Koreografer sekaligus penari lengger lanang asal Banyumas, Rianto (40) mengapresiasi film Tarian Lengger Maut yang sudah tayang di bioskop-bioskop di Indonesia. Rianto yang mengaku sudah menonton film tersebut sekitar dua hari lalu itupun mengucapkan terima kasih atas karya film yang mengangkat kesenian tari lengger yang merupakan kesenian asli Kabupaten Banyumas.
"Aku terus terang saja mengapresiasi film ini sebagai rasa terima kasih, mereka sudah mau untuk mengangkat kesenian lengger," kata Rianto saat dihubungi detikcom, Kamis (20/5/2021) malam.
Tetapi, menurut Rianto yang sudah memperkenalkan tarian lengger ke puluhan negara, hingga kisah hidupnya diangkat oleh sutradara Garin Nugroho, dalam film Kucumbu Tubuh Indahku yang sempat meraih piala Citra dan menjadi wakil Indonesia dalam Piala Oscar memiliki catatan dalam film yang mengangkat tentang lengger Banyumas ini, dia menganggap jika film ini kurang mendalami tentang bentuk kesenian lengger itu sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi catatan penting adalah bahwa film ini masih banyak yang harus didalami lagi, tentang bentuk kesenian lengger dari filosofi dan dari para pelakunya, dan saya menyayangkan ketika mereka melibatkan katanya 70 pelaku seni di Banyumas. Tetapi kelihatannya penyampaian dalam film ini tidak maksimal, bahasa dari para pelaku dalam kesenian lengger ini belum sampai pada cerminan kehidupan kesenian lengger ataupun pelakunya," ujarnya.
Dia menjelaskan, usai dirinya menonton film tersebut, Rianto memiliki pandangan secara jujur jika film Tarian Lengger Maut itu masih jauh dari ekspektasinya terkait kesenian lengger yang sesungguhnya. Meskipun di dalam film tersebut menyajikan tentang tarian lengger Banyumas. Bahkan tertulis tarian, sehingga ketika disebut tarian otomatis adalah sebuah bentuk kesenian.
"Sebenarnya untuk film kemarin, tarian lengger maut ini diluar dari ekspetasi, artinya ketika saya melihat filmnya, dari awal itu jauh dari kesenian lengger sebenarnya. Walaupun di situ ada pertunjukan lengger, tetapi dalam judulnya itu kan tarian lengger maut, tetapi di dalamnya, intinya bukan menceritakan tentang kesenian lengger maupun tariannya," ucapnya.
![]() |
Film ini, lanjut dia lebih menceritakan tentang ambisi dokter yang ingin mengumpulkan jantung warga desa yang terbayang pada trauma pembunuhan oleh ayahnya terhadap anggota keluarganya yang difiksikan. Settingnya pun di Desa Pager Alas yang sebenarnya itu tidak ada nama desa tersebut di Banyumas. Kemudian digambarkan dari sisi efek sinematografinya tidak menggambarkan cerita pada tahun 1997-an, tetapi lebih pada tahun 1970-1980an, di mana pada masa itu seharusnya kehidupan masyarakatnya masih tergolong miskin, sehingga perlu riset lebih dalam lagi.
Selain itu, ketika berbicara tentang indang atau dalam dunia lengger yang dipercaya sebagai jiwa dari roh lengger yang merasuk kedalam tubuh penari, dia mengatakan jika indang tidak bisa berfungsi sebagai maut. Tetapi bahwa lengger ini adalah peleburan spirit dari leluhur yang masuk ke dalam tubuhnya untuk memperkuat tubuhnya dalam menari, dan pengabdian tubuhnya sebagai penari lengger.
Rianto yang terus memperkenalkan tarian lengger ke berbagai negara, lulusan S1 ISI Solo yang saat ini berdomisili di Jepang dan mendirikan Dewandaru Company ini menyebut jika dalam film tersebut belum pas dari seni dan budaya lengger Banyumas itu sendiri. Di mana dalam film tersebut, tertuang pada adegan ending terakhir ketika indang berperan saat penari lengger itu diikat, ditangkap dan seperti ingin diambil jantungnya, namun dokternya itu malah mengambil jantungnya sendiri. Tentu saja kurang tepat.
"Karena menurut saya setiap penari lengger memiliki laku hidupnya masing-masing, dan itu terjadi tranformasi ritual dalam tubuh dan keseniannya," ujar Rianto.
Meskipun jika film ini dianggap sebagai cerita fiksi dan terlepas dari seni dan kebudayaan serta sejarah lengger itu sendiri, dirinya tetap menganggap jika sudah seharusnya sutradara serta penulis naskah ini dapat melihat dasar tentang kesenian lengger yang sebenarnya. Riset ini penting dan perlu pemahaman budaya yang panjang, sehingga dalam film bisa bisa memiliki sisi positif bagi kesenian lengger, karena banyak melibatkan pelaku seni lengger di film ini.
Pasalnya, tarian lengger sendiri sudah ada dalam kebudayaan Banyumas sejak ratusan tahun lalu. Tarian ini tersirat dalam buku Serat Centhini pada abad ke-17, dan kesenian ini sudah turun temurun sejak nenek moyang dan saat itu tarian lengger ditarikan oleh penari laki-laki sebagai bentuk kesenian rakyat desa ketika mereka merayakan panen, atau upacara bersih desa.
"Kalau saya berpendapat bahwa kalau misal mau difiksikan memang harus ada sumber dasar, agar supaya fiksi ini juga tetep bernilai positif untuk kebudayaannya itu sendiri. Jadi tidak melukai leluhur," ucapnya.
![]() |
Dia mengungkapkan jika memang ingin membuat film yang kontroversial harus ada dasar yang kuat. Bagaimana bentuk kesenian lengger ini memang harus ditampilkan secara utuh dalam bentuk film, agar pemahaman dari masyarakat tidak disalah artikan.
"Sebelumnya saya mohon maaf kalau misalnya saya salah, dan ini sebuah kritikan yang mungkin bisa membuat masyarakat memahami. Ini penting untuk diketahui juga," ujarnya.
(doc/doc)