'Supernova': Sains, Spiritual, Selingkuh

'Supernova': Sains, Spiritual, Selingkuh

- detikHot
Selasa, 16 Des 2014 11:40 WIB
Supernova: Sains, Spiritual, Selingkuh
Jakarta - Kesuksesan 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck' yang diminati banyak penonton hingga menjadikannya salah satu film box-office tahun lalu membawa rumah produksi Soraya Intercine Films kembali untuk mencoba peruntungan yang sama. Kali ini, giliran novel kontemporer karangan Dewi Lestari yang diadaptasi ke layar lebar dengan formula yang lebih kurang serupa; dibuat dengan budget besar, diisi aktor-aktris muda nan rupawan, dan film ini masih dikemas dalam paket yang serba mewah.

Film dibuka dengan narasi perempuan yang kemudian kita ketahui sebagai Diva (Paula Verhoeven), salah seorang tokoh utama kita. Ia memberi semacam pengantar kepada kita, berceloteh soal teori keteraturan dan chaos, tentang bagaimana segala sesuatu di alam semesta saling terhubung, lalu memperingatkan bahwa kisah yang akan kita saksikan ini bakal mengguncang diri kita. Film mana coba yang berani menyatakan diri seperti itu, sungguh sebuah kepercayaan diri tak terperi bukan?

Memang bukan tanpa alasan, pembuat film ini rasanya sadar betul bahwa materi yang mereka punya dan sumber daya yang mereka berikan untuk film ini sedemikian besar hingga cukup untuk memukau kita. Bila bukan untuk ceritanya yang sarat makna, setidak-tidaknya ada banyak rentetan shot mahal di setiap adegan di sepanjang durasi film yang bakal memanjakan mata kita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adegan awal yang berlokasi di Amerika tak menjadikan film ini ganjen untuk berlama-lama di sana. Ini bukan sejenis film tamasya yang kini sedang marak digarap oleh sineas kita. Latar Amerika seefektif mungkin digunakan untuk mempertemukan dua tokoh kita, Dimas (Hamish Daud, 'Rectoverso') dan Reuben (Arifin Putra, 'The Raid 2'), pasangan gay yang baru saling kenal lalu tripping bareng di sebuah pesta. Lalu, bukannya teler dan meracau yang bukan-bukan, kedua orang ini malah mengaku sedang bermeditasi. Reuben bahkan merasakan ada badai serotonin yang berkecamuk di kepalanya.

Badai serotonin. Ya, terdengar ilmiah, pilihan kata tak biasa untuk menggambarkan pengalaman euforia, kegembiraan yang teramat luar biasa, ekstasi. Diangkat dari novel yang konon berhasil mempertemukan roman dengan sains, nyatanya kisahnya sendiri lebih terasa sebagai sintesis antara roman dengan mistisisme Timur; sains hanya berakhir pada penggunaan istilah saja, menjadikannya sinonim yang keren untuk kata-kata yang sudah biasa kita dengar sehari-hari.

Kita mungkin terpukau mendengar Reuben mengatakan "badai serotonin", namun sejurus kemudian, Reuben dalam perbincangannya dengan Dimas, menyatakan pula soal dirinya yang terlepas dengan masa lalu, tak menghiraukan segala hal di dunia baik yang telah terjadi maupun yang bakal terjadi. Ia mengatakan, segala hal yang pernah ia lewati sebagai debu yang tak berarti lagi. Ia tak menghiraukan apa-apa kecuali dirinya yang pada saat itu tengah dilanda "badai serotonin". Dalam pemahaman zen apa yang dialami Reuben adalah samadhi, pencerahan kesadaran penuh yang membuatnya melebur total dengan semesta. Zen memahami bahwa "badai serotonin" yang dialami Reuben, pengalaman orgasmik dari seks atau meditasi memiliki daya mencerahkan yang dapat membuat ego kita melebur hingga tak ada lagi "kita" selain keberadaan, harmoni dengan semesta.

Semua itu memang terdengar seperti bualan, a major bullshit, tapi persis seperti apa yang dikatakan Reuben kepada Dimas, bagi mereka yang menganggap tripping sekedar teler, ada kesempatan berharga yang tersia-siakan, kesempatan transendental yang bila dialami serta dipahami dapat mengubah seseorang menjadi diri yang baru, seseorang yang terlahir kembali. Namun, pertanyaannya: apakah wacana tadi jadi sesuatu yang lantas bakal diobrolkan seusai menonton film ini? Rasa-rasanya isu seksualitas antara Reuben dan Dimas yang gay bakal jadi lebih seru untuk dirumpikan oleh sebagian besar penonton. Setidaknya, saat saya menyaksikan film ini seisi bioskop kompak tertawa geli-geli-jijik menyaksikan kedua pria yang dimabuk cinta itu.

Tapi, mari kita tinggalkan dulu Reuben dan Dimas yang sedang asyik kasmaran. Kini kita ketemu dengan Ferre (Herjunot Ali, 'Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck'), eksekutif muda kaya raya yang menjalin hubungan terlarang dengan Rana (Raline Shah, '5 CM'), yang sudah bersuami. Harusnya kisah Ferre dan Rana bisa jadi sesuatu yang paling menohok kesadaran kita, ketika pernikahan itu tak selalu menjamin kebahagiaan yang hakiki. Nah, di saat seseorang tersadar dari ketakbahagiaannya dalam pernikahan, lantas bolehkah bila ia mencintai orang lain? Bagi orang awam --atau dalam istilah yang dipakai Diva untuk menyebut seorang pelanggannya "orang kebanyakan"-- tentu selingkuh hal yang tak pantas dilakukan.

Sampai di situ, saya teringat Osho, guru dari India yang diyakini banyak muridnya sebagai avatar, atau majalah TIME yang tersohor itu pernah menyebutnya "the most ’dangerous person’ since Jesus Christ". Syahdan, datang seorang lelaki menemui Osho, ia bercerita bahwa istrinya berselingkuh dan ia ingin bunuh diri saja. "Aku percaya padanya dan ia mengkhianatiku!" tangis lelaki itu. Lalu Osho berujar, "Apa maksudmu dengan mempercayainya? Bila aku berada di posisimu maka apa yang kumaksud dengan mempercayainya adalah juga berarti mempercayai kebebasannya, mempercayai intelijensianya, mempercayai kapasitasnya untuk mencintai. Bila ia mencintai orang lain itu tak masalah bagiku. Kalau kamu lantas sakit karenanya itu bukan lantaran karena cinta tapi karena kamu cemburu. Itu masalahmu, bukan masalah istrimu."

Tapi, lihat apa yang terjadi di layar. Adegan saat Rana menjerit di dalam hati meminta pertolongan Ferre untuk menyelamatkannya dari "perkosaan" yang dilakukan suaminya sendiri, alih-alih jadi bahan renungan malah jatuh jadi momen komedik. Padahal sutradara Rizal Mantovani cukup telaten mengemas adegan tadi sesuai intensi yang diharapkan. Hanya saja isu yang diangkat memang terasa asing dan tabu; rasa-rasanya sulit bagi "orang awam" untuk menerima sikap Rana yang selingkuh dari suaminya sendiri, terlebih suaminya lelaki yang baik-baik dan juga saleh.

Mengadaptasi novel "roman ketemu sains" ini memang bukan perkara mudah. Dalam bentuk teks ia gampang untuk dibaca, diresapi, dipahami, lalu direnungi. Ketika ia diadaptasi ke dalam medium lain, maka dalam setiap "terjemahan" pastilah ada partikelnya yang hilang. Dalam bentuknya yang baru ia tak mungkin utuh lagi. Nampak sekali penulis skenario Donny Dhirgantoro dan Sunil Soraya, juga editor Kelvin Nugroho dan Sastha Sunu tak cukup lancar menerjemahkannya. Di banyak bagian saya merasa seperti tengah mendengarkan diktean novel dari seorang asisten dosen yang cantik di sebuah kelas sastra; agak menjemukan dan terkadang membingungkan pada saat yang bersamaan. Ketika bel berbunyi tanda kuliah telah usai, sang asdos belum juga beranjak dari hadapan kita. Untung saja ia cantik. Begitu pun visual film ini, tersaji dengan begitu menghipnotis.

Bagian lain yang tak kalah membingungkan terjadi pada adegan saat Ferre patah hati lalu bermaksud untuk bunuh diri. Reuben menganalogikannya dengan teori Paradoks Kucing SchrΓΆdinger; Ferre menembak dirinya, namun ia tak mati, malah ia sepertinya terlahir kembali menjadi orang yang lebih bahagia dari sebelumnya. Bukan teori kucing-kucingannya itu yang saya tak mengerti, tapi film ini saya kira kurang meyakinkan mengaitkannya ke dalam cerita. Di awal kisah, saat Ferre diwawancarai Rana soal mengapa ia belum menikah, dengan amat lantang Ferre menyatakan bahwa dirinya punya kesanggupan untuk bahagia secara individu tanpa perlu bergantung terhadap orang lain. Ini serupa sikap dari seorang avatar, seorang Buddha, seorang master zen yang tercerahkan, menjadi paradoks tatkala ia di kemudian hari patah hati bak orang pada umumnya.

Masih kurang bingung? Tunggu saja Ferre ternyata disadarkan oleh Diva, sosok avatar sesungguhnya yang diniatkan kisah film ini. Sayangnya penulisan tokoh Diva kurang cermat, ditambah pembuat film gagal pula mengintegrasikan sosoknya ke dalam semesta cerita. Aktris Paula Verhoeven tak berbuat banyak pula mengidupkan tokohnya; ia tak tahu mana dialog sinis, mana dialog kasual. Padahal tokoh yang ia mainkan serupa filsuf abad baru, ibarat Karl Marx dan Buddha yang terperangkap dalam satu tubuh. Kesimpulannya, di luar segala istilah sains ataupun spiritual yang terkandung di dalamnya, film ini sebagai tontonan amatlah menghibur, setidaknya secara bahasa gambar, film ini jelas memberi suguhan yang amat melenakan. Untuk Anda yang sedikit mengalami turbulensi usai menyaksikan film ini, ada baiknya untuk membaca ulang novelnya saja, lalu bisa melanjutkan membaca 'Zarathustra'-nya Nietzsche, buku-buku Bertrand Russel, Stephen Hawking, Osho, Freud, Jung....

Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia

(mmu/mmu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads