Lars Von Trier lewat 'Antichrist' membalikkan kisah penciptaan alam semesta, memelintir kisah Adam dan Hawa, hingga berani merekonstruksi nilai-nilai ajaran Yesus dalam konstelasi antitesis. Apa yang terjadi dalam peristiwa 'Genesis' ia jungkirbalikkan. Persis seperti judulnya, 'Antichrist' adalah film tentang anti Kristus, anti cinta, anti welas asih. Kisahnya dituangkan dalam tuturan horor yang pada level tertentu memang harus diakui terasa begitu artistik. Namun demikian, filmnya dipenuhi dengan kekerasan (demi kekerasan itu sendiri) dan menurut saya, penyampaian kisahnya terasa "jahat".
Sudah banyak cerita-cerita dalam film, prosa, puisi, atau dalam bentuk apa pun, terinspirasi dari kisah-kisah yang tertuang dalam kitab-kitab suci. Di sini yang saya maksudkan bukanlah kisah-kisah adaptasi langsung ataupun pengisahan ulang tentang cerita Nabi Nuh yang menyelamatkan kehidupan dari bencana, misalnya. Atau, kisah hijrah Nabi Muhammad; bukan yang semacam itu. Melainkan, kisah baru dalam jalan cerita yang baru, diisi oleh tokoh-tokoh baru, tapi pada dasarnya kisah itu bersumber dari potongan-potongan ayat yang tertuang dalam kitab suci (katakanlah Injil atau Al Quran). Namun, semua itu disampaikan secara samar lewat simbol-simbol, metafora, dan untuk memahaminya diperlukan kepekaan lain; kita tak sekedar melihat apa yang terlihat, tapi juga meresapi hingga timbul pemahaman ataupun interpretasi baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada pula film seri 'The Chronicles of Narnia', 'Harry Potter', 'The Matrix' dan masih banyak lagi yang lainnya, juga berkisah secara simbolis tentang kisah-kisah biblikal. Kita sah-sah saja memandangnya sebagai murni tontonan eskapis, melabelinya dengan sebutan film aksi, petualangan, drama keluarga, atau label-label yang lainnya. Tapi, bilamana kita mendapatkan pesan tersembunyi dari sederet film tadi, niscaya pengalaman menonton kita jadi terasa jauh lebih menyenangkan.
Lalu apa kaitannya hal-hal tadi dengan 'Toilet Blues'? Tunggu dulu, sebelum sampai ke sana, saya ingin mengajak Anda untuk membicarakan puisi karya WS Rendra yang berjudul 'Nyanyian Angsa'. Diakui oleh sutradara Dirmawan Hatta ('Optatissimus', 'Kau dan Aku Cinta Indonesia') bahwa film pertama yang disutradarainya ini terpengaruh oleh puisi tersebut. Dalam puisi itu, Rendra bercerita tentang seorang pelacur bernama Maria Zaitun yang tengah sakit, dipenuhi borok di sekujur tubuhnya, menua, hingga ia diusir oleh mucikarinya sendiri karena dianggap sudah tak produktif lagi.
Maria Zaitun pergi ke sana ke mari mencari pertolongan, namun masyarakat, dokter, hingga pastor di sebuah gereja bahkan enggan untuk menolongnya; mereka menganggapnya hina dan tak layak untuk diselamatkan. Hingga sampailah pada bait ketika ia bertemu dengan seorang lelaki tampan di pinggir kali. Diceritakan malam itu si lelaki tampan mencumbunya, melepaskan kutangnya, dan mereka bercinta di bawah sinar bulan. Yang menarik, Rendra dalam 'Nyanyian Angsa' menyebut si lelaki memiliki tanda luka di kedua tapak tangannya, pada lambung kiri, dan luka di kedua tapak kakinya. Memang tak disebutkan bahwa lelaki itu bernama Yesus, namun siapa yang bisa mencegah bilamana pembaca meyakini bahwa si lelaki adalah Sang Juru Selamat, dan kemudian menafsirkan puisi itu sebagai kisah Yesus yang mengasihi Maria Magdalena?
Berangkat dari itu, seperti halnya Rendra --seniman yang selalu menyumbangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan demi kemanusiaan-- Dirmawan Hatta memilih medium film, membuat 'Toilet Blues' untuk tujuan yang (boleh dikatakan) serupa.
Anjani (diperankan dengan menawan oleh Sherly Anggraini), cewek pemberontak (digambarkan secara stereotif lewat potongan rambut pendek, tatoan, dan merokok) pada satu hari kabur dari rumahnya. Ia pergi mengikuti Anggalih (Tim Matindas, 'Sinema Purnama') yang sedang dalam perjalanan ke sebuah seminari Katolik. Anggalih hendak menjadi pastor, membuat ayahnya bangga, dan terutama, agar bisa menyelamatkan orang-orang berdosa untuk masuk ke surga. Anjani risau, tak terima sahabatnya semenjak dari kecil itu bakal pergi meninggalkannya. Terlebih, ia menaruh hati pada Anggalih. "Kenapa bukan gue aja sih satu-satunya orang yang elo selametin?" Rengeknya kepada Anggalih. Dan Anggalih hanya terdiam, ia murung seakan menanggung beban berat di pundaknya.
Anggalih dilanda dilema, jauh di lubuk hatinya, ia pun memiliki hasrat untuk berkasih dengan Anjani. Pada satu adegan, di pinggir sebuah telaga, Anjani dan Anggalih berciuman, mereka berangkulan saling melumat bibir dengan penuh hasrat. Ah, ternyata adegan itu cuma lamunan Anggalih saja. Tapi, di sinilah triknya. Adegan tersebut seakan menawarkan sebuah wacana bahwa menjadi seorang pastor, atau ulama, tak membuat seseorang terbebas dari hasrat maupun godaan. Lalu yang biasa dilakukan untuk menyikapinya adalah menutupi hasrat itu, merepresinya, dan kemudian bersembunyi di belakang topeng kemuliaan. Atau, beranikah menerima segala godaan itu secara naluriah, lalu menanggalkan topeng mulia yang sebenarnya penuh kepura-puraan itu?
"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya Anggalih kepada cewek asing yang ia temui ketika ia kemudian telah berada di sebuah motel. Si cewek cuek saja. Dan, memang tak ada yang bisa ia bantu. Ia bahkan tak bisa membantu seorang penjual sepatu keliling yang pada tengah malam menggedor pintu motel, memintanya untuk membeli sepasang sepatu darinya. Sebelum pamit, si penjual sepatu tanpa malu-malu meminta segelas air putih. Mungkin, inilah kali pertama Anggalih membantu orang lain (walau ini sebentuk reaksi alih-alih aksi), bukan dengan mendoakan agar si penjual sepatu dan dagangannya diberkati Tuhan, tapi dengan segelas air yang bisa menghapus dahaga. Ironis, berkali-kali Anggalih menawarkan bantuan kepada orang-orang, bertanya apa yang ia bisa bantu untuk mereka, namun ia tak mawas diri bahwa mengerjakan hal-hal kecil seperti memberi minum kepada seorang tamu adalah juga tindakan menolong sesama; dan, itu jauh lebih kongkret ketimbang bertanya "apa yang bisa saya bantu?"
Film ini tak melulu bercerita soal Anggalih dan Anjani saja, ada juga suara-suara dari orang-orang di sekelilingnya, ya seperti secuplik kisah si penjual sepatu tadi. Ketika satu waktu Anggalih dan Anjani mampir di sebuah warung, kamera malah memberi fokus kepada tokoh lain yang tak bernama; seorang sopir truk dan kekasih gelapnya. Pada adegan ini, si sopir truk dan kekasih gelapnya diberi panggung, kita bersama Anggalih dan Anjani ikut mengintip dan menguping apa yang kedua orang itu bincangkan, membuka mata kita akan hal-hal yang seringkali kita acuhkan, atau bahkan sering kita sembunyikan dalam kemunafikan.
Juga, di awal film kita diperlihatkan pada sebuah adegan seorang penjaga palang pintu kereta membacakan surat Al Fatihah untuk seorang korban yang tewas tertabrak kereta; ia tergeletak begitu saja di pinggir rel, setelah didoakan kemudian jasadnya ditutupi dengan sebilah daun pisang. Anjani dan Anggalih ada di sana, menyaksikan apa yang diperbuat oleh si penjaga palang pintu kereta, lalu si mayat ditinggalkan begitu saja. Mengusik (kemanusiaan), bukan?
Bila kita membaca puisi 'Nyanyian Angsa', sebagai puisi, karya Rendra yang satu ini bisa dibilang cukup unik. Tuturannya sangat luwes, setiap kalimat dalam baitnya tak disembunyikan lewat simbol-simbol, malah puisinya terasa sekali seperti sebuah cerpen. Kita nyaris tak membutuhkan dampingan seorang dosen sastra untuk benar-benar memahami makna puisi tersebut. Cerita dalam puisi 'Nyanyian Angsa' memiliki "plot" yang mudah diikuti, awal hingga akhir diceritakan dengan runut. Dalam bandingan itu, 'Toilet Blues' juga tak kalah uniknya; alih-alih bercerita lewat gaya konvensional, film ini malah tampil bak puisi tradisional, plotnya tersusun atas baris-baris kalimat penuh metafora dalam bait-bait yang tampil secara episodik.
Yang paling menghubungkan puisi 'Nyanyian Angsa' dengan 'Toilet Blues' adalah sebuah episode ketika Anggalih bertemu dengan seorang pelacur di kamar motel tempat ia menginap. Si pelacur habis diperkosa dan dianiaya oleh tiga pemuda sekaligus. Anggalih tak mampu mencegah ketiga pemuda itu untuk tak menyakiti si pelacur; ia mengetahuinya namun diam saja tak mampu atau tak mau berbuat apa-apa, hingga barulah pada akhirnya setelah ketiga pemuda itu pergi, ia menghampirinya, "Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanyanya sambil membuka pintu kamar. Beberapa saat kemudian keduanya rebahan di atas ranjang yang sama, Anggalih (seorang yang bercita-cita jadi pastor) merangkulnya, mencumbunya sembari melepas kutangnya. Si pelacur terlihat bahagia, ada rona merah di pipinya, seperti Maria Zaitun dalam 'Nyanyian Angsa', ia mendapatkan apa yang selama ini ia idam-idamkan; diperlakukan layaknya oleh seorang kekasih (atau mempelai).
Di pengujung film, dalam satu adegan favorit saya, tokoh-tokoh di film ini berkumpul di depan sebuah toilet, ada Anjani, Anggalih, si sopir truk dan kekasih gelapnya, hadir pula pemuda-pemuda yang menyakiti si pelacur, dan si penjaga pintu palang kereta (yang ke mana-mana selalu menenteng lampu petromaks), mereka akur seperti sedang piknik dan makan bersama. Menyaksikan adegan tersebut, mau tak mau mengingatkan kita pada "perjamuan terakhir", dan hal ini dipertegas oleh adegan Anggalih yang membasuh kaki Anjani, layaknya Yesus yang membasuh kaki para rasulnya pada malam perjamuan terakhir sebelum ia disalibkan. Membasuh kaki merupakan tindakan simbolis tentang rasa ketulusan, kesetaraan, welas asih dalam mencinta dan ungkapan pemeliharaan serta pengampunan. Atau, dalam konteks yang ditawarkan oleh 'Toilet Blues': kemanusiaan itu jauh lebih mulia, jauh lebih kongkret ketimbang melakukan ritual agama sekalipun.
'Toilet Blues' (sebagai film) lebih arthouse ketimbang 'Antichrist'-nya Lars Von Trier. Namun ini yang paling penting: walau sama-sama "nyeleneh", mempertanyakan peran agama serta memberi diskursus terhadapnya, film ini bercerita lewat cara yang tidak jahat (mean-spirited). Di sepanjang film, ada benih cinta yang ditabur, benih yang kemudian mekar menjadi bunga. Kita, kalau mau, bisa ikut menabur benih yang sama, membuat taman jadi lebih indah dan harum penuh bunga bermekaran.
Shandy Gasella pengamat perfilman Indonesia
(mmu/mmu)











































