Ridley Scott tidak akan pernah beristirahat. Dua tahun saja dia merilis dua film (The Last Duel dan House of Gucci) yang sangat asyik untuk dinikmati dengan style yang berbeda. Kalau Anda suka soap opera glamor yang dimainkan dengan luar biasa over-the-top, mungkin Anda akan lebih menikmati House of Gucci.
Sementara itu kalau kalian ingin dikejutkan dengan commentary Ridley Scott bahwa sesungguhnya semua laki-laki adalah pecundang, Anda bisa menyaksikan The Last Duel. Film terbarunya, Napoleon, masih mengikuti tema serupa bahwa orang-orang yang dianggap dewa ini ternyata menyedihkan.
Dibuka dengan pemenggalan kepala Marie Antoinette, Napoleon ternyata lebih lucu dari yang saya kira. Dengan track record Ridley Scott yang luar biasa dan kemampuannya yang canggih dalam menggarap kolosal, saya mengira film ini akan serius. Tapi ternyata Ridley Scott memilih jalur lain yang lebih menyenangkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hubungannya dengan istrinya, JosΓ©phine (Vanessa Kirby), menjadi salah satu sumber gelak tawa yang paten. Bagi orang-orang yang merasa pepatah "di balik kesuksesan pria adalah perempuan", Anda harus menyaksikan thesis yang disajikan Ridley Scott dan penulis skrip David Scarpa disini.
![]() |
Hubungan seks mereka terasa seperti cuplikan dari film-film Yorgos. Dan dinamika hubungan mereka cukup kompleks untuk mendapatkan jatah spotlight sendiri. Tentu saja sebagai sebuah biopik, Napoleon menghabiskan waktunya untuk mengajak kita menyaksikan tur kesuksesan.
Ini semua hanyalah set-up yang menggemaskan karena Scarpa dan Scott menginterupsi ini untuk penekanan ambisi Napoleon yang nanti akan melahirkan frase yang dipakai dalam konteks pseudo-psychology. Hingar bingar perang ini juga penting karena kita akan bertemu di titik dimana ambisi karakter utamanya akan menjadi bumerang.
Bahkan sejak Gladiator, Scott tahu bahwa Joaquin Phoenix bukan sembarang aktor. Russell Crowe memang aktor yang baik tapi semua penonton tahu bahwa yang menjadikan Gladiator sefenomenal itu adalah aksi culas si Phoenix yang dimainkan dengan baik.
Dalam film ini, Phoenix memainkan Napoleon dengan bosan in a good way. Tidak ada satu pun hal yang membuatnya bersemangat, bahkan dalam momen perayaan. Dalam diam, penonton bahkan seperti bisa mendengar monolog yang ada di dalam kepalanya. Anda bisa melihat sekilas campuran antara Joker, Beau Is Afraid atau The Master di sorotan matanya.
Tidak salah memang Scott memasang Phoenix sebagai Napoleon (meskipun banyak yang berkomentar bahwa si aktor terlalu tua untuk memerankan karakter ini) karena hanya ia yang bisa berperan sebagai pecundang dengan totalitas.
Scott, di usianya yang ke-86, sekali lagi menunjukkan kepada sutradara-sutradara lain bahwa hanya ia yang bisa menyajikan kolosal sebaik dirinya. Lanskap yang luas, komposisi yang matang. Gambar yang ada di layar terlihat seperti lukisan. Setelah Gladiator, Kingdom of Heaven, Robin Hood atau bahkan The Last Duel, mungkin penonton akan skeptis dengan apa lagi yang bisa dipertontonkan oleh Scott.
![]() |
Napoleon membuktikan bahwa ia masih punya banyak mesiu untuk menyajikan dentuman yang memuaskan. Dalam 157 menit, Napoleon terasa lengkap. Tidak ada satu pun momen yang membosankan atau momen yang terbuang sia-sia. Tapi memang harus diakui bahwa ada beberapa bagian yang belum lengkap.
Kisah tentang orang kerdil penuh ambisi ini mempunyai banyak bab dan rupanya Scott menyisakan kisah-kisah lain di versi 4 jam yang nanti akan dirilis di Apple TV. Dan saya tidak akan sabar untuk menunggu versi lengkapnya untuk menertawakan si pria ambisius ini.
Napoleon dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia.
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International
(ass/ass)