Mereka duduk begitu saja di atas tanah, bersila atau pun "ndheprok". Dalam sekejap, area di depan gedung tempat pemutaran film itu langsung berubah menjadi kerumunan massa, dengan Djenar di tengah-tengahnya. Ia mengenakan kaos kuning bertuliskan 'Nay'.
Itulah sesi Q&A yang terjadi usai pemutaran film pukul 12.00 pada hari ketiga Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) 2015, Kamis (3/12) kemarin. Dibuka Selasa (1/12), festival film yang didirikan oleh Garin Nugroho dan telah berlangsung rutin selama sepuluh tahun terakhir tersebut akan digelar hingga Minggu (6/12).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acara festival film itu sendiri kemudian melebur di tengah-tengah keramaian publik, dan menjadi pasar yang lain. Bukan hanya pasar dalam arti simbolik, sebagai tempat bertemunya para peminat film untuk saling berinteraksi, berdiskusi dan bertukar informasi, malainkan juga pasar "beneran" yang menawarkan suasana khas, yang barangkali tak mudah ditemukan di ajang festival serupa lainnya yang pernah ada.
![]() |
Berbaur dengan diskusi film 'Nay' yang tengah berlangsung itu, orang-orang duduk di sekitarnya, di bawah tenda besar yang menyediakan bangku-bangku. Di situ ada gerobak kopi dan teh tarik, penjual roti gandum bakar, dan etalase yang "lebih modern", yang menjajakan milkshake dan aneka kudapat berkeju. Mereka membuat diskusinya masing-masing, sambil menikmati makanan dan minuman menunggu pemutaran film-film berikutnya.
Garin Nugroho sebagai Presiden JAFF yang sebelumnya tampil di sebuah acara "public lecture", diskusi maupun bedah buku yang lebih formal, hari itu ikut duduk di antara massa penonton 'Nay', bersama sang aktris Sha Ine Febriyanti, dan sesekali ikut nimbrung dalam obrolan yang tengah berlangsung. Sementara para penyelenggara festival lainnya, yang menggerakkan operasional keseharian seperti Ifa Isfansyah, Ismail Basbeth, dan Yosep Anggi Noen juga ikut meriung di tengah-tengah acara yang berlangsung, sehingga suasana jadi benar-benar guyup.
Nama-nama itu dikenal sebagai para filmmaker yang kini tengah berada dalam kesibukan tertinggi karier masing-masing. Namun, mereka memiliki komitmen yang tak kalah tinggi untuk terus menghidupkan festival tersebut. Hasilnya adalah sebuah festival film yang "cool" dalam segala kesederhanaan dan spontanitasnya yang khas gaya Jawa-Jogja. Tak heran jika majalah Moviemaker memasukkan JAFF dalam daftar "25 Festival Terkeren di Dunia", dan menyebutnya sebagai "festival film independen terunggul di Asia dengan akar yang kuat pada aktivisme sosial."
Bagi penyelenggara JAFF, festival film bukanlah sekedar pesta, melainkan daya hidup pikiran, gagasan dan cara bereaksi terhadap zaman. Garin Nugroho mencatat, JAFF setidaknya telah mampu menghidupkan dua momen sekaligus, yakni apresiasi dan daya dorong kreatif. Apa artinya? Di satu sisi, JAFF menghidupkan dan mendiskusikan karya-karya yang tidak mainstream, bahkan tidak populer di pasar video sekalipun. Di sisi lain, menghidupkan dialog industri film dengan karya-karya independen.
Di JAFF orang bisa melihat antusiasme publik terhadap karya film-film pendek yang sepuluh tahun lalu belum populer, dan bahkan hingga kini barangkali secara umum masih dianggap sebagai karya "kelas dua". Itu terlihat nyata misalnya pada sesi pemutaran dalam program "Film by JAFF Persons" yang menampilkan tiga film pendek karya Yosep Anggi yang disusul dengan Special Program 'An Invitation to Experience Humanity' yang juga berisi 3 film pendek. Dua program ini disandingkan secara berturut-turut dan dua-duanya dipenuhi oleh penonton. (mmu/doc)