25 tahun sudah berlalu sejak Sidney (Neve Campbell), Dewey (David Arquette) dan Gale (Courtney Cox) melawan Ghostface di Scream, sebuah film slasher remaja yang saking ikoniknya dia membangkitkan lagi genre sejenis di dekade 90-an.
Scream tidak hanya sukses luar biasa secara finansial tapi ia juga menjadi salah satu film horor yang dikenang berkat selera humornya yang oke, kecintaannya dengan film horor itu sendiri dan barisan pemain yang dipilih dengan baik.
Setelah tiga sekuel (yang kualitasnya masih tetap bisa terjaga dengan baik), pembuat film Ready Or Not, Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett, menghidupkan lagi Ghostface dalam jilid kelima Scream (sayang sekali mereka tidak menyebut film ini dengan 5cream).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai pecinta Scream, sangat menyenangkan menyaksikan Scream yang terbaru ini langsung mengajak penonton untuk bernostalgia dengan opening yang bombastis.
Kali ini sasarannya adalah Tara Carpenter (Jenna Ortega), seorang adik sekaligus pecinta "elevated horror". Dia tidak menonton Stab (film fiksi dalam serial Scream yang didasarkan oleh petualangan Sidney dan kawan-kawan) karena film tersebut hanya berisi tusukan tanpa emosi yang berarti.
Anda tahu apa yang terjadi ketika Tara mengangkat telpon dari orang yang tidak dikenal dan bertanya apa film horor kesukaannya. Diserangnya Tara membuat Sam (Melissa Barrera) kembali ke Woodsboro bersama pacarnya Richie (Jack Quaid).
Setelah ia juga diserang oleh Ghostface, ia mencari tahu kenapa momok ini kembali lagi. Dia pun akhirnya bertanya kepada Dewey. Tidak butuh lama bagi Dewey untuk menghubungi Sidney dan juga Gale bahwa mimpi buruk dari masa lalu mereka datang lagi. Teror baru saja dimulai.
Yang paling asyik dari serial Scream adalah bagaimana film-film ini merayakan film horor. Tidak hanya ia membahas soal arketipal film-film yang sedang ia bahas, tapi film-film ini juga mencoba untuk merubah aturan itu.
![]() |
Dalam Scream 2 ia membahas soal bagaimana sekuel selalu berusaha untuk tampil lebih heboh dari film pertamanya. Scream 3 mengingatkan penonton bahwa biasanya korbannya off-limits alias karakter utama bisa mati. Dan Scream 4 yang dirilis 10 tahun lalu mengobrak-ngabrik konsep reboot yang saat itu sedang marak.
Menarik sekali melihat Scream yang terbaru (ditulis oleh James Vanderbilt dan Guy Busick) sekali lagi bermain-main dengan tema ini. Kali ini yang dibahas adalah bagaimana cara pembuat film meromantisasi nostalgia sebagai bahan jual.
Ketika ada seorang karakter yang menjelaskan tentang bagaimana franchise jadul hadir lagi dengan menyeret-nyeret pemain originalnya, saya tidak tahan untuk tertawa terbahak-bahak.
Secara plot, tidak ada yang mind-blowing dari Scream yang terbaru ini. Barisan karakter terbarunya (diramainkan oleh Mikey Madison, Dylan Minnette, Mason Gooding, Jasmin Savoy Brown dan Sonia Ben Ammar) tidak sekedar dari fotokopi dari karakter-karakter versi lamanya, hanya saja dengan versi lebih woke.
Karakterisasi mereka tidak ada bedanya dengan serial-serial remaja di Netflix. Tapi siapa yang peduli wong tugas mereka hanya sebagai manekin karena kita tahu mereka akan menghadapi nasib naas satu per satu.
Tentu saja bagian terbaik dari Scream adalah trio Sidney, Dewey dan Gale. Dewey cukup membuat Scream menjadi sangat menarik dan asyik karena ia yang paling memiliki "peran" dalam film ini.
Sementara itu Gale dan Sidney terasa sekali seperti "turis" meskipun kemunculan mereka dalam film ini cukup membuat penggemar aslinya (seperti saya) menjerit-jerit kesenangan.
Bettinelli-Olpin dan Gillett lumayan berhasil membuat kucing-kucingan yang menegangkan. Adegan-adegannya juga seru (meskipun Anda harus memaafkan LSF karena mereka memotong hampir semua adegan-adegan seru itu).
Tapi jelas sekali tanda tangan Wes Craven dalam film ini hilang (beliau meninggal beberapa tahun lalu). Craven selalu bisa membuat penonton deg-degan dengan penyusunan adegan dan blocking yang asyik. Duo sutradara film ini belum bisa menyamai kemampuan Craven dalam hal itu.
Meskipun begitu, kalian semua pecinta Scream akan tetap tertawa bahagia menonton film ini. Menebak siapa pelakunya adalah salah satu hiburan tersendiri.
Twist-nya akan membuat Anda kesenangan karena sekali lagi, serial ini selalu paham dengan perubahan budaya sinema. Scream berhasil tidak hanya menjadi pengobat rindu yang efektif tapi ia juga sebuah horor yang jempolan.
Scream dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(ass/ass)