'A Family Man' (atau The Headhunter's Calling untuk beberapa negara) adalah sebuah drama keluarga yang dimaksudkan untuk membuat Anda berkaca-kaca kemudian meraung-raung di akhir filmnya. Plotnya pun dibuat dengan cukup generik: seorang pekerja keras bernama Dane Jensen (Gerard Butler) yang menaruh pekerjaannya di atas keluarganya.
Dane Jensen adalah seorang headhunter, pekerjaan yang menyita waktunya untuk duduk diam dan menggenggam telepon dan meyakinkan kliennya untuk close the deal. Secara finansial, Dane Jensen sukses luar biasa. Tapi tentu saja, di balik kesuksesan ini, Jensen tidak begitu akrab dengan anggota keluarganya. Istrinya, Elise Jensen (Gretchen Mol) bahkan mengungkapkan bahwa rumah mereka terasa seperti kos-kosan saja bagi Dane. Dane hanya numpang tidur kemudian kembali lagi berangkat kerja.
Di kantor, bos Dane Jensen, Ed Blackridge (Willem Dafoe) menjanjikan promosi jika Dane Jensen sanggup bersaing dengan saingannya, Lynn Vogel (Alison Brie). Di sanalah kerja Dane Jensen menjadi semakin gila-gilaan. Dunia Dane Jensen yang tadinya berwarna mendadak menjadi mendung ketika dia mengetahui anaknya, Ryan (Maxwell Jenkins) ternyata sakit-sakitan dan akhirnya diketahui bahwa dia menderita kanker. Kini Dane Jensen berada dalam sebuah situasi pelik di mana dia harus memilih: pekerjaan atau keluarga.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu saja bahkan setelah anaknya didiagnosa kanker, Jensen masih bertindak seperti biasanya yang menyebabkan seluruh anggota keluarganya mulai menjauh. Endingnya? Anda pun pasti akan bisa menebak dari sebuah film yang dimaksudkan untuk membuat Anda memeluk sanak saudara Anda begitu Anda sampai di rumah. Kemalasan dalam mencari sesuatu yang baru inilah yang membuat 'A Family Man' tidak mencuri perhatian.
Mark Williams, dalam debut penyutradaraan, ternyata melakukan hal yang sama sesuai dengan skrip. Setiap adegan yang dibuat, terutama sebelum katalis yang mengubah hidup Dane Jensen, terasa artifisial. Bagi Anda yang sering menonton film sejenis, pasti akan tahu bahwa semua ritme ini akan berubah begitu Dane Jensen mendapatkan kabar buruk. Kepalsuan itulah yang membuat 'A Family Man' agak susah dianggap serius. Film yang baik adalah film yang bisa memanipulasi Anda tanpa perlu mendikte. Mark Williams melakukan hal yang sebaliknya, setiap adegan yang terjadi, terutama dari babak kedua sampai ending, seperti dibisiki kata-kata, "Menangislah kamu."
Alfred Molina memang kurang meyakinkan sebagai bapak-bapak pengangguran, tapi sebagai profesional yang sudah malang melintang di berbagai film, ia tetap bisa menghembuskan nafas manusiawi ke dalam karakternya yang tidak berkembang. Gretchen Mol juga berhasil melakukan hal yang sama. Ia bisa membuat Anda frustasi atas absennya sang suami. Ketika ia menangis, tidak sulit untuk membuat penonton ikut terlibat dalam kesedihannya.
![]() |
Yang memang agak kurang adalah penampilan Gerard Butler sebagai kapten film ini. Penampilannya tidak buruk tapi juga tidak bisa dibilang spesial. Karakternya yang congkak sesungguhnya tidak ada bedanya dengan peran-peran mas-mas ganteng-tapi-berhati-mulia-walaupun-mulutnya-kasar dalam romantic comedy seperti 'The Bounty Hunter' atau 'The Ugly Truth'. Aksen Amerikanya yang agak maksa juga kadang membuat penonton menjadi gagal fokus.
'A Family Man' memang bukan film yang sangat jelek. Film ini mempunyai niatan yang begitu mulia. Dan di beberapa adegan, Williams berhasil untuk menyampaikan maksud filmnya, se-generik apapun adegannya. Jika Anda mencari tontonan yang menginspirasi yang gampang untuk dicerna, film ini bisa Anda coba. Tapi jika Anda mencari itu tapi masih terasa fresh dan original, A Family Man bukanlah film yang Anda cari.