis, berangkat dari mulai ticketing, kita udah kerjasama dengan partner ticketing besar, dengan gotix. Kita jual satu paket, besarannya belum bisa kita infokan. Kapasitasnya untuk satu mobil berisi 3 orang maximum, ya kita sebut idealnya. Kita udah tes di lokasi, tiga orang itu di satu mobil itu penonton bisa nonton dengan nyaman," ujar Adam selaku PR Ergo&Co.

Drive in Cinema dari Ergo&Co ini sudah mendapatkan hak penayangan di tanggal 16 Juli hingga 19 Juli 2020 ini. Berbanding 70:30 film luar negeri dan film lokal, Drive in Cinema Ergo&Co akan menayangkan sejumlah film-film Indonesia yang sebelumnya sudah pernah dirlis. Di antaranya Habibie & Ainun 3 juga Wiro Sableng.

"Semuanya dalam area hijau. Film, tempat, izin semuanya sudah hampir terpenuhi, 90 persen kami sudah dapat film-film yang berizin untuk tayang baik lokal maupun luar," urai Adam Ergo&Co.

Meski begitu, pihak Ergo&Co tak akan seterusnya menggelar Drive in Cinema. Keberadaan Drive in Cinema yang mereka suguhkan hanya menjadi alternatif sementara dari absennya bioskop memutar film seperti sekarang.

"Drive in Cinema ini kita buat bukan untuk menjadikan lawan bioskop yang sudah ada. Sebenarnya ini alternatif nonton dari yang sudah ada. Kami tidak akan menjadikan Drive in Cinema ini jadi sesuatu yang permanen, tapi sifatnya pop up event," imbuh Adam.

Bioskop paling menguntungkan

bioskopbioskop Foto: (dok.XXI)


Pengalaman menyaksikan film di bioskop disepakati sebagai pengalaman yang sulit tergantikan. Chand Parwez Servia merinci bagaimana bioskop dapat mewakili identitas manusia sebagai makhluk sosial.

"Kenapa menonton film di bioskop itu memang beda ya. Pengalaman menontonnya, kan kita harus tahu bahwa kita makhluk sosial. Saat kita menonton bersama-sama, kita terkoneksi emosinya. Ikutan sedih, ikutan senang, ikutan teriak, ikutan seru, ikutan ketakutan, apapun juga rasanya. Nah biasanya, excitement ini yang melekat di hati orang. Itu membuat orang ingin menonton lagi apa yang mereka dapatkan perasaan itu," ungkap produser dari rumah produksi Starvision Plus ini.

Bicara soal untung secara pendapatan, bioskop pun tetap memberikan kontribusi terbesar dari penayangan film lewat streaming ataupun yang lainnya seperti yang sekarang.

Kerugian perfilman Indonesia diestimasi mencapi Rp 600 miliar dari vakumnya pemutaran di bioskop. Hal ini terhitung sejak tiga bulan belakangan di momen puncak Corona.

"Masalah kerugian bisa estimasi di layar lebar itu ada 170-180 juta penonton per tahun. Dibagi 12 bulan itu jadi 14 juta penonton. (Pendapatan) per bulan Rp 600 miliar kurang lebih. Ini hitungan kasar saya, rugi sebulan Rp 200 miliar, itu itungan saya," ungkap Manoj dalam jumpa pers Persatuan Perusahaan Film Indonesia via Zoom belum lama ini.

Keberadaan layanan streaming memang menjadi alternatif. Namun tayangnya film-film Indonesia di media yang berbeda termasuk di layanan OTT disimpulkan hanya membuat perfilman Indonesia dalam kondisi survival mode.

"Kalau bicara keuntungan itu adalah, apa yang kita terima itu setelah biaya, terpenuhi. Pendapatannya lumayan atau tidak, beda. Punya pendapatan belum tentu kita untung. Bioskop itu kontribusinya masih di atas 50 persen daripada yang lain-lainnya. Daripada OTT, TV, atau apapun nantinya. Jadi masih lebih besar beban yang harus kita cari pendapatannya dari bioskop," urai Chand Parwez.

Kini bioskop bersiap hadir lagi di momen new normal. Starvision sendiri sudah mempersiapkan film yang akan disuguhkan untuk tayang di bioskop jika kembali dibuka. Diperkirakan bioskop kembali dibuka pada bulan Agustus.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

[Gambas:Instagram]




"Insyaallah Starvision akan hadirkan Mariposa yang sempat tunda tayang di pertengahan Agustus dan Insyaallah Tarung Sarung di akhir Agustus," tukas Chand Parwez.

Selain penerapan protokol keselamatan yang tengah diusulkan di sisi produksi film, sisi eksibisi yakni bioskop juga punya persiapan khusus.

Bioskop XXI akan menerapkan aturan kesehatan terkait COVID-19 bagi para pengunjung. Bukan hal yang tak mungkin menonton di dalam studio tak lagi berdekatan satu sama lain.

"Kami akan tetap memberlakukan protokol kesehatan yang sesuai dengan yang sudah ada, termasuk melakukan kegiatan operasional sesuai dengan protokol kesehatan dan prosedur physical distancing yang nantinya diinstruksikan oleh Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah," ungkap Dewinta Hutagaol, Public Relations XXI, kepada detikcom.

Meski sudah dibuka, tentu saja protokol itu bakal tetap berlaku. Seiring dengan tempat duduk yang makin berkurang, industri film harus siap dengan aturan baru yang tentu saja bakal berpengaruh dengan jumlah penonton yang datang.

"Treatmentnya pasti berbeda, contohnya kayak bioskop aja misalnya bioskop buka pun pasti nggak full kapasitas, kalau sebelumnya kita dateng ke bioskop datang 15 menit sebelum film diputar, pasti udah nggak bisa. Karena pasti ada pemeriksaan suhu dan sebagainya. Ini juga kami bicarakan, karena film nggak cuma soal produksi tapi eksibisi juga," ungkap Chand Parwez.

BioskopBioskop Foto: ist



(doc/nu2)

Hide Ads