Ditemani oleh Batou (Pilou Asbæk), tugas Major mengurangi tindak kriminal. Tubuhnya yang didesain untuk perang membuatnya menjadi senjata yang mematikan. Malam itu, Major dan Batou menyaksikan robot-robot geisha yang sengaja meretas informasi penting yang membawa mereka kepada sosok kriminal bernama Kuze (Michael Pitt).
Major dan Batou pun, bersama dengan divisi Section 9 lainnya, berusaha keras untuk mencari tahu siapa Kuze dan apa tujuan dia sebenarnya. Di tengah-tengah pencarian itu, Major menemukan bahwa dirinya mungkin sedang rusak. Ada organ dalam dirinya yang kerap menunjukkan visual-visual yang tidak seharusnya ada. Merasa sendiri dan kesepian, perjalanan menumpas kriminal tersebut membawa Major kepada isu identitas manusia dan sebuah rahasia yang lebih dalam tentang apa esensi dari manusia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai produk budaya yang begitu dikenal, banyak orang mengecam pemilihan Scarlett Johansson sebagai pemeran utama. Karakter Major dalam film ini memang sangat "major". Dia begitu mengesankan seorang femme fatale yang sanggup menyaru dengan lingkungannya lengkap dengan kemampuan bela diri yang luar biasa. Gerakannya loncat dari gedung sangatlah fenomenal. Semua orang berharap agar pembuat filmnya memakai aktris Asia untuk memerankan Major agar sesuai dengan karakter aslinya.
Scarlett Johansson jelas bukan orang Asia, namun secara emosi dia lebih dari mumpuni untuk memerankan karakter ini. Seperti yang ia tunjukkan lewat 'Her' (penuh emosi tanpa raga) dan 'Under The Skin' (tanpa emosi tapi mempunyai raga), Johansson membawa 'Ghost In The Shell' ke sebuah tontonan yang pas. Tanpanya, film ini akan menjadi proyek remake yang memuakkan. Ia membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi sosok yang tangguh namun juga rapuh tanpa banyak bicara.
Tapi, seperti proyek remake kebanyakan, film ini kehilangan poin utamanya: magis yang ada dalam animenya. Skrip yang ditulis oleh Jamie Moss, William Wheeler dan Ehren Kruger tidak mampu menggantikan ide revolusioner animenya. Karakter-karakternya pun berbicara dengan dialog yang terlalu menjelaskan demi memudahkan penonton untuk masuk ke dunianya.
Yang bisa diakui, film ini menawarkan visual yang luar biasa. Sutradara Rupert Sanders memang baru menyutradarai satu film layar lebar sebelum proyek ini. Seperti yang Anda bisa saksikan dari 'Snow White and the Huntsman', Sanders mungkin gagap dalam merangkai plot penuh emosi, tapi dia begitu andal melukis adegan dengan visual yang mencengangkan. Hal tersebut juga bisa Anda temukan dalam 'Ghost In The Shell'.
Dalam beberapa hal, Sanders sadar bahwa animenya terlalu populer dan dia tidak bisa menahan diri untuk mereka-ulang adegan-adegannya. Adegan bertarung di air, ketika Major berenang, atau adegan klimaks di ending begitu mirip dengan animenya. Dalam versi live action-nya ini, Sanders melukis kota dengan keindahan futuristik yang cemerlang. Dalam presentasi IMAX 3D, kemegahan 'Ghost In The Shell' terlihat semakin gagah. Kamera Jess Hall bisa menangkap hal sekecil butiran debu. Warna-warnanya pun begitu memabukkan.
Candra Aditya penulis, pecinta film. Kini tengah menyelesaikan studinya di Jurusan Film, Binus International, Jakarta. (mmu/mmu)











































