Review The Sandman: Selamat Datang di Dunia Neil Gaiman yang Indah

ADVERTISEMENT

Review The Sandman: Selamat Datang di Dunia Neil Gaiman yang Indah

Candra Aditya - detikHot
Minggu, 14 Agu 2022 20:42 WIB
The Sandman
Foto: dok. Netflix
Jakarta -

Butuh tiga dekade lebih untuk adaptasi Neil Gaiman muncul dalam versi gambar bergerak. Dari sejak awal dekade 90-an, Hollywood sudah berlomba-lomba, mencari cara untuk mengadaptasi masterpiece Neil Gaiman di layar tapi tidak ada hasil. Akhirnya, tahun ini The Sandman hadir di Netflix. Bagian yang paling mengejutkan mungkin adalah fakta bahwa adaptasi ini sama sekali tidak mengecewakan. The Sandman tidak hanya berhasil menjadi adaptasi yang baik, tapi pada akhirnya saya menginginkan lebih. Saya ingin jilid The Sandman berikutnya.

Dunia dalam The Sandman memang aneh dan kompleks tapi David S. Goyer, Allan Heinberg dan Neil Gaiman berhasil menerjemahkan itu semua dengan jelas dan gampang untuk dipahami. Dimulai pada tahun 1916 ketika Dream (atau Sandman atau Morpheus, diperankan oleh Tom Sturridge) ditangkap oleh Sir Roderick Burgess (Charles Dance, kalau Anda menonton Game of Thrones, Anda pasti tahu kenapa Charles Dance memerankan karakter ini). Ditangkapnya Dream ini tentu saja membuat dunia agak sedikit lebih kacau. Sebagai makhluk yang mengontrol mimpi manusia, ada banyak orang yang tidak bisa bangun lagi dari mimpinya. Dan itu hanya sedikit permasalahan dari banyak hal yang harus dia hadapi.

Dream dikurung hampir selama satu abad. Ketika dia akhirnya bisa lolos, Dream harus mencari tiga benda yang menjadi sumber kesaktiannya. Ada semacam topeng (susah menjelaskannya), batu rubi dan pasir. Satu abad dia dikurung, dunia banyak berubah. Termasuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Sekali lagi, ini hanya sebuah awal.

Tadinya saya mengira The Sandman akan seperti kebanyakan serial fantasi lain yang jor-joran soal bagian nyelenehnya. Saya terkejut ketika menemukan bahwa serial ini jauh lebih meditatif dari yang saya bayangkan. The Sandman tidak buru-buru dalam bercerita dan anehnya dia tidak mengorbankan pacing soal melakukan ini. The Sandman tetap mengalir dengan enak.

Ada banyak hal yang membuat The Sandman berhasil. Yang pertama salah satunya adalah casting. Pemilihan aktor dalam The Sandman luar biasa jenius. Tom Sturridge sebagai Dream/Morpheus benar-benar mempesona. Dream/Morpheus bukanlah peran yang mudah. Di episode pertamanya saja dia hanya mengucapkan beberapa dialog. Tapi gerak-gerik tubuhnya dan ekspresi wajahnya sangat menjelaskan siapa karakter ini. Dan ketika akhirnya Sturridge mendapatkan kesempatan untuk berdialog, Anda akan mengerti kenapa dia mendapatkan peran utama The Sandman.

Ini bukan pertama kalinya Boyd Holbrook menjadi villain. Saya tidak membaca buku The Sandman tapi saya bisa menangkap karakter Corinthian dengan cepat karena interpretasi Holbrook yang jelas. Setiap senyumannya membuat saya merinding ngeri. Kirby Howell Baptiste sebagai Death sangat berkesan meskipun screen time-nya tidak banyak. Gwendoline Christie membuat Lucifer terlihat begitu keren (adegan khusus battle diantara keduanya adalah sekuens yang layak ditelaah lebih lanjut). Mason Alexander Park memerankan Desire dengan begitu menggigit. Jenna Coleman membuat Johanna Constantine langsung menjadi idola. Dan Vivienne Acheampong adalah pustakawati idola kita semua.

Keberhasilan departemen casting The Sandman tidak hanya berhenti di karakter-karakter utama tapi juga orang-orang yang hanya tampil dalam satu dua episode. Charles Dance sangat efektif untuk menjadi katalis. David Thewlis sebagai John Dee berhasil membuat saya takut sekaligus simpati terhadap karakternya.

Diambil dari cerita "Preludes & Nocturnes" dan "The Doll's House", 10 episode The Sandman terasa seperti sebuah petualangan yang berfragmen. Kita bertemu dengan orang-orang menarik secara sekelebatan. Bahkan dalam situasi ekstrem, kita diajak untuk melihat sebuah mimpi buruk dalam sebuah rumah makan. Keputusan ini membuat The Sandman menjadi sebuah hidangan dengan berbagai rasa. Efeknya adalah ada beberapa karakter yang terasa jauh lebih menonjol dan bikin kangen (chemistry antara Dream dengan Johanna Contantine terlalu nyetrum untuk menjadi "hiasan") dan ada beberapa episode yang terasa lebih mencuri perhatian.

Salah satu episode yang mungkin sangat menghantui saya adalah episode lima berjudul "24/7". Setting-nya hanya di sebuah rumah makan 24 jam ketika karakter John yang membawa batu rubi bertemu dengan pengunjung tamu tersebut. Episode yang disutradarai Jamie Childs ini rasa awalnya misterius tapi kemudian suasananya berubah-ubah sesuai dengan campur tangan karakter utamanya. Tidak hanya episode ini adalah unjuk gigi David Thewlis sebagai aktor, episode ini adalah ajang pamer semua departemen yang ada di dalamnya. Visual episode ini menghantui, lengkap dengan ending yang membuat saya terbayang-bayang selama beberapa hari.

Dengan budget sebesar 15 juta dollar per episode, The Sandman adalah salah satu produk Netflix yang beneran kelihatan megah dan besar (bandingkan dengan proyek 200 juta dollar Netflix berjudul The Gray Man). Setiap jengkalnya terlihat besar dan megah. Istana Dream sungguh-sungguh mempesona, begitu juga dengan nerakanya Lucifer. Atau bahkan tempat kongkow Desire yang terlihat sangat kinky.

Ternyata tidak mengecewakan juga menunggu hampir tiga dekade untuk menyaksikan bagaimana masterpiece Neil Gaiman bergerak di dalam layar. Sekarang kita hanya bisa menunggu apa yang terjadi dengan Dream dan lain-lain di cerita berikutnya. Semoga kita tidak perlu menunggu tiga dekade lagi untuk menyaksikan cerita berikutnya.

The Sandman dapat disaksikan di Netflix.

---

Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.

(aay/aay)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT