Sutradara Martin Scorsese memang tak tiap tahun merilis film-film karyanya, butuh proses yang cukup lama untuknya menghasilkan sebuah karya. Bahkan karya terbarunya yakni Killers of the Flower Moon (2023) butuh waktu hampir lima dekade atau 49 tahun untuk diwujudkan menjadi sebuah film.
Hal ini diungkapkannya dalam sebuah waancara bersama Collider baru-baru ini di mana ia menceritakan ide dari film tersebut muncul pada tahun 70-an. Ia pun memilih untuk menunda eksekusi terhadap konsep tersebut karena merasa dirinya masih terlalu muda dan masih cukup sensitif bagi masyarakat Amerika Serikat kala itu. Dan pada 2017 sebuah buku dari Eric Roth pun dirilis dengan nama Killers of the Flower Moon yang mengakomodir ide miliknya itu.
"Aku rasa itu muncul pada '74 di mana aku menghabiskan waktu sehari atau dua hari bersama dengan suku (Sioux) Oglala Lakota di Dakota Selatan. Dan kala itu aku sedang terlibat dalam sebuah proyek yang tak terlalu berhasil. Itu adalah pengalaman yang membuatku trauma dan aku masih sangat muda sehingga tak mengerti banyak hal."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aku tak paham soal dampaknya dan kemiskinan (yang terjadi kala itu). Aku tumbuh besar dalam lingkungan miskin dalam hal berbeda, yang mana para pria kelas pekerja dan wanita di Elizabeth Street dan Mott Street. Jadi aku memang tumbuh di lingkungan miskin, namun aku tak pernah melihat hal seperti ini dan aku tak bisa menjelaskan itu semua, itu benar-benar tanpa harapan," kenangnya.
Killers of the Flower Moon sendiri menggabungkan kemiskinan yang dikaitkan dengan pemerintah Amerika Serikat yang seolah jadi aib dalam sejarah mereka serta ketidakadilan terhadap masyarakat asli atau suku asli di sana. Hal seperti ini yang membuat Martin Scorsese butuh banyak waktu dan juga keberanian untuk mengangkatnya menjadi sebuah film.
![]() |
"Aku bertemu dengan suku asli Amerika di LA kala itu, kita pun bicara soal beberapa proyek dan aku melihat sebuah fantasi mengagumkan yang kita idamkan saat masih kecil meskipun ada beberapa hal-hal baik atau pun kurang baik yang disuguhkan di film Hollywod seperti Broken Arrow, Drum Beat, Apache dan Devil's Doorway yang memihak pada suku asli," tuturnya.
"Dalam semua film itu aktor kulit putih Amerika masih memerankan karakter suku asli. Namun jalan ceritanya lumayan berimbang tak hanya menghadirkan keadilan di sisi mereka tapi juga penghormatan atas kebudayaan, seperti yang ditampilkan di Broken Arrow, ku rasa," tambahnya.
Film yang baru tayang ini menyuguhkan kisah tentang misteri pembunuhan terhadap anggota suku Osage pada 1920 di Oklahoma yang berhubungan dengan sebuah kilang minyak. Kasus ini pun diselidiki oleh FBI dan mengungkapkan perlakuan diskriminasi pada suku asli yang berujung pada pembunuhan tersebut.
(ass/dar)