Setelah menonton Prey, saya merasa agak sedikit kesal. Pasalnya film seseru dan sebaik ini harusnya disaksikan di kelegapan bioskop dengan layar besar dan tata suara yang menggelegar. Tapi hadirnya film ini di Disney+ juga memberikan keuntungan tersendiri. Yang artinya tidak ada alasan bagi penonton, terutama pecinta film pemacu adrenalin dan juga penggemar serial Predator, untuk tidak menyaksikan film ini.
Ber-setting pada awal abad 18, tokoh utama cerita ini adalah Naru (Amber Midthunder), seorang gadis yang dididik untuk menjadi penyembuh. Tentu saja seperti sebuah kisah pejuang sejati, Naru punya aspirasi yang lebih dari sekedar menjadi penyembuh. Dia ingin menjadi petarung, seperti kakaknya Taabe (Dakota Beavers). Meskipun Taabe lumayan mendukungnya, Naru punya masalah dengan kepercayaan dirinya. Dia selalu tidak yakin untuk menyerang mangsanya.
Kemudian suatu hari Naru melihat sesuatu yang aneh. Dia melihat guntur di langit yang tidak wajar. Dia melihat mayat binatang yang terkelupas dengan aneh. Kemudian suatu hari dia menyaksikan makhluk aneh ini menyerang beruang dengan mudahnya. Sekarang Naru punya misi untuk menyelamatkan sukunya dari bahaya yang mengintai.
Ditulis oleh Patrick Aison (dengan cerita dari Dan Trachtenberg), Prey menemukan jalannya dengan mundur ke abad 18. Keputusan pembuat film ini untuk mengajak penonton berkenalan dengan suku Comanche membuat tema film ini menjadi bulat. Suku yang masih berpindah-pindah dan berburu untuk hidup ini akhirnya harus melawan kalau mereka tidak mau jadi mangsa. Dan ini adalah hal yang gagal ditangkap oleh sekuel-sekuel serial Predator selama ini.
Tapi kejeniusan Prey tidak terbatas pada konsepnya. Ia sadar benar bahwa untuk membuat film yang seru, kita harus punya tokoh utama yang layak untuk didukung. Dari awal kemunculannya, Naru sangat mencuri perhatian. Ia mandiri, ia cerdas, ia tangkas. Dan yang terpenting, dia selalu belajar dari kesalahannya. Selama 100 menit penonton diajak untuk melihat gadis ngeyelan berubah menjadi seorang pejuang yang tangguh. Interaksinya dengan kakak, ibu dan terutama anjingnya yang menggemaskan juga membuat Naru sangat mudah untuk disayangi.
Skrip yang baik ini kemudian diterjemahkan dengan percaya diri oleh Trachtenberg. Kalau Anda menonton 10 Cloverfield Lane, Anda pasti tahu bahwa Trachtenberg mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mengatur tensi. Dia bisa membuat setting sederhana menjadi sebuah wahana yang seru untuk penonton ketakutan. Dalam Prey, Trachtenberg melakukannya sekali lagi. Ia berhasil merangkai adegan demi adegan yang menegangkan dengan setting yang lebih lebar.
Cara Trachtenberg menempatkan kamera sangat efektif. Perhatikan juga cara dia menggunakan fokus, membuat penonton benar-benar merasa seperti berada disana. Ditambah dengan CGI yang meyakinkan dan editing yang mantap, maka Anda akan menemukan kenapa Prey layak disebut entry Predator yang sangat baik.
Hampir semua aktor dalam film ini bermain dengan baik tapi tidak ada yang semencuri perhatian Amber Midthunder. Berperan sebagai Naru, Midthunder tahu benar bahwa hidup dan mati film ini ada di tangannya dan dia memainkan Naru dengan keyakinan diri yang tinggi. Saya bisa merasakan semangatnya keluar dari layar.
Prey dapat disaksikan di Disney+ Hotstar
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
Simak Video "Video: Perihal Review Kosmetik oleh Influencer yang Disorot Komisi IX DPR"
(nu2/nu2)