Nama Darren Star di pertelevisian Hollywood sudah menjadi legenda lewat serial-serial fenomenal seperti Melrose Place, Beverly Hills 90210 (dan berbagai pengembangan waralabanya), Grosse Pointe, dan tentu saja, Sex and the City. Netflix yang saat ini mendominasi di pasar konten daring global tentu tak mau melewatkan kesempatan untuk menggandengnya.
Hasilnya adalah Emily in Paris, sebuah serial yang dibintangi Lily Collins (pemeran Snow White di Mirror Mirror, Clary di The Mortal Instruments: City of Bones, dan karakter titular di Love, Rosie). 'Menjual' keindahan dan romantisme Paris di tengah suasana serba terbatas dan tak pasti akibat pandemi Coronavirus membuat Emily in Paris menjadi sajian ringan yang menarik untuk disimak.
Secara garis besar, serial yang masih berlangsung satu musim terdiri dari delapan episode masing-masing berdurasi sekitar setengah jam ini mengangkat pengalaman seorang konsultan pemasaran digital asal Amerika Serikat, Emily (Lily Collins), yang mendadak diutus oleh perusahaannya untuk diperbantukan di agensi pemasaran rekanan di Paris. Tugasnya adalah memberikan masukan dari sudut pandang Amerika untuk sebuah produk parfum asal Perancis sehingga bisa diterima di pasar Amerika Serikat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Emily yang sama sekali tidak bisa berbahasa Perancis, apalagi memahami budaya dan kebiasaan di Perancis, harus menggantikan atasannya, Madeline.
Semangat Emily tidak disambut oleh para rekanan di Paris yang menganggapnya kampungan dan tak punya kapabilitas yang cukup untuk bekerja di kantor tersebut, termasuk sang atasan, Sylvie Grateau (Phillippine Leroy-Beaulieu). Tak ada jalan lain bagi Emily untuk membuktikan diri lewat ide-ide out of the box dalam menggarap proyek-proyek pemasaran produk yang ditanganinya. Tak jarang ambisi yang dianggap melangkahi proporsi kerjanya justru semakin membuat kolega-koleganya makin sebal. Maka bertambah lah PR Emily selain tekanan tiap idenya harus berhasil, yaitu sekaligus mengambil hati para koleganya.
Tentu saja kehidupan pribadi yang tak kalah menariknya, seperti persahabatan tak terduga dengan Mindy (Ashley Park), gadis berdarah Tiongkok anak pengusaha kaya raya yang kabur dari keluarganya demi menjalani impian tinggal di Paris meski harus bekerja sebagai pengasuh anak dan Camille (Camille Razat), gadis Perancis ramah yang ternyata kekasih tetangga apartemen yang sempat ditaksirnya, Gabriel (Lucas Bravo). Pengalaman-pengalaman seru Emily yang memanjakan panca indera ini juga melambungkan popularitasnya sebagai influencer Instagram baru berpengikut ratusan ribu. Padahal sebelumnya pengikutnya hanya dua digit.
Baca juga: Creed II, Kelanjutan Sang Penerus |
Dari sinopsis utamanya, Emily in Paris bisa dianggap sebagai perpaduan antara The Devil Wears Prada dan When in Rome (versi Olsen Bersaudari, 2002, bukan Kristen Bell dan Josh Duhamel). Ada empat pilar utama serial: kontras budaya antara Perancis dan Amerika Serikat (termasuk di dalamnya adat kebiasaan, selera, dan pola pikir), jenjang karir, persahabatan, dan asmara. Tiga elemen yang disebutkan terakhir tentu juga punya kaitan erat dengan elemen yang pertama. Semuanya membenturkan kontras budaya antara Perancis dan Amerika Serikat, apalagi dari sudut pandang karakter Emily yang digambarkan awalnya sama sekali tidak bisa berbahasa Perancis. Ini adalah pilihan yang tepat untuk menjangkau rentang penonton seluas mungkin tanpa mengasingkan penonton yang mungkin sama sekali belum punya pengetahuan sama sekali tentang Perancis.
Naskah dari episode ke episode berhasil merangkai berbagai elemen cerita yang ditawarkan dengan proporsi yang bisa dikatakan terjaga baik. Tidak ada salah satu elemen yang terkesan terlalu mendominasi, menonjol, atau pun sekedar menjadi pelengkap yang under-developed. Pun juga tak ada kesan kehilangan fokus meski mengulik cukup banyak aspek. Kata kuncinya ada pada 'benturan budaya' yang selalu menjadi landasan dari setiap konflik yang dihadirkan, bahkan ketika hanya sekedar dijadikan sumber komedi. Kesemuanya masuk akal terjadi di kehidupan sehari-hari meski penyelesainnya seringkali terlalu mudah atau sederhana.
Bisa dipahami juga bahwa setiap konflik yang dihadirkan harus diracik sedemikian rupa dengan porsi yang pas, jangan sampai ada konflik yang berbuntut kelewat panjang sehingga mempengaruhi proporsional keseluruhan kemasan. Toh bagaimana pun Emily in Paris memang diniatkan sebagai sebuah serian drama-komedi ringan yang ditujukan untuk menghibur, memanjakan panca indera, sekaligus membuat penonton feel-good, bukan sesuatu yang secara serius mengangkat tema berat.
![]() |
Tuduhan stereotipikal dangkal dan klise terutama terhadap kebiasaan Perancis pun tak terelakkan. Namun sebagaimana jawaban dari Lucas Bravo, pemeran Gabriel, atas tuduhan tersebut, apa yang ditampilkan dalam serial memang mustahil merepresentasikan keseluruhan budaya dan pola pikir masyarakat sesungguhnya yang sangat beragam. Sebuah karya apa pun bentuknya memang wajar untuk memilih salah satu atau beberapa sudut pandang saja yang dijadikan fokus agar tidak kelewat jauh melebar ke mana-mana. Apalagi jika memang bukan karya dokumenter yang memang sengaja menyorot salah satu topik dari sebuah subjek.
Penggambaran banyak hal, terutama sistem kerja firma marketing yang mustahil sesantai dalam serial dan gaya berpakaian Emily yang kelewat 'adi-busana' untuk latar belakang pekerjaannya memang harus diakui sekadar sebuah fantasi pemanja mata yang jauh dari realistis. Namun bahkan bagi yang berkecimpung di industri kreatif, ada banyak ide-ide out-of-the-box yang menginspirasi atau setidaknya membangkitkan gairah kreatif. Mungkin tidak semuanya dengan mudah diimplementasikan atau sekedar diyakinkan kepada klien, tapi bukan tidak mungkin juga untuk bisa berhasil. Lagi-lagi kemasan yang membawa feel-good, lengkap dengan iringan lagu-lagu yang sangat mengusung semangat dan nuansa Perancis menjadi motivasi kuat dalam mempengaruhi penonton. Di situlah letak poin terkuat Emily in Paris sebagai sebuah sajian hiburan.
Baca juga: 3:10 to Yuma, Mengawal Penjahat Terkeji |
Upaya untuk menjaga segala sesuatunya tetap benar secara politis (politically correct), misalnya dalam profesionalisme kerja, hubungan asmara, bahkan persahabatan, bagi sebagian penonton mungkin terkesan terlalu munafik dan lagi-lagi, kurang realistis. Namun di sisi lain inilah yang justru menjaga keseimbangan Emily in Paris sebagai sajian yang ringan menghibur sekaligus memungkinkan untuk bisa diterima oleh penonton dengan latar belakang budaya yang lebih luas dan beragam. Bahkan ia tak berusaha terlalu keras mengkritik atau memaksakan persepsi ketelanjangan dalam iklan sebagai sekedar bentuk eksploitasi tubuh wanita. Ia justru memberikan ruang bagi persepsi Perancis untuk menjelaskan pandangannya terhadap subjek dan kemudian menawarkan solusi yang tak hanya menengahi kedua sudut pandang, tapi malah menimbulkan ide baru dalam mengkampanyekan produk yang diiklankan.
Secara umum performa para aktor menjadi kekuatan tersendiri dalam menghidupkan serial sesuai kebutuhan nuansa yang ingin dicapai. Tak perlu meragukan aura kebintangan yang menyenangkan dari Lily Collins di balik keluguan yang justru menjadi sumber komedi tersendiri. Aura menyenangkan yang setara juga didukung oleh performa Ashley Park sebagai Mindy yang kocak, cerdas, dan sedikit 'nakal', Lucas Bravo yang mampu menampilkan kesan charming sosok Gabriel, kegokilan Samuel Arnold sebagai Julien dan Bruno Gouery sebagai Luc. Bahkan penonton mungkin akan dibuat bingung harus lebih bersimpati kepada sosok yang mana ketika harus dihadapkan pada kisah asmara segi tiga antara Emily, Gabriel, dan Camille yang sama-sama terkesan baik-baik. Bukan tidak mungkin kiprah nama-nama pemeran tersebut ke depannya akan semakin menanjak berkat serial ini.
![]() |
Ya, Emily in Paris memang sekedar sajian hiburan ringan dengan berbagai konflik sehari-hari yang punya kedekatan dengan range penonton yang luas dan bumbu-bumbu fantasi di mana-mana. Namun dengan membenturkan berbagai perbedaan dengan semangat memahami sesuai kebutuhan dan mempertemukan kesemuanya di jalan tengah serta kemasan yang serba feel good (bahkan durasi per episode yang hanya sekitar 30 menit sehingga bisa ditonton dengan santai), tanpa berusaha terlalu keras untuk memprotes atau pun menghakimi salah satu pihak, ia justru bisa punya pengaruh yang sangat kuat bagi para penontonnya. Ini bukan lah tugas yang mudah meski dari kemasan terluarnya terkesan remeh. Bahkan membuat akhir musim pertama yang sebenarnya harus diakui klise tapi tetap mampu membuat penontonnya tak sabar untuk mengikuti kelanjutan di musim berikutnya adalah sebuah pencapaian yang tak mudah. Bukankah justru kemasan yang ringan, menghibur, dan bisa diterima penonton dengan latar belakang budaya luas lah cara yang paling efektif dalam memberikan pengaruh kuat?
(doc/doc)