Merdeka menjadi satu kata yang diidam-idamkan oleh banyak orang. Kata tersebut juga yang kerap dimaknai lebih dalam di momentum perayaan kemerdekaan Republik Indonesia.
Berkaca pada sejumlah kejadian sebelumnya, ternyata masih banyak kasus yang membelenggu kreativitas para sineas di Tanah Air. Lantas apakah Indonesia benar-benar sudah merdeka dalam berkarya? Berikut jawaban mereka:
Joko Anwar
Sutradara Pengabdi Setan 2: Communion ini mengungkapkan ada beberapa tindakan represif dari pejabat publik dan masyarakat yang membuat para sineas mengurungkan ide-idenya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persekusi publik jadi satu alasan mereka lebih menimbang-nimbang kembali ide hingga adegan yang akan ditampilkan sebagai konsumsi publik.
"Berkarya di film belum sepenuhnya merdeka. Masih banyak tema atau cerita yang kami hindari dalam membuat film. Karena kalau dibuat, mungkin akan dapat represi, bukan cuma dari pihak-pihak tertentu yang punya kekuasaan, tapi dari masyarakat," ungkap Joko Anwar.
Meski begitu Joko Anwar bersyukur dengan lahirnya banyak wadah baru salah satunya adalah layanan OTT yang bisa mengakomodir ide tersebut.
Mereka dinilai lebih demokratis dan mungkin jadi sarana baru para sineas untuk menampilkan karyanya tak hanya di dalam negeri tapi juga di luar.
BW Purba Negara
Sutradara asal Yogyakarta, BW Purba Negara menyebutkan saat ini iklim industri perfilman di Indonesia sedang menggembirakan.
Pikiran pesismis melihat geliat OTT yang begitu tumbuh subur di sini, ternyata tetap membuat para penikmati bioskop memilih menyaksikan film-film di layar lebar.
"Dulu saya pikir perfilman Indonesia pasca pandemi hanya akan didominasi oleh film yang tayang di platform OTT, tetapi ternyata melihat banyaknya film Indonesia yang menembus jutaan penonton di bioskop, itu membuat saya sadar bahwa ternyata perkiraan saya dulu adalah keliru."
"Perkembangan ini tentu sangat menggembirakan. Apresiator film Indonesia ternyata meningkat besar sekali. Kepercayaan publik terhadap kualitas film Indonesia tentu membuat pala filmmaker semakin percaya diri untuk terus berkarya semakin baik lagi," paparnya.
Berbicara soal merdeka, sutradara Romantik Problematik itu pun menyebutkan jika hal itu adalah pilihan. Ia pun menganalogikan jika pembuat film memiliki pilihan untuk mengikuti pasar atau idealis, namun dua hal tersebut ternyata bisa dikawinkan.
"Salah satu contoh film yang akhir-akhir ini mendapatkan respon penonton yang baik, sebut saja misalnya 'Pengabdi setan' adalah jenis film yang memiliki capaian kualitas estetik yang baik, dan bukan jenis film yang sekedar mengekor selera pasar. Artinya dengan pilihan estetik yang kuat dan strategi yang tepat, pasar itu bisa diciptakan. Dan pembuat filmnya tetap memiliki kemerdekaan dalam proses penciptaan," ujarnya.
Tak hanya itu saja, adapula film idealis yang ternyata mendapatkan apresiasi besar di kancah internasional.
"Sebut saja misalnya film Before now and Then, Dancing Colors, Autobiography, dan lain sebagainya. Film-film tersebut adalah contoh bukti kemerdekaan berkarya dari para kreatornya," tuturnya.
Ia pun memiliki pesan tersendiri untuk para pembuat aturan agar lebih memperketat dan melindungi hak cipta para pembuat film. Meski sudah jadi penyakit lama, nyatanya pembajakan masih saja marak dan menjamur hingga saat ini.
"Keseriusan pemerintah untuk memberantas pembajakan film masih sangat kurang. Banyaknya pembajakan film Indonesia di berbagai situs ilegal jelas sangat merugikan industri film kita," pintanya.
Di halaman selanjutnya, ada pendapat Manoj Punjabi.