Patrizia Reggiani (Lady Gaga) sudah bosan hidup miskin. Dia bekerja di bisnis keluarga dan hidupnya semembosankan suitan dari karyawan ayahnya. Keahliannya memalsukan tanda tangan ayahnya dengan meyakinkan hanya salah satu foreshadowing apa yang akan ia lakukan nanti. Reggiani tahu bahwa hidupnya akan berubah. Malam itu, di sebuah pesta yang ia bahkan tidak tahu siapa yang membuatnya, ia bertemu dengan laki-laki yang membuat ambisinya terbakar. Tidak ada yang sesial dari laki-laki ini. Perangainya lembut dan agak sedikit kaku. Tapi nama belakangnya memberi arti. Laki-laki itu bernama Maurizio Gucci (Adam Driver).
Tidak butuh waktu lama bagi Reggiani untuk menerkam Maurizio. Dia mencarinya, membuatnya jatuh cinta dan berhasil. Maurizio bahkan sampai pergi dari rumahnya setelah diusir oleh ayahnya, Rodolfo Guci (Jeremy Irons), yang menuduh bahwa Reggiani hanyalah cewek matre. Sekilas Reggiani kelihatan benar-benar cinta dengan Maurizio. Hidup sederhana, mencuci baju bersama dan jatuh cinta. Tapi kemudian satu telpon dari paman Maurizio, Aldo Gucci (Al Pacino), merubah segalanya.
Kalau Rodolfo mengurusi desain, maka Aldo mengurusi semua hal yang berhubungan dengan bisnis di Gucci. Ia melakukannya sendirian karena anaknya, Paolo Gucci (Jared Leto), adalah orang "paling medioker diantara semua medioker". Seperti elang, Reggiani mulai melakukan rencananya. Perlahan dengan pasti dia mendekati Aldo dan meyakinkan paman barunya itu bahwa ia dan suaminya lebih dari kompeten untuk mengurusi Gucci. Ini semua hanyalah awal dari sebuah tragedi gelap dan berdarah.
Ditulis oleh Becky Johnston dan Roberto Bentivegna dari buku karya Sara Gay Forden, House of Gucci adalah sebuah biopik yang lumayan melelahkan. Dengan durasi nyari tiga jam (158 menit), film ini seperti tidak tahu tone yang sedang ia usung. Apakah ini black comedy? Apakah ini soap opera? Atau apakah ini biopik serius?
Salah satu kenikmatan menonton film semacam ini adalah ketika penonton diajak masuk ke dalam psyche karakter utamanya sehingga kita bisa melihat jelas alasan-alasan apa yang ada di kepala mereka ketika mereka melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Penonton mungkin tidak akan bisa memaafkan kelakuan bejat mereka tapi setidaknya kita diberi kesempatan untuk berempati. Dalam House of Gucci, semua gambaran psikologi karakternya absen. Kita tidak pernah tahu kenapa dengan pasti kenapa Patrizia tiba-tiba berubah menjadi istri nriman ke istri yang bosan miskin dan rindu kehidupan mewah. Kita tidak pernah tahu kenapa Maurizio tiba-tiba sudah tidak cinta lagi dengan istrinya. Kita diberikan sugesti tapi penonton tidak pernah benar-benar diajak untuk melihat ke dalamnya. Ini sangat mengecewakan mengingat durasinya yang panjang seharusnya bisa digunakan untuk ini.
![]() |
Meskipun skripnya lemah, Ridley Scott sebagai sutradara tidak pernah membiarkan film ini menjadi anyep. Dia tahu dia mempunyai barisan pemain yang lebih dari sekedar menghibur. Dan di sinilah kekuatan utama House of Gucci. Dari semua pemain, Adam Driver dan Jeremy Irons memang tidak melakukan banyak hal karena karakter mereka memang paling "normal". Tapi sisanya? Mereka semua bersenang-senang.
Sementara Al Pacino berteriak-teriak heboh seperti biasanya dengan aksen Italia yang datang dan pergi, Jared Leto menggunakan kesempatan ini untuk menjadi karikatur dari karikatur yang sangat mencuri perhatian. Apakah akting Leto bagus atau terlalu berlebihan? Anda yang menilai. Tapi yang jelas, setiap kali ada Paolo di layar, House of Gucci tidak pernah membosankan.
Baca juga: House of Gucci: Harta, Tahta dan Lady Gaga |
Kemudian ada Lady Gaga. Setelah A Star Is Born, dunia akhirnya mengakui bahwa superstar yang satu ini lebih dari sekedar penyanyi yang pergi ke acara penghargaan dengan gaun yang terbuat dari daging. Dia adalah aktor serius. Dan dalam House of Gucci ia membuktikannya sekali lagi. Yang membuatnya sangat mentereng adalah bagaimana ia berakting. Lady Gaga sepertinya satu-satunya aktor di set House of Gucci yang tahu bahwa film ini "tidak seserius" itu. Aksen italianya mungkin terdengar aneh tapi perangai Lady Gaga selalu tepat sasaran. Kalau pun skripnya tidak berhasil membuat penonton untuk melihat masuk ke dalam psyche-nya, setidaknya Lady Gaga bisa menyampaikan semua ambisi, amarah dan kecemburuan dari sorot matanya. Akting Lady Gaga di House of Gucci memang jauh lebih over-the-top daripada A Star Is Born tapi bukankah materinya sendiri juga sama-sama over-the-top?
Dengan barisan lagu-lagu yang sangat tepat sasaran, House of Gucci sebenarnya bisa menjadi biopik paling seru tahun ini kalau saja editingnya lebih rapi dan skripnya lebih mantap. Tapi untuk sebuah hiburan, House of Gucci tetap sebuah tontonan yang sangat menyenangkan. Kapan lagi kita mendapatkan kesempatan menonton pertumpahan darah, kisah perebutan harta dan tahta, dimainkan oleh aktor-aktor Hollywood dengan rasa yang berlebihan? Dan untuk itu, saya berterima kasih kepada Ridley Scott.
House of Gucci dapat disaksikan di seluruh jaringan bioskop di Indonesia
Candra Aditya adalah seorang penulis dan pengamat film lulusan Binus International.
(dar/dar)